Monolog si Kembar Setelah Menyebar
Ia yang diingat sebagai yang lebih tua, meluncur lembut di cairan berbentuk seperti agar-agar, untuk mendekat ke Dia yang lebih muda dilihat dari bentuknya, yang walau sejatinya mereka ini kembar, walau sebenarnya tak ada yang menyebar.
”Aku mencarimu.”
”Ah kamu, kamu bisa menemui siapa saja seperti saya, dan akan mendapat jawaban yang sama.”
”Aku senang bisa mengenalimu secara pribadi seperti ini.”
”Untuk itu saya ucapkan terima kasih. Basa-basi yang kalian sukai.”
Ia merasa kalimat itu sedikit menyanjung, tapi juga merendahkan. Dia tak menganggap perlu ucapan terima kasih. Dia tak mau mengerti basa-basi. Pantas saja selama ini Dia dikenal sebagai pembawa sakit yang menyiksa sampai puncak, dan ini dilakukan di mana saja Dia berada. Di semua bagian dari tubuh: di paru-paru, di payudara, di pipi, di perut mana saja, di belakang yang tak terjangkau pisau pengamat yang pertama mencarinya. Dan Dia melakukan kapan saja, tiba-tiba dan sesukanya.
Ia tak bisa menahan kemarahannya, dan membiarkan diri mencari menjadi bagian yang murka, yang diperlakukan tidak adil, yang lebih mengental di beberapa bagian.
”Kamu siksa orang baik-baik, yang menjadi tulang punggung keluarga, yang mengayomi banyak saudara, banyak teman dan memberi pekerjaan, para pengangguran yang menemukan pahlawan, menemukan rasa bersyukur, seorang yang baik hati. Dalam sekejap, semua lenyap. Lelaki tadinya tabah, gagah, menjadi penggelisah cengeng kala menghendaki obat pengurang nyeri. Bukan hanya sosoknya, melainkan sosok istrinya yang tadinya ceria, tiba-tiba tertekuk, cemberut, seakan isi dalam tubuhnya telah dikocorkan setiap saat di malam hari. Semua ketabahan, kegigihan, harapan telah diompolkan semalam sampai tetes penghabisan.”
Kalimatnya parau sejak permulaan, dan makin parah semakin kemauan bicaranya menggebu. Dan semuanya tercurah sudah. Semua tertumpahkan pada lengkingan. Dan diperjelas meskipun tak begitu perlu.
”Kenapa kamu pilih lelaki yang baik, suami yang penuh tanggung jawab untuk anak, istri, keponakan... dan bukan yang lain, yang juga di rumah itu.”
Masih belum selesai, tumpahan berikutnya, masalah baik dengan buruk, masalah pilihan atau usia, dalam kata-kata: ”Apa dosa dan salah anak usia tiga tahun, yang belajar berdoa, yang kemudian merasakan sakit luar biasa karena mulutnya terbakar, sehingga ngiler pun tak mampu. Padahal obat sampingan justru untuk menghasilkan air liur, agar tak terlalu panas. Dan minum agar dibatasi supaya tidak keumbar pipisnya. Saya katakan lagi, 3 tahun bukan usia untuk dimintai pertanggungan jawab, saat untuk dihukum, untuk menderita. Persediaan kata-katanya masih terbatas: sakit, aduh, Tuhan.”
Suaranya makin meninggi, melonjak lagi, melewati nada bicara pada umumnya, berubah menjadi suara jerit, yang akar katanya makin pendek. Lalu diam, berubah jadi embus hingga Ia mewakili Dia, yang wajahnya terang.
”Sejak awal harusnya sama-sama disadari, kamu ini tumbuh tanpa dibebani atau diberi nilai-nilai berbeda selain kehidupan itu sendiri. Jadi orang baik, bisa terkenal, bisa kaya dan baik, bisa juga tidak. Orang dewasa, orang bergender, orang yang menjadi kepala keluarga, atau pengganggu masyarakat. Kita tak berhubungan dengan mereka. Seumpama jalan kami berhubungan dengan kami sendiri, tanpa melewati atau bersimpangan dengan segala pangkat, kebaikan, disayang atau menyayang Tuhan, kami tak mempunyai pembeda atas nama itu.”
Suaranya melayang, tak ada beban, tak ada yang menempel dan memberati.” Kami air bisa, tak ada air sakti. Kami ini darah biasa, bukan darah yang memiliki keselamatan dibanding darah lain. Orang baik atau tidak baik, darahnya sama. Tak ada kesempatan yang khusus. Makanya semua bisa kena.”
Sulit dibedakan itu suara Ia atau Dia karena nadanya sama. ”Yang menyedihkan adalah pada awalnya makanan yang berbeda-beda rasanya menjadi sama. Itu baru penderitaan. Tapi memang sejak awal diciptakan untuk penderitaan, untuk keretak gigi, untuk aduhan yang tak bisa diteriakkan, atau ditiupkan penahan sakit. Bagian tubuh yang ada penyakit dihancurkan, dibantai tanpa sisa. Sekitarnya ikut menderita. Penderitaan itu membuat penderitaan lain, karena sikap pengobatannya berbeda. Meredakan yang ini berarti memindahkan ke bagian lain.”
