Hindari Arad, Penangkapan Rajungan Harus Berkelanjutan
Sejumlah nelayan di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, masih menggunakan arad atau atau mini bottom trawl untuk menangkap rajungan. Padahal, cara itu tak mendukung konsep pengelolaan hasil laut yang berkelanjutan. Nelayan didorong menggunakan bubu lipat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Sejumlah nelayan di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, masih menggunakan arad atau mini bottom trawl untuk menangkap rajungan. Padahal, cara itu tak mendukung konsep pengelolaan hasil laut berkelanjutan. Nelayan didorong menggunakan bubu lipat.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan hal itu di sela-sela kunjungan kerja di Desa Betahwalang, Bonang, Kabupaten Demak, Jateng, Senin (29/7/2019). Kontribusi rajungan di perairan Laut Jawa yakni 46,6 persen atau terbesar di Indonesia.
Oleh karena itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mendorong penggunaan alat tangkap ramah lingkungan. ”Selain ramah lingkungan, penggunaan bubu juga membuat rajungan lebih terjaga kualitasnya sehingga harga jualnya lebih tinggi,” ujar Susi.
Rajungan yang ditangkap dengan bubu dapat dijual seharga Rp 75.000-Rp 90.000 per kilogram, sedangkan dengan arad di bawah Rp 70.000 per kg. Susi pun meminta nelayan dapat mengelola hasil laut secara berkelanjutan dengan menggunakan bubu.
Adapun larangan tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Penangkapan rajungan hanya dapat dilakukan dalam kondisi tak bertelur dan ukuran lebar karapas di atas 10 sentimeter (cm) atau berat di atas 60 gram per ekor.
Dengan menggunakan bubu lipat yang disimpan di laut semalaman, rajungan berukuran kecil tidak akan masuk perangkap. Sebaliknya, dengan arad, rajungan berukuran kecil ikut terbawa. Bahkan, bubu lipat yang sedang didiamkan di laut bisa ikut terbawa arad.
Kepala Bidang Perikanan Tangkap dan Kelautan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak Mohammad Sulchan mengatakan, pengawasan dan pengarahan selalu dilakukan dalam praktik penangkapan rajungan. Namun, lantaran kurangnya penegakan hukum, nelayan kembali menggunakan arad.
Menurut Sulchan, selama ini, pelarangan lebih kepada pendekatan persuasif. ”Meski di darat mengakunya tak pakai, di laut kenyataannya lain. Agar efektif, perlu ada ketegasan yang nantinya akan membuat nelayan sadar untuk tidak menggunakan arad lagi,” katanya.
Nelayan rajungan di Betahwalang, Demak, Suzadi (55), mengatakan, dari segi kualitas tangkapan, bubu lipat jauh lebih baik. ”Namun, pada musim kemarau seperti ini, banyak yang pakai arad. Nelayan yang lain pun akhirnya mau tak mau ikut-ikutan memakai arad,” katanya.
Pada Senin, Susi mengawali kunjungan di Desa Betahwalang dengan mengikuti tradisi sedekah laut, yang merupakan ungkapan syukur atas berkah yang didapat warga pesisir. Susi juga ikut menyantap hidangan di atas perahu di laut.
Selain itu, KKP juga memberi bantuan kepada sejumlah nelayan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan. Pada rangkaian acara sama, dilaksanakan pula kegiatan pelatihan pemberdayaan serta diversifikasi usaha bagi nelayan dan keluarga. Di antaranya pembuatan bubu rajungan, makanan olahan dari rajungan, dan penanganan sampah plastik.