Para penyintas gempa di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, terus didorong memahami proses rehabilitas dan rekonstruksi sehingga bisa mencari solusi ketika ada masalah yang muncul.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
TANJUNG, KOMPAS — Para penyintas gempa di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, terus didorong memahami proses rehabilitas dan rekonstruksi hunian sehingga bisa mencari solusi ketika ada masalah yang muncul. Selain itu, mereka juga didorong mampu menghadapi berbagai bencana yang rawan terjadi di daerah tersebut.
Dorongan salah satunya dilakukan Gravitas Mataram, lembaga yang bergerak di bidang hukum dan kebudayaan di NTB dalam Pelatihan Advokasi Hunian bagi penyintas, Sabtu-Minggu (27-28/9/2019), di Tanjung, Lombok Utara. Sebanyak 20 perwakilan penyintas dari sejumlah desa di Kecamatan Kayangan mengambil bagian dalam pelatihan tersebut.
Menurut Direktur Gravitasi Mataram Munzirin, Minggu, pelatihan itu digelar agar penyintas memahami hak-haknya sekaligus cara mengadvokasinya. ”Harapannya, para penyintas bisa memperjuangkan hak mereka dengan cara yang seharusnya,” kata Munzirin. Hak itu di antaranya hak untuk mendapatkan informasi dan hak mendapatkan bantuan.
Hambatan rehabilitasi
Berdasarkan hasil pertemuan Yayasan Sheep Indonesia, yayasan yang mengelola program rehabilitasi dan rekonstruksi (RR) di Lombok Utara dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lombok Utara, awal Juli lalu, terindentifikasi beberapa hambatan terkait proses pembangunan hunian bagi penyintas. Hambatan itu antara lain kurangnya tukang dan ketersediaan material, persoalan pada aplikator, jumlah fasilitator yang tidak memadai, validasi dan verifikasi data masyarakat penerima bantuan, dan koordinasi antarinstansi.
Berdasarkan hal itu, lanjut Munzirin, para penyintas diajak menginventarisasi persoalan-persoalan yang dihadapi selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi. ”Dari sana, kami kemudian memberikan wawasan terkait persoalan yang dihadapi. Di bagian akhir, mereka membuat rencana kerja untuk dilaksanakan di tempat masing-masing,” kata Munzirin.
Seperti diberitakan, gempa mengguncang Lombok pada 2018. Wilayah terdampak tersebar di sejumlah kabupaten, yaitu Lombok Barat, Lombok Timur, dan Lombok Utara.
Di Lombok Utara, berdasarkan data BPBD setempat, hingga 25 Juni 2019, kerusakan rumah mencapai 75.741 unit, baik rusak berat, rusak sedang, maupun rusak ringan. Secara bertahap, pembangunan hunian masih berjalan.
Proses rehabilitasi dan rekonstruksi di dusunnya hingga saat ini masih berlangsung.
Dalam pelatihan, setelah paparan dari sejumlah pemateri dan diskusi, peserta kemudian dibagi dalam kelompok lalu bersama-sama diajak mengindentifikasi masalah pembangunan hunian tetap di wilayah masing-masing. Lalu, setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya. Di bagian akhir, mereka menyusun rencana kerja tindak lanjut per desa.
Kepala Dusun Tanak Muat, Desa Kayangan, Istodi (35), mengatakan, proses rehabilitasi dan rekonstruksi di dusunnya hingga saat ini masih berlangsung. Rumah yang sedang dibangun merupakan rumah dengan kategori rusak berat.
”Kalau untuk yang rusak berat, tidak ada yang keliru. Semua berjalan. Hanya saja, untuk yang rusak sedang dan ringan, ini yang sampai sekarang belum jelas petunjuk teknis dan pelaksanaanya,” kata Istodi.
Kepala Dusun Lendang Galuh, Desa Pansor, Sinadi menambahkan, validasi dan verifikasi data penerima bantuan masih menjadi persoalan. Seringkali pihaknya sudah melakukan validasi dan verifikasi, tetapi data tidak singkron dengan data pemerintah daerah.
”Sampai saat ini, kami juga kebingungan karena ada tiga warga yang rumahnya rusak berat, tetapi tidak masuk dalam surat keputusan untuk penerima bantuan. Kami sudah koordinasi, tetapi belum ada kejelasan,” kata Sinadi.
Kepala Dusun Salut Timur, Desa Salut, Jumadil mengatakan, karena ketidakpahaman, masyarakat seringkali menerima saja program yang datang. ”Kami pernah bongkar bangunan yang sudah jadi. Bangunan itu ditawarkan oleh aplikator dari pemerintah daerah sehingga kami menganggapnya sesuai spesifikasi. Ternyata, fasilitator bilang bangunan itu tidak sesuai spesifikasi dan mereka tidak mau tanda tangan,” kata Jumadil.
Menurut Istodi, persoalan-persoalan seperti itu kerap menimbulkan kebingunan. Oleh karena itu, pelatihan bagi para penyintas memang diperlukan sehingga penyintas bisa mendapat pencerahan sekaligus mencari pemecahan masalah.
Munzirin mengatakan, selain agar bisa menghadapi persoalan-persoalan yang muncul selama masa rehabilitasi dan rekonstuksi atau pemulihan berbasis masyarakat, pelatihan itu juga sebagai langkah awal untuk membangun kesadaran masyarakat akan bencana.
”Kesadaran itu memang harus muncul. Bukan kita ingin melawan gempa, tetapi bagaimana bersahabat dengan bencana,” kata Munzirin. Pihaknya ingin membentuk masyarakat yang bisa bersahabat dengan bencana, baik sikap, pikiran, maupun tindakan. Hal itu penting karena potensi bencana alam di Lombok Utara tidak hanya gempa bumi. Ada juga bencana seperti banjir dan longsor.