Untuk perayaan Hari Harimau Sedunia yang jatuh hari ini, rapper Tuan Tigabelas menciptakan lagu khusus berjudul "Last Roar". Melalui lagu, dia hendak menggugah perhatian publik untuk menjaga harimau sumatera dari ancaman kepunahan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
Kami dibantai di mana-mana. Dijebak perangkap kami kalah. Ditembak mati seakan salah. Dikuliti kami tak berdaya. Jelaskan kenapa hal ini bisa terjadi! Apa kalian manusia tak punya hati? Anak cucumu takkan kenal namaku lagi. Karena kalian bunuh semua jenis kami.
Dengan nada rap, Tuan Tigabelas menyanyikan bagian inti lagu (chorus) Last Roar, lagu ciptaannya itu, bersama puluhan penggemarnya, di bawah kerimbunan pohon pinus, Gunung Pancar, Sentul, Jawa Barat, Minggu (28/7/2019) malam. Suara mereka mendegam, memecah keheningan.
Setengah menit sebelum lagu berakhir, suasana konser berubah drastis. Yang awal penonton asyik berjingkrak-jingkrak, lalu sekejap terdiam.
Emosi mereka dibawa terjun bebas lewat alunan nada pentatonik dari alat musik tiup khas Minangkabau (Sumatera Barat), serunai dan sampelong, yang ikut menjadi bagian dari lagu berdurasi 4 menit dan 2 detik tersebut.
Upi –sapaan dari Tuan Tigabelas- memang berniat memungkasi lagunya dalam duka. "Itu menjadi momen berduka, juga menjadi penghormatan untuk tiap harimau yang gugur," ujarnya.
Lagu Last Roar menciptakan warna berbeda dalam perayaan Hari Harimau Sedunia yang jatuh pada hari ini, Senin, 29 Juli 2019.
Lagu yang lirik demi liriknya mengambil dari sudut pandang harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) itu, ingin membuka mata manusia bahwa yang terjadi selama ini terhadap spesiesnya sangat keji. Baik lewat perburuan liar atau pembalakan yang menghancurkan hutan tempat tinggal mereka.
Dua sub-spesies harimau lainnya, yaitu harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau bali (Panthera tigris balica), telah menjadi korban atas tindakan tak bertanggung jawab tersebut.
Kini, yang tersisa tinggal harimau sumatera di kepulauan Indonesia. Itu pun mereka sudah masuk dalam klasifikasi terancam punah (critically endangered), menurut data Badan Konservasi Alam Dunia (International Union for Conservation/IUCN).
Masih diburu
Ancaman kepunahan harimau sumatera bukan isapan jempol. Di sisa populasi yang kurang dari 600 ekor, mereka menghadapi tantangan serius untuk bisa bertahan hidup dari intaian para pemburunya.
Misalnya saja di Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang-Bukit Baling, Riau, tim penjaga harimau sumatera (tiger protection unit) dari World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia masih kerap menemukan jerat seling dan jerat kolong yang terpasang, untuk menangkap harimau.
Dalam rentang waktu 2018 hingga Juli 2019, catatan WWF-Indonesia, setidaknya dua harimau terkena jerat di Kawasan SM Bukit Rimbang-Bukit Baling.
Dari kamera jebak (camera trap) yang dipasang WWF-Indonesia, bisa terlihat keduanya berjalan dengan salah satu kaki buntung sebagai imbas dari jerat yang dipasang pemburu.
"Beberapa kali, dua harimau itu masih terlihat survive (bertahan), tetapi dalam kondisi pincang," tutur Koordinator Pengelolaan Habitat WWF-Indonesia Program Sumatera Tengah, Febri Anggriawan Widodo.
Di tengah upaya menjaga populasi harimau sumatera di Kawasan SM Bukit Rimbang-Bukit Baling, masalah lain muncul. Puluhan kamera jebak yang dipasang untuk memantau pergerakan harimau sumatera, berulangkali hilang.
Dari total 326 kamera yang dipasang di suaka margasatwa seluas 142.000 hektar itu, Febri menyebut, 42 kamera diantaranya terus-menerus hilang dari tempatnya. Dia menduga, pemburu sudah mengetahui 42 titik kamera tersebut.
"Kami ganti, hilang lagi, gitu terus. Kami menduga, bisa jadi orang yang mengambil (kamera jebak) itu ingin melakukan kegiatan ilegal, bisa menjerat atau illegal logging (penebangan liar), agar perbuatannya tak terlihat kamera," kata Febri.
Dari hati
Di tengah situasi perburuan itu, Abdul Jani (31), salah seorang tim penjaga harimau sumatera di Kawasan SM Bukit Rimbang-Bukit Baling, memiliki cara sendiri bagaimana menghadapi langsung para pemburu. Bukan dengan kekerasan, melainkan bicara dari hati ke hati.
"Kami sampaikan bahwasannya (perburuan) itu melanggar dari sisi Undang-Undang. Memperlakukan satwa juga tidak baik dari sisi agama. Jadi, ada cara mengelola konflik yang ada di kala kami bertugas agar tak melukai satu sama lain atau tak pakai kekerasan balik," ujar Jani, yang juga pernah menjadi pemburu satwa di Kawasan SM Bukit Rimbang-Bukit Baling pada awal 2013.
Jani mempraktikkan hal serupa yang dilakukan seseorang dari tim WWF-Indonesia terhadap dirinya, yang berhasil membuatnya pensiun jadi pemburu. Tak lama, dia memilih bergabung dengan tim konservasi.
"Saya mulai ikut kegiatan patroli harimau dan mulai mengerti yang dikerjakan kawan-kawan (tim penjaga harimau) ini. Mungkin, kalau dulu saya ditariknya pakai cara kekerasan, saya enggak akan mau dan enggak akan pernah mengerti. Tetapi, pendekatan hati ini berhasil," kata Jani.
Jani kini memiliki tanggung jawab besar untuk "menggandeng" para pemburu lain agar bisa beralih haluan seperti dirinya. Mereka harus disadarkan bahwa ini bukan sekadar menjaga satwa, tetapi menjaga keseimbangan ekosistem.
Lebih jauh lagi, ini soal menjaga budaya Sumatera. Jangan sampai, raungan sang "datuk" -panggilan untuk harimau di Sumatera- ikut hilang bersamaan dengan dua saudaranya terdahulu. Hingga pada akhirnya, anak cucu kita tak pernah mengenali lagi, seperti apa bentuk raja hutan khas kepulauan Indonesia.