Dia menolak bicara soal yang memang sengaja disiapkan orang untuk dikenai sakit seperti itu, melalui tahap dan akhirnya menjadi pasien tetap tunggal selamanya. Dia tak tahu dan tak mau digabungkan.
Dia masih bisa tersenyum, kesannya, wajahnya bercahaya, terasakan, meskipun mungkin sekali dia bukan Dia yang pertama dikenal.
Dia memang bukan Dia yang pertama, karena semua berwarna sama, warna pink, jambon, tidak meyakinkan sebagai warna, apalagi sekitarnya adalah warna yang sama dari suatu benda, dari suatu apa mirip darah cair, yang bergerak-gerak seakan sedang makan sesuatu. Ya memang makan sesuatu—apa itu, yang menyebabkan sakit, amat menggeretakkan gigi yang tidak ada.
Dia masih ingin memperlihatkan perlawanan dengan mengatakan bahwa sesungguhnya di antara cairan jambon, darah, itu tetap ada sesuatu. ”Itu yang dilahirkan dari doa, dari keselamatan, kedamaian, kesembuhan. Kau akan merasakan bagai ada angin ringan. Ya memang tidak sebagai penyembuh tapi baik adanya.” Meskipun terbantah dengan sendiri ketika barang itu disensor lewat air, lewat saluran yang terus menerus dibuang.
Tak ada yang perlu dipersoalkan. Di antara mereka sendiri kini ragu apakah dirinya yang pertama diserbu, atau penyerbu, apakah dirinya cairan yang mirip darah—kalau jumlahnya banyak lebih sekolam, atau mirip pasir, atau dirinya sudah menyebar, atau diperkirakan di tempatnya, namun tiap saat bisa berubah tempat .
Pernah ada pula Ia yang menampakkan bentuk seperti kutu—atau bukan kutu, rambutnya melar semua, tertawa ke dokter yang menghanguskan, seakan memberi selingan.
Menurut kisah ada pula—biasanya wajahnya tua, kesannya capek, namun warna jambonnya masih bisa panjang ke sepanjang tubuh. Ia mengatakan sendiri tidak bermaksud baik, tidak juga menghibur, karena sudah tidak ada gunanya. ”Berharaplah suatu ketika terjadi perubahan kecil. Sel atau saya ini menjadi sakti, seperti doa kebal. Artinya Tuhan menguasai semua umat-Nya terjadi, dan pastilah menyenangkan. Tapi itu pun perasaan kalian udah begitu kan?”
Sayangnya Ia bertampang tua, yang tak lazim sama sekali.
Dia yang lain sebenarnya tak bertampang tua, tapi memang ada kesan lelah atau kurang senyum, dibandingkan warga kasih, baik, menolong, sebenarnya memang tak mempunyai persoalan dengan dirinya. Semua yang di sini tak ada yang mempunyai persoalan dengan dirinya, yang tanpa identitas. Dia ada bersama ratusan, ribuan, atau jutaan, atau lebih yang berbentuk sama, warna sama, juga tak butuh misalnya bersapa atau disapa.
Semua terjadi dan dia tanpa merasa bersalah atau dipersalahkan, atau menjadi penyebab, dan jumlahnya bisa sebanyak gedung, sebanyak sungai tempat pembuangan, sebanyak tiupan api yang menghanguskan. Sedikit banyak Dia membuat dokter-dokter—terutama yang muda menemukan kegembiraan sesaat ketika menyapunya, ketika memburu, membakar, membuang atau mempertontonkan.
Dia tak ada masalah dengan dirinya, dengan apa atau siapa, dengan cairan yang lain, dengan benda lain yang mengagungkan perdamaian, kasih, kemenangan, dan berbagai harapan naik turun, dan cerita yang makin lama makin banyak, tentang cairan, tentang sel warna jambon, tentang tirai-tirai antara terlihat dan tidak yang memberi perlindungan. Dia tak terpengaruh itu semua, karena sejak awal semua itu. Dia tak merasakan semua itu. Dan itu adalah kehidupannya...
Arswendo Atmowiloto, lahir di Solo tahun 1948. Nama aslinya Sarwendo, sejak menjadi penulis namanya diubah jadi Arswendo, lalu ditambahkan nama ayahnya Atmowiloto. Ia penulis senior yang punya kecepatan menulis luar biasa. Sangat produktif. Puluhan novel, drama, skenario film, dan kumpulan cerpen lahir dari tangannya. Mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa City, Amerika Serikat, tahun 1979. Cerpen ini diterima redaksi Kompas, 16 Mei 2019 pukul 02.35. Arswendo wafat Jumat, 19 Juni 2019, pada usia 71 tahun di Jakarta.
Aminudin TH Siregar, menyelesaikan sarjana seni grafis dengan tema Petani pada 1997 dan pascasarjana di FSRD-ITB dengan judul tesis ”Analisa Diskursif Seni Rupa Modern Indonesia pada 2006”. Kini bekerja sebagai dosen di FSRG-ITB dan kandidat Ph.D di Universitas Leiden, Belanda.