Sektor otomotif berpotensi besar jadi andalan ekspor Indonesia. Namun, ada sejumlah syarat yang mesti dipenuhi untuk meningkatkan daya saing
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sektor otomotif berpotensi besar jadi andalan ekspor Indonesia. Namun, ada sejumlah syarat yang mesti dipenuhi untuk meningkatkan daya saing produk.
Selain desain dan kualitas produk yang sesuai keinginan pasar, antarpelaku usaha sektor otomotif dinilai perlu bersinergi untuk memaksimalkan sumber daya lokal. Dengan demikian, dampaknya bagi perekonomian nasional lebih optimal.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (28/7/2019) berpendapat, hal paling krusial adalah bagaimana perusahaan otomotif dalam negeri mampu membuat kendaraan sesuai kebutuhan di negara tujuan ekspor.
