Mencari Akar Perdagangan Manusia
Today, almost everything is up for sale.(Michael J. Sandel, 2013)
Pernyataan di atas terdapat dalam pembukaan buku What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Market karangan Michael Sandel. Di dalamnya Sandel menyatakan bahwa komodifikasi terhadap sesuatu "tidak terasa benar secara moral" bahkan ketika ada persetujuan penuh antara pembeli dan penjual.
Penilaian moral tersebut menjadi lebih tegas ketika “sesuatu” yang dimaksud adalah manusia. Ketika manusia yang menjadi komoditas, hal itu secara tegas tak lagi dapat dibenarkan.
Komodifikasi biasanya terjadi ketika sesuatu tidak dapat dimiliki atau diakses oleh semua orang. Dengan logika suply and demand, terjadilah jual beli atau pertukaran komoditas agar orang lain dapat memiliki atau mengakses komoditas tersebut.
Menjadi persoalan ketika manusia kemudian diperlakukan semata sebagai komoditas. Sebagai komoditas, manusia akan diperlakukan sebagai pemenuh kebutuhan manusia lain serta dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan. Artinya, manusia diperdagangkan.
Di era ketika hak asasi manusia dijunjung tinggi, ternyata masih ditemukan situasi saat manusia diperdagangkan. Dalam bentuknya yang eksterm, perdagangan manusia mengingatkan pada praktik jual beli budak beberapa abad silam.
Di zaman ini, perdagangan manusia dimasukkan dalam salah satu kajian tentang perbudakan manusia di zaman modern. Bagaimana gambaran perdagangan manusia di dunia dan di Indonesia pada zaman ini? Situasi macam apa yang menyebabkan hal tersebut tetap jamak terjadi?
Perbudakan
Perdagangan manusia perlu sedikit dibedakan dengan perbudakan orang di zaman modern. Ruang lingkup perdagangan manusia hanyalah salah satu bagian dari bentuk perbudakan orang di zaman modern.
Pembahasan perdagangan manusia lebih menitikberatkan terhadap aspek transaksional dari perbudakan di zaman modern. Artinya, menempatkan manusia sebagai komoditas: manusia kemudian dinilai dari fungsinya untuk memenuhi kebutuhan manusia lain yang kemudian diperjualbelikan atau diperdagangkan oleh orang ketiga.
Dibandingkan dengan perbudakan, perdagangan manusia belum berumur lama. Sebagai sebuah praktik, sejarah perbudakan dapat ditarik pada 6.800 tahun sebelum Masehi saat negara kota pertama di dunia terbentuk di Mesopotamia.
Saat itu, praktik perbudakan mulai terjadi karena perang. Para pemilik tanah mulai berperang satu-sama lain untuk memperebutkan tanah garapan. Mereka yang kalah kemudian ditahan dan dijadikan budak untuk menggarap lahan.
Sedangkan perdagangan manusia sebagai komoditas baru berkembang luas pada abad 14 saat muncul pasar budak untuk merespons kurangnya tenaga kerja di Eropa serta wilayah koloninya. Ketika manusia kemudian dilihat sebagai sebuah komoditas, sesuatu yang dapat diperjualbelikan, praktik perbudakan kemudian meluas.
Pada abad 15, bangsa Portugis mulai mendatangkan budak dari Afrika Barat ke Eropa. Selanjutnya, pada abad 16, bangsa Spanyol membawa budak ke tanah Amerika.
Perdagangan Manusia
Secara legal dan teknis, kegiatan yang disebut sebagai perdagangan manusia memuat tiga hal berdasarkan penjelasan Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kejahatan (UNODC), yakni tindakan, sarana, dan tujuan.
Tindakan yang dimaksud meliputi perekrutan, transportasi, pemindahan, penyimpanan, atau penerimaan orang. Sarana yang dimaksud meliputi penggunaan kekerasan, ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekerasan dan kerentanan, memberi bayaran atau manfaat kepada orang yang mengendalikan korban.
Sedangkan tujuannya adalah untuk eksploitasi, meliputi eksploitasi pelacuran, eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, maupun pengambilan organ tubuh. Selama ini, tindakan untuk melawan tindak perdagangan manusia telah meluas seiring dengan kesadaran dan kemauan di tiap negara.
Pekerja migran yang ilegal rentan terhadap TPPO karena tidak memiliki posisi hukum yang jelas, yakni tak memiliki surat identitas serta tak ada kontrak kerja.
Biasanya, setelah berusaha untuk meratifikasi protokol PBB, negara yang terlibat akan membentuk lembaga khusus melawan kegiatan perdagangan manusia. Usaha tersebut dapat digolongkan dalam tiga hal, yakni pencegahan, perlindungan, dan penuntutan.
Ketiga usaha tersebut dimulai dengan memunculkan kesadaran tiap pemerintahan di suatu negara terhadap situasi perdagangan manusia serta situasi kemunculan perdagangan manusia.
Alasannya, hanya dengan memahami kedalaman dan luasnya persoalan perdagangan manusia, cara pemecahan dapat ditemukan. Secara praktis, pemahaman ruang lingkup perdagangan manusia dapat mempengaruhi pengambil kebijakan di setiap negara.
Korban, Bentuk, dan Pelaku
Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan atau UNODC juga merilis gambaran situasi perdagangan manusia dalam laporannya tahun 2018. Pada tahun 2016, jumlah kasus perdagangan manusia berjumlah lebih dari 25.000 kasus yang dilaporkan. Jumlah tersebut merupakan fenomena puncak dari gunung es mengingat kasus yang disebutkan adalah kasus yang dilaporkan.
Dari data yang sama, 2018 Global Report on Trafficking in Persons, diketahui bahwa berdasarkan laporan, korban perdagangan manusia paling banyak menyasar perempuan dan anak perempuan. Persentase korban perdagangan manusia paling banyak adalah perempuan (49%), anak perempuan (23%), laki-laki (21%), dan terakhir anak laki-laki (7%).
Dari sisi bentuk, perdagangan manusia kebanyakan terjadi dalam bentuk eksploitasi seksual (59%), diikuti bentuk kerja paksa (34%), dan bentuk lain (7%). Situasi ini berbeda-beda di tiap wilayah.
Bila bentuk perdagangan dilihat dari profil korbannya, tampak bahwa tiap profil memiliki bentuk perdagangan manusia yang khas. Wanita kebanyakan menjadi korban perdagangan manusia dalam bentuk eksploitasi seksual (83%), kerja paksa (13%), dan tujuan lain (4%). Sedangkan laki-laki kebanyakan diperdagangkan untuk kepentingan kerja paksa (82%), eksploitasi seksual (10%), tujuan lain (7%), serta pengambilan organ (1%).
Korban anak perempuan biasanya diperjualbelikan untuk kegiatan eksploitasi seksual (72%), kerja paksa (21%), dan tujuan lain (7%). Sedangkan anak laki-laki menjadi korban perdagangan manusia untuk kegiatan kerja paksa (50%), eksploitasi seksual ( 27% ), dan tujuan lain (23%).
Di sisi pelaku, profil mereka yang tertangkap karena kegiatan perdagangan manusia didominasi oleh laki-laki (69%), sisanya perempuan (31%).
Asia Timur dan Pasifik
Selain situasi global, dalam laporan yang dirilis oleh UNODC, dimuat juga data gambaran perdagangan manusia di tiap kawasan. Indonesia masuk dalam kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Data di kawasan Asia Timur dan Pasifik menunjukkan bahwa pada 2016, korban perdagangan manusia yang dilaporkan sebagian besar merupakan perempuan (48%), laki-laki (29%), anak perempuan (19%), dan anak laki-laki (4%). Sedangkan proporsi bentuk perdagangan manusia di kawasan ini paling banyak adalah eksploitasi seksual (60%), kerja paksa (38%), lainnya (2%).
Dari data tersebut, eksploitasi seksual kebanyakan terjadi pada anak perempuan (50%), perempuan (48%), dan anak laki-laki (2%). Sedangkan tak ada laki-laki yang dilaporkan di kawasan ini yang menjadi korban perdagangan manusia dalam bentuk eksploitasi seksual.
Selanjutnya, perdagangan orang untuk bentuk kerja paksa di wilayah ini menyasar pada korban laki-laki (72%), anak laki-laki (14%), perempuan (9%), dan anak perempuan (5%).
Dari sisi wilayah perdagangan, perdagangan manusia di wilayah Asia Timur dan Pasifik kebanyakan terjadi di wilayah tersebut (58%), baru kemudian diikuti oleh kejadian di negara asal (39%), dan diikuti tujuan perdagangan ke Asia Selatan (2%).
Perempuan dan Anak
Sejalan dengan gambaran situasi perdagangan manusia di dunia dan kawasan Asia Timur dan Pasifik, fokus penanganan perdagangan manusia di Indonesia diarahkan pada perempuan dan anak-anak.
Di Indonesia, terdapat beberapa aturan terkait perdagangan manusia. Istilah yang digunakan adalah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Secara nasional, pemerintah Indonesia mulai membuat rancangan untuk pengurangan perdagangan perempuan dan anak pada 30 Desember 2002.
Selanjutnya, muncul aturan yang lebih umum terkait TPPO dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Di tingkat praktis, pemerintah Indonesia juga membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang melalui Perpres Nomor 69 Tahun 2008.
Gugus tugas tersebut diketuai oleh Menteri Negara Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat ex officio. Sedangkan pelaksana hariannya dipegang oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan ex officio.
Anggota dari gugus tugas ini adalah beberapa menteri terkait yang juga ex officio, meliputi 14 kementerian ditambah dengan Kepala Kepolisian Negara RI, Jaksa Agung RI, Kepala BNP2TKI, Kepala BIN, dan Kepala BPS.
Dari sisi bentuk, perdagangan manusia kebanyakan terjadi dalam bentuk eksploitasi seksual, diikuti bentuk kerja paksa.
Selain itu, Indonesia juga meratifikasi konvensi di tingkat global maupun kawasan terkait perdagangan orang, terutama perdagangan perempuan dan anak-anak.
Pada 2009, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang pengesahan protokol untuk mencegah, menindak, menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak, melengkapi konvensi PBB menentang tindak pidana transnasional yang terorganisasi.
UU tersebut dilengkapi dengan UU No. 10 Tahun 2012 tentang pengesahan protokol opsional konvensi hak-hak anak mengenai penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak. Di tingkat regional, Indonesia ikut mengesahkan konvensi ASEAN menentang perdagangan orang terutama perempuan dan anak dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2017.
Berbagai aturan yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia di atas menegaskan bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia sehingga harus diberantas.
Situasi Pemicu
Di luar berbagai aturan yang bertujuan melawan tindakan perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak, tindakan yang lebih diperlukan adalah mencari akar dari praktik perdagangan manusia. Artinya, mengidentifikasi situasi yang menyebabkan perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak dapat tumbuh subur. Dengan demikian, upaya preventif dapat dilakukan.
UNODC menunjukkan bahwa perdagangan manusia, sebagai bagian dari perbudakan di era modern, muncul dalam situasi kemanusiaan yang rentan (vulnerable).
Situasi tersebut berkembang ketika orang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar dan berada dalam situasi yang kurang di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan di bawah pemerintahan yang jujur. Situasi rentan tersebut dapat ditemui dalam kemiskinan, suasana perang, keterbelakangan, orang yang dipinggirkan, hingga orang yang putus asa.
Dalam bahasa UNODC, perdagangan manusia dapat dilihat dalam komunitas-komunitas yang rentan dan di daerah-daerah konflik. Dengan alur tersebut, perjuangan menghapuskan perbudakan, termasuk juga perdagangan manusia di dalamnya, berarti diarahkan secara khusus pada komunitas-komunitas yang rentan dan di daerah konflik.
Di Indonesia, situasi rentan yang dimaksud berarti berada di daerah-daerah konflik, di daerah pasca bencana, serta di wilayah yang secara ekonomi masih kurang. Situasi semacam itu memancing keinginan orang untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Salah satu cara mencari penghidupan yang lebih baik dilakukan dengan bermigrasi mencari kesejahteraan di negeri orang dengan menjadi pekerja migran. Dalam kegiatan migrasi yang berhubungan dengan ketenagakerjaan, situasi rentan TPPO terjadi ketika prosesnya ilegal dan berada di sektor informal.
Ilegal dan Informal
Pekerja migran yang ilegal rentan terhadap TPPO karena tidak memiliki posisi hukum yang jelas, yakni tak memiliki surat identitas serta tak ada kontrak kerja. Selain itu, pekerja migran yang bekerja di sektor informal juga menambah rentan TPPO karena biasanya juga tidak memiliki kontrak kerja dan payung hukum yang jelas.
Bukan berarti bahwa pekerja migran yang legal dan yang bekerja di bidang formal terbebas dari TPPO. Akan tetapi, di dua situasi tersebut, kemungkinan terjadinya TPPO lebih besar. Logikanya, mereka yang tidak memiliki dukungan hukum secara jelas akan rentan dieksploitasi.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) telah mengidentifikasi minimal sepuluh bentuk TPPO yang dapat terjadi pada migrasi ketenagakerjaan. Beberapa di antaranya meliputi perekrutan tanpa perjanjian penempatan, ditempatkan tanpa perjanjian kerja, perekrutan di bawah umur (<18 tahun) dengan dokumen dipalsukan.
Selain itu ditempatkan tanpa sertifikat kompetensi (tidak dilatih), ditempatkan oleh perorangan dam bukan perusahaan yang memiliki izin dari Menteri Tenaga Kerja, hingga dipindahkan ke majikan lain tanpa perjanjian kerja.
Dengan identifikasi situasi rentan TPPO, kebijakan pemerintah, terutama di sektor migrasi ketenagakerjaan dapat lebih tepat sasaran. Tujuannya adalah mengurangi situasi rentan bagi para pekerja migran Indonesia (PMI), yakni mengurangi jumlah PMI ilegal maupun PMI di sektor informal.
SDM Berkualitas
Pengurangan PMI di sektor informal telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya dengan melakukan moratorium PMI terhadap negara tujuan pekerja migran Indonesia yang tidak mengindahkan aturan ketenagakerjaan dengan jelas.
Akan tetapi, hal tersebut hanyalah salah satu cara pencegahan awal. Alasannya, di atas semuanya, persoalan migrasi merupakan persoalan menyangkut kesejahteraan.
Bila sudah menyangkut persoalan kesejahteraan, berbagai cara akan terus dilakukan untuk menggapainya bahkan ketika terjadi moratoritum. Yang dikhawatirkan, moratorium tanpa program positif malah akan meningkatkan jumlah PMI ilegal yang kembali akan menciptakan situasi rentan TPPO.
Ketika manusia kemudian dilihat sebagai sebuah komoditas, sesuatu yang dapat diperjualbelikan, praktik perbudakan kemudian meluas.
Cara lain yang perlu ditingkatkan adalah meningkatkan kualitas pekerja migran Indonesia sehingga dapat bersaing dengan pekerja migran negara lain. Selain ditempuh dengan sektor pendidikan, secara praktis hal ini menjadi PR bagi pemerintah untuk meningkatkan keterampilan dasar dan peningkatan latihan kerja bagi PMI yang akan bekerja di luar negeri.
Selain itu, kampanye terhadap program positif seperti safe migration maupun smart migration bagi calon PMI perlu terus ditingkatkan. Kebijakan lain yang dapat diambil pemerintah adalah perlindungan pekerja migran baik dari aspek prosedur maupun kejelasan penempatan.
Ini sesuai amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 yang menyatakan penempatan pekerja migran Indonesia hanya dapat dilakukan ke negara tujuan penempatan yang telah mempunyai undang-undang yang melindungi tenaga kerja asing, memiliki perjanjian bilateral dengan Indonesia, dan jaminan sosial yang melindungi pekerja asing.
Dengan berbagai cara untuk meningkatkan kualitas PMI menjadi SDM kelas dunia dan perlindungan hukum yang jelas, minimal situasi rentan yang memicu tindak pidana perdagangan orang dapat diminimalisasi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Potret Kualitas Pekerja Migran Indonesia