Islam di China dari Kacamata Orang Indonesia
Islam di China mengakar hampir 1.400 tahun sejak awal tarikh Hijriyah dan melebur dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat. Islam hadir di China pada zaman para sahabat Nabi Muhammad SAW atau abad ke-7 Masehi.
Islam di China mengakar hampir 1.400 tahun sejak awal tarikh Hijriyah dan melebur dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat. Islam hadir di China pada zaman para sahabat Nabi Muhammad SAW atau abad ke-7 Masehi, jauh lebih awal daripada penyebaran Islam di Nusantara.
Para warga Nahdliyin yang bersekolah dan kerap mengunjungi China sejak normalisasi hubungan Indonesia-China, memberikan berbagai kesaksian tentang eratnya akulturasi Islam dan budaya setempat di seantero Tiongkok.
Islam di China tumbuh alami dan kini menjadi agama dengan perkembangan paling pesat.
Rais Aam (Ketua Umum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj dalam bedah buku Islam, Indonesia, dan China: Pergulatan Santri NU di Tiongkok, tanggal 17 Juli 2019 di PBNU Jakarta, menggarisbawahi beberapa hal mendasar soal Islam di China. Islam di China tumbuh alami dan kini menjadi agama dengan perkembangan paling pesat.
China kini semakin maju dan terbuka meski berada di bawah kendali otoritas tunggal, seperti dalam masa kekuasaan dinasti-dinasti sebelumnya, ketika kejayaan peradaban China terjadi semasa Dinasti Han, Dinasti Tang, Dinasti Sung, Dinasti Ming, dan lain-lain.
Secara resmi Pemerintah China menyebutkan, ada lebih dari 30 juta Muslim di Tiongkok. Menurut para warga Nahdliyin yang bersekolah di China, diyakini jumlah Muslim di sana jauh lebih banyak daripada statistik resmi pemerintah.
”Budaya Tionghoa adalah budaya pedagang dan bukan kolonialis. Kalau pedagang paling sekali-kali curang dalam berdagang, tetapi tidak ada niatan menjajah negara lain. Islam di China hadir sejak lama dan juga berpengaruh dalam penyebaran Islam di Nusantara," kata KH Said Aqil Siroj dalam pidato pembukaan bedah buku.
"Tidak ada penindasan terhadap umat Islam di China karena persoalan yang muncul adalah masalah keamanan, yang kemudian diberitakan media Barat. Jangan lupa, ada persaingan sengit antara Barat dan China dewasa ini. Indonesia dalam hal ini memainkan peran penting sebagai penengah,” lanjutnya.
Rais Aam PBNU mengingatkan pentingnya menggunakan ”kacamata” Indonesia dalam melihat persoalan dunia. Dia mengingatkan begitu luas China dan di beberapa daerah mayoritas berpenduduk Muslim, seperti kawasan hunian masyarakat Muslim Hui, tidak timbul persoalan keamanan. Proses hubungan dengan masyarakat non-Muslim berjalan baik.
Persoalan terorisme dan kelompok radikal yang terjadi di Xinjiang, ujar Ketua Umum PBNU, harus menjadi perhatian Indonesia. Ini karena Indonesia juga menghadapi masalah sama dengan kemunculan kelompok radikal yang berkedok kegiatan keagamaan.
Terkait hal itu, penulis beberapa tahun silam mengikuti kerja aparat TNI dalam penanganan teroris di Poso, Sulawesi Tengah. Dalam satu kesempatan, aparat Polri dan TNI di Sulawesi Tengah pernah menangkap beberapa terduga teroris asal Xinjiang, China, yang bergabung dengan kelompok teroris di Poso, Sulawesi Tengah.
Salah seorang perwira intelijen TNI menceritakan dugaan pasokan dana dari kelompok Xinjiang kepada jejaring teroris di Poso. Kelompok teroris Xinjiang tersebut juga bergerak ke seantero Asia Tenggara dengan jalur Bangkok, Thailand, ataupun Pakistan. Biasanya mereka menggunakan paspor palsu negara lain.
Kelompok tersebut memiliki jaringan global di dunia Barat hingga Turki. Setelah Pemerintah Thailand mendeportasi massal warga Xinjiang kembali ke China beberapa tahun silam, kantor Kedutaan dan Konsulat Thailand di wilayah Turki diserbu pengunjuk rasa simpatisan jaringan aktivis Xinjiang.
Kembali ke hubungan China dan Nusantara, KH Said Aqil Siroj mengatakan, di zaman Dinasti Yuan, utusan China yang dikirim ke Nusantara serta bala tentara Tartar yang bermaksud menyerbu Kerajaan Singasari, dipimpin oleh tokoh-tokoh Muslim. Setelah mereka tiba di Jawa, ternyata Kerajaan Singasari sudah runtuh.
”Mereka, yakni utusan Kubilai Khan dan para panglima Muslim ini, bekerja sama dengan Raden Wijaya, memberikan dukungan terhadap berdirinya Kerajaan Majapahit. Demikian pula, pada akhir Majapahit, masa sirna ilang kertaning bumi, salah satu keturunan Prabu Brawijaya, yakni Raden Patah alias Jin Bun yang berdarah campuran Tionghoa, mendirikan kesultanan Islam pertama, yakni Kesultanan Demak Bintoro,” kata KH Said Aqil menjelaskan kedekatan sejarah hubungan China-Nusantara dan Islam.
Islam dijamin konstitusi
Ketua PCINU Tiongkok KH Imron Rosyadi yang sedang menempuh program doktoral di China memberikan penjelasan gamblang tentang kondisi kekinian masyarakat Muslim di Tiongkok.
”Kami berinteraksi baik dengan masyarakat setempat termasuk warga Muslim China, di berbagai tempat di mana warga kita menempuh pendidikan. Dalam Konstitusi Republik Rakyat China tahun 1949, hak untuk beragama dijamin dalam Pasal 36, yang menjamin kebebasan menjalankan agama yang diyakini,” kata Imron Rosyadi yang menempuh pendidikan di Harbin, timur laut China (Dong Bei), yang berbatasan dengan Rusia dan Korea Utara.
Dia menjelaskan, lembaga keagamaan, seperti masjid, menjadi tempat untuk membangun semangat kebangsaan. Semboyan hubbul wathan minal iman atau cinta tanah air sebagian dari iman, terpampang di setiap masjid di Tiongkok.
Baca juga: Damai Islam di Negeri China
Bahkan, di daerah yang terisolasi seperti di daerah otonomi khusus Tibet, ada 12.000-an warga Muslim dan keberadaan masjid di sana dilindungi. Revitalisasi dilakukan terhadap tempat-tempat ibadah, termasuk masjid-masjid di China, yang sebagian besar adalah situs bersejarah berumur lebih dari 1.000 tahun.
Revitalisasi masjid dan tempat ibadah yang dirintis Deng Xiaoping seiring reformasi ekonomi Tiongkok tersebut berupaya memberikan pemenuhan kebutuhan spiritual saat ekonomi mereka berkembang pesat.
Bahkan kini, lanjut KH Imron Rosyadi yang berasal dari Malang, Jawa Timur ini, sedang dibangun Hui Islamic Cultural Park. Taman seluas 72 hektar ini merupakan taman budaya Islam terbesar di dunia yang dibangun dengan biaya Rp 44 triliun.
Baca juga: Menjalin Hubungan dengan Muslim Uyghur
Keberadaan masyarakat Muslim Hui ini sudah terekam melalui keberadaan makam Muslim di Kerajaan Majapahit, sekitar Trowulan, di mana terdapat batu nisan dengan aksara Mandarin Hui Hui yang berarti Muslim.
Suku Hui adalah salah satu suku minoritas di China yang sebagian besar memeluk agama Islam. Agama Islam di China secara umum dikenal sebagai ”agama orang Hui” atau Hui Jiao dalam bahasa Mandarin.
Adapun kelompok suku minoritas pemeluk Muslim lain adalah Uyghur, Kazakh, Khalkhas, Uzbek, Tajik, dan Tatar yang mayoritas bermukim di daerah otonomi khusus Xinjiang. Ada pula kelompok Hui, Salas, Dongxiang, dan Bao’an yang bermukim di sejumlah wilayah pedalaman Tiongkok, yang beberapa di antaranya menjadi wilayah otonomi khusus dengan mayoritas Muslim. Islam di China terutama berkembang di zaman Dinasti Tang, Sung, Yuan, dan Ming.
Restoran halal merajai
Restoran halal terdapat di seantero China dari barat laut yang dingin hingga perbatasan Asia Tenggara dan juga perbatasan Asia Tengah. Kedai-kedai Muslim tersebut selalu hadir di tengah-tengah deretan kedai makan di kota besar, kota kecil, bahkan di daerah perdesaan.
Budaya kuliner Muslim di China adalah salah satu kekayaan budaya kuliner China yang kini juga menyebar ke Asia Tenggara dan Indonesia lewat berbagai restoran Muslim Tionghoa.
Beberapa daerah berpenduduk Muslim di China, seperti Ningxia Hui, daerah jalur sutra seperti Xi An, Luo Yang, Chang’An, Hang Zhou, hingga daerah pedalaman, seperti Qing Hai dan Xin Jiang, dihuni oleh mayoritas Muslim.
Bahkan, di pusat keuangan China dan Asia Timur, seperti di Hongkong, terdapat pusat komunitas Muslim lokal dan global, seperti Chungking Mansion di Kowloon, yang berseberangan dengan masjid besar di sana.
Masyarakat Muslim dari Afrika, Pakistan, India, Indonesia, Asia Tenggara, dan Muslim China berbaur di Chungking Mansion yang menjadi pusat perdagangan, hunian, dan kuliner halal di Hongkong.
Logo halal dalam huruf Arab umumnya terpampang di kedai-kedai Muslim yang biasanya menyajikan mi kaldu sapi, nasi goreng, dan sate kambing yang di Indonesia populer dengan nama sate taichan.
Ahmad Syaifuddin Zuhri, editor buku Islam, Indonesia, dan China: Pergumulan Santri Indonesia di Tiongkok, yang menempuh pendidikan S-3 di Wuhan mengatakan, di kampus-kampus di China secara umum tersedia kantin halal dan vegetarian. ”Urusan makan dan ibadah tidak menjadi masalah bagi seorang Muslim,” kata Zuhri.
Seharusnya kita melihat China dari kacamata kepentingan Indonesia. Kita pelajari yang positif, terutama dari sisi etika kerja dan kecepatan mereka membangun infrastruktur serta mengembangkan ekonomi dan ilmu pengetahuan
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat China Soegeng Rahardjo mengingatkan, banyak informasi bias soal China. Terlebih dampak Perang Dingin sejak akhir tahun 1960-an hingga kini, orang Indonesia masih banyak terpengaruh pola pikir Barat yang membagi dunia sebagai Blok Barat yang baik dan Blok Timur yang jahat.
Padahal, sebagai bangsa Indonesia, ada kepentingan Indonesia sendiri yang tidak memihak Barat dan Timur serta memperjuangkan perdamaian dunia.
”Kita ini melihat dunia secara umum masih menggunakan kacamata Barat sebagai dampak Perang Dingin. Informasi yang masuk soal China pun dari media-media Barat yang mewakili kepentingan Barat,"kata Soegeng yang juga pernah menjadi Duta Besar di Pretoria, Afrika Selatan.
"Seharusnya kita melihat China dari kacamata kepentingan Indonesia. Kita pelajari yang positif, terutama dari sisi etika kerja dan kecepatan mereka membangun infrastruktur serta mengembangkan ekonomi dan ilmu pengetahuan,” tambahnya.
Dunia Barat dan dunia Timur ada kelebihan dan kekurangan, standar untuk melihatnya adalah kacamata kepentingan Indonesia sebagai satu bangsa.
Demikian pula dalam memahami China, pengalaman Nahdliyin di China selama bertahun-tahun mengalami dan menjalani sendiri segala peri kehidupan di sana dapat dijadikan acuan melihat China dari sudut pandang anak bangsa Indonesia.