Puncak perayaan hari jadi ke-188 Purwakarta dan hari jadi ke-51 Kabupaten Purwakarta dimeriahkan dengan pawai awug bertajuk Nyi Pohaci Festival, Sabtu (27/7/2019) malam.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
PURWAKARTA, KOMPAS — Puncak perayaan hari jadi ke-188 Purwakarta dan hari jadi ke-51 Kabupaten Purwakarta dimeriahkan dengan pawai awug bertajuk Nyi Pohaci Festival, Sabtu (27/7/2019) malam. Pawai awug digelar agar masyarakat makin mengenal akar dan budaya khas daerah.
Awug adalah makanan tradisional khas Sunda yang terbuat dari campuran tepung beras, kelapa, daun pandan, dan gula jawa yang dikukus dalam aseupan (kukusan yang berbentuk tumpeng terbuat dari anyaman bambu). Dulu kue ini disajikan oleh para petani di daerah Jawa Barat pada saat panen telah usai. Para petani membuat itu sebagai bentuk rasa syukur atas melimpahnya panen.
Adapun Nyi Pohaci, tema perayaan tahun ini, adalah nama penghormatan untuk padi bagi masyarakat Sunda, seperti Dewi Sri dalam budaya Jawa. Pawai awug menjadi cara untuk menghargai padi dalam kehidupan sehari-hari.
Nyi Pohaci adalah nama penghormatan untuk padi bagi masyarakat Sunda, seperti Dewi Sri dalam budaya Jawa.
Arak-arakan dimulai pukul 19.30 hingga pukul 00.05 dari Jalan Raya Pembaharuan dan berakhir di Jalan RE Martadinata, Purwakarta.
Ribuan orang dari 17 kecamatan se-Purwakarta dan pegawai kantor dinas-dinas di Purwakarta membawa awug dalam berbagai ukuran. Ada yang setinggi 50 sentimeter, ada pula awug mini setinggi 15 sentimeter. Meskipun aneka ukuran, semua awug memiliki makna yang sama, sebagai bentuk syukur para petani setelah panen.
Peserta mengenakan pakaian adat Sunda. Para pria memakai iket atau totopong atau udeng (ikat kepala khas Sunda) dan baju pangsi. Sementara sebagian perempuan mengenakan kebaya dan sinjang bundel (kain bawahan).
Para peserta tersebut berjalan kaki sambil membawa awug. Ada yang meletakkan nampan awug di atas kepala, menggunakan gerobak untuk membawa awug, hingga menggunakan mobil.
Gerobak-gerobak dan mobil pawai juga dihiasi dengan alat-alat bersawah, antara lain caping dan cangkul. Tak ketinggalan, gabah padi menguning juga menjadi hiasan yang sekaligus menjadi tanda kehadiran Nyi Pohaci.
Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika mengatakan, dulu mayoritas nenek moyang masyarakat Purwakarta bermata pencarian sebagai petani. Baik sebelum maupun sesudah mengolah lahan garapannya, mereka selalu melakukan tradisi khas untuk menghargai Nyi Pohaci. Ungkapan syukur itulah yang perlu diturunkan kepada anak-anak muda.
”Kebudayaan khas ini penting untuk dilestarikan. Harapannya ke depan tidak hanya tinggal nama, tetapi masih bergaung dan hidup di tengah-tengah masyarakat,” ucap Anne.
Kebudayaan khas ini penting untuk dilestarikan. Harapannya ke depan tidak hanya tinggal nama, tetapi masih bergaung dan hidup di tengah-tengah masyarakat.
Sebelum acara puncak itu, sejumlah acara telah dilakukan. Pada 16 Juli diadakan doa bersama. Esok harinya diadakan Muru Indung Cai Purwakarta Istimewa di Situ Wanayasa. Cai dalam bahasa Sunda berarti air, elemen utama yang dibutuhkan untuk mengairi lahan persawahan. Air yang diambil dari Situ Wanayasa didoakan bersama untuk memohon kesuburan agar hasil panen melimpah dan tidak terdampak kekeringan.
Total ada 5.600 peserta yang terlibat dalam pawai awug. Karena itu, Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) memberikan penghargaan Pawai Tumpeng Awug Terbanyak di pengujung acara.
Manajer Muri Triyono mengatakan, setiap daerah harus bangga terhadap budaya khas yang dimilikinya, salah satunya lewat makanan tradisional. Rekor dicatat untuk mengukir sejarah bahwa suatu budaya masih hidup di tengah-tengah masyarakat. ”Kami berharap setiap daerah berkenan untuk mengangkat ciri khas daerahnya,” ucapnya.
Sebelumnya, seniman dan aktivis sosial asal Purwakarta, Rudy Aliruda, mengatakan, permaknaan Nyi Pohaci dalam acara ini adalah wujud ungkapan syukur masyarakat Purwakarta terhadap alam yang telah memberikan manfaat bagi kehidupan selama ini. Alam beserta hasil sumber dayanya yang telah diterima serta digunakan oleh manusia merupakan anugerah dan berkah dari Tuhan yang wajib disyukuri.
Festival Nyi Pohaci sekaligus mengajak dan mengingatkan warga untuk tak lupa membalas kebaikan alam sebagai ”ladang” sumber kehidupan. Manusia hidup dengan tetap menjaga kelestariannya, merawat lingkungan, menghormati makhluk Tuhan lainnya.