Anak-anak Indonesia Diperdagangkan
Anak-anak Indonesia diperdagangkan dengan modus rekrutmen tenaga kerja, baik di dalam maupun di luar negeri. Nasib mereka berakhir mengenaskan.
KUPANG, KOMPAS — Anak-anak Indonesia diperdagangkan dengan modus rekrutmen tenaga kerja, baik di dalam maupun di luar negeri. Nasib mereka berakhir mengenaskan.
Liputan investigasi harian Kompas di sejumlah daerah mengungkap tindak pidana perdagangan orang dengan korban anak-anak. Selama 3-27 Juli, tim liputan menelusuri beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Jawa Barat hingga ke Kuala Lumpur, Malaysia, menemui korban dan keluarganya, serta melacak anak yang hilang setelah direkrut secara ilegal untuk kemudian dipekerjakan di tempat prostitusi.
Para pelaku perdagangan anak melibatkan warga lokal tempat korban berasal.
Di salah satu desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, ditemukan seorang remaja putri yang baru setahun bergabung kembali dengan keluarganya setelah berhasil kabur dari tempatnya bekerja di Malaysia.
AM (18) mengatakan, pada 2018, dia nekat kabur dari rumah mengikuti ajakan temannya, RT (16), untuk bekerja di Surabaya dengan bantuan laki-laki berinisial AH (25). Namun, dalam perjalanan, AM dan RT malah diselundupkan ke Malaysia dengan menggunakan dokumen imigrasi palsu. Di negara tujuan, keduanya dipekerjakan di tempat prostitusi.
Menurut AM, selain AH, ada lima orang yang terlibat menyelundupkan dirinya dan RT ke Malaysia. Mereka masing-masing berperan sebagai pendamping sekaligus penyedia tempat penampungan sementara. Kelimanya berada di setiap titik transit di tiap-tiap bandara di Kupang, Surabaya, Batam, hingga pelabuhan tikus di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Takut
AM tak berani mengungkap kasus ini ke polisi karena AH yang merekrutnya sebagai calon TKI adalah warga satu desa. Salah satu pendamping, JA, juga masih berada di Kupang. ”Saya takut bos di Kupang (JA) perintahkan anak buahnya ambil saya lagi,” ucap AM.
Sementara sampai sekarang RT tak diketahui nasib dan keberadaannya. AM pernah menyebutkan, setelah berhasil kabur dari tempatnya bekerja, dia ditahan bersama RT di penjara besar di Kajang, Malaysia. Dia ditahan dengan nomor badan 192, sedangkan RT dicatat dengan nomor badan 013.
Baca juga: Kalau Begini Terus, Pasti Mati
Namun, dengan bantuan informasi nomor badan, RT tetap tak ditemukan. Sekretaris Pertama Konsuler Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur Yulisdiyah Nuswapadi mengatakan, KBRI sudah menghubungi sejumlah penjara dan depo imigrasi, melacak keberadaan RT, tetapi tetap tidak ditemukan. ”Tidak ada ini yang namanya RT,” ucapnya.
KBRI sudah menghubungi sejumlah penjara dan depo imigrasi, melacak keberadaan RT, tetapi tetap tidak ditemukan.
Terjeratnya AM dalam perekrutan calon tenaga kerja tak terlepas dari pengiriman TKI ilegal yang masif di NTT. Dinas Tenaga Kerja NTT di bandara dan pelabuhan berhasil mencegah keberangkatan calon TKI ilegal dalam jumlah yang tidak sedikit.
Kemiskinan yang membelit banyak penduduk NTT diduga menjadi daya dorong warga di perdesaan untuk mencari uang di daerah lain. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tak kurang dari 21 persen penduduk NTT tergolong miskin. Persentase kemiskinan sebesar itu menempatkan NTT sebagai provinsi ketiga dengan penduduk miskin tertinggi di Indonesia setelah Papua dan Papua Barat selama 2018.
Dari penelusuran di Desa Meusin, Kecamatan Boking, Kabupaten TTS, juga ditemukan remaja putri berinisial DP yang menjadi korban perdagangan orang dan hingga kini tak diketahui keberadaannya. DP diberangkatkan sebagai TKI ilegal ke Malaysia setahun lalu. Melianus Payon, ayah DP, mengatakan, anaknya tak pernah sekolah dan saat pergi ke Malaysia usianya baru 16 tahun.
Kasus yang berbeda ditemukan Indramayu, Jawa Barat. Anak yang menjadi korban perdagangan orang di Indramayu diketahui dipekerjakan sebagai perempuan penghibur di daerah lain.
IN (13), salah satu korban, mengatakan, semula ia ditawari bekerja sebagai pelayan kafe di Bekasi dengan gaji yang menurut dia cukup untuk mencicil sepeda motor. Setelah dipekerjakan, IN baru tahu bahwa tugasnya adalah menemani tamu yang datang ke kafe. Tepat dua hari setelah bekerja, IN kabur.
Berkat IN, eksploitasi anak di kafe itu bisa diungkap. Polres Indramayu mengamankan 18 anak perempuan di bawah usia 18 tahun yang dipekerjakan sebagai penghibur.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indramayu mencatat, perdagangan anak dan orang di Indramayu telah terjadi setidaknya sejak 2010. Selama 2016 hingga 2019, setidaknya ada 4-5 kasus perdagangan anak yang terungkap.
Modus iming-iming gaji besar juga membuat dua anak asal Jakarta jadi korban perdagangan orang di Ruteng, Manggarai, NTT. SR (13) dan S (16), dua remaja asal Kemayoran, Jakarta, awalnya ditawari pekerjaan sebagai pelayan restoran dengan gaji besar. Nyatanya, mereka dipaksa melayani laki-laki dewasa.
SR berhasil kabur dan ditampung di Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak St Theresia, Labuan Bajo, Manggarai Barat. Koordinator Justice, Peace, and Integration of Creation SSpS Flores Barat Sr Maria Yosephina menceritakan, awalnya SR dan S berkenalan dengan YG melalui media sosial. YG menawari keduanya pekerjaan sebagai pelayan restoran dengan gaji Rp 8.000.000.
Dibantu Suster Maria, SR melaporkan kasusnya ke polisi, termasuk menginformasikan keberadaan S yang masih tertahan di kafe. Polisi pun berhasil menyelamatkan S.
Tak terpantau
Hingga kini masih sulit mendeteksi anak yang terjerat menjadi TKI ilegal dan diselundupkan ke luar negeri.
Padahal, negara telah menjamin perlindungan bagi anak seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 bahwa menjadi kewajiban pemerintah hingga masyarakat dan orangtua untuk memberikan perlindungan kepada anak.
Secara spesifik, pada Pasal 63 juga diatur bahwa setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa.
Dalam Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, negara juga telah mengatur bahwa setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana paling lama 15 tahun penjara.
Hingga kini masih sulit mendeteksi anak yang terjerat menjadi TKI ilegal dan diselundupkan ke luar negeri.
Lemah
Berdasarkan pengamatan Kompas, meskipun perekrutan TKI ilegal terjadi masif di NTT, di sejumlah desa tak ditemukan peringatan terkait bahaya bekerja di luar negeri melalui jalur ilegal.
Ketua Unit Tanggap Bencana Alam dan Kemanusiaan Gereja Masehi Injili di Timor Pendeta Ina Barapa mengungkapkan, banyak anak korban perdagangan orang di NTT baru diketahui jika kembali dalam kondisi meninggal. Dalam empat tahun terakhir, jenazah TKI asal NTT terus bertambah.
Sebagian besar dari mereka adalah TKI ilegal. Pada 2015 ada 28 jenazah TKI dipulangkan, 2016 bertambah menjadi 46 jenazah, 2017 menjadi 62 jenazah, dan 2018 mencapai 105 jenazah. Selama Januari-Juli 2019 ,jenazah TKI yang dipulangkan mencapai 61 jenazah.
Di antara TKI yang dipulangkan dalam kondisi meninggal itu, menurut Ina, ada saja yang berangkat ke luar negeri saat masih berusia di bawah 18 tahun atau masih anak. Salah satunya adalah Adelina Jemirah Sau yang tewas dianiaya majikan pada 2018.
Sebelumnya, pada 2016, juga ada Yufrinda Selan yang pulang dalam kondisi tak bernyawa. Setelah melalui beberapa persidangan selama 2017, terbukti Yufrinda adalah korban perdagangan orang dan 15 orang yang terlibat telah dipidana.
”Kalau mengukur sejauh mana bahaya perdagangan orang bagi anak-anak (di NTT), ini sangat berbahaya. Fakta dari anak yang terjebak di perdagangan orang itu banyak. Pada beberapa kasus, jenazah yang kembali, baik dari dalam maupun luar negeri, itu anak-anak (saat pertama kali berangkat bekerja),” ujarnya.
Selain itu, menurut Ina, anak di NTT menjadi rawan dalam pusaran perekrutan TKI ilegal karena penguatan di desa juga masih lemah. ”Sasaran dari mafia itu, kan, memang desa-desa yang transportasinya susah dan sulit untuk menjangkau ke mereka. Jangankan pemerintah, gereja sebagai institusi yang sangat dekat dengan masyarakat pun belum mampu untuk mendampingi keluarga-keluarga dari incaran mafia ini,” tuturnya.
Ketua Yayasan Sosial Penyelenggaraan Ilahi Suster Laurentina PI, yang menjadi bagian jaringan antiperdagangan orang NTT, mengungkapkan, anak perempuan di NTT yang direkrut sebagai calon TKI itu tak hanya dijual ke tempat prostitusi. Dari beberapa kasus, lanjutnya, mereka juga mengalami pelecehan seksual selama di tempat penampungan.
Sementara di Indramayu, sesungguhnya penguatan warga sudah cukup baik dalam mencegah perdagangan orang, seperti yang dilakukan Yayasan Kusuma Bongas di Kecamatan Bongas. Namun, kaki tangan dan jaringan perdagangan orang di kabupaten itu sudah masuk ke desa-desa dan mengakar.
Anak di NTT menjadi rawan dalam pusaran perekrutan TKI ilegal karena penguatan di desa juga masih lemah.
Ketua Harian Yayasan Kusuma Bongas Syarifudin mengatakan, perdagangan orang untuk eksploitasi seksual di Kecamatan Bongas mulai terjadi tahun 1990-an. Praktik itu kemudian semakin merebak hingga tahun 2000 dan mulai banyak yang dijual ke Jakarta.
Baru pada 2006, Syarifudin dengan didukung Yayasan Kusuma Buana dari Jakarta memberdayakan masyarakat setempat untuk mengendalikan perdagangan orang.
Pada 2016, di Kecamatan Bongas ditemukan 16 kasus perdagangan anak. Pada 2017, angkanya dapat ditekan menjadi 7 anak dan 2018 menjadi 5 anak. ”Ini berkat kami terus-menerus memberikan sosialisasi, pendidikan, terkait bahaya perdagangan orang kepada masyarakat,” kata Syarifudin.
Menurut dia, tidak mudah mengatasi praktik perdagangan orang yang sudah telanjur marak terjadi di Kecamatan Bongas.
”Sekarang pun perdagangan orang masih terjadi meski tak terang-terangan seperti dulu. Kalau dulu itu terang-terangan anak direkrut (untuk eksploitasi seksual),” ucapnya.
Syarifudin mengingatkan, jika di tempat lain ditemukan cikal bakal perdagangan orang, lebih baik hal itu diatasi sejak dini. Dengan demikian, perdagangan orang tak telanjur menjadi marak dan hak-hak anak tetap dapat terlindungi.
Gubernur NTT Viktor Laiskodat mengatakan, Pemerintah Provinsi NTT tengah merancang program perlindungan anak-anak di perdesaan.
”Kami terus berkoordinasi dengan kabupaten/kota sampai tingkat desa agar kalau ada (calo TKI) yang datang, mereka harus mengajak bicara RT, RW, atau bahkan kepala desa,” ujarnya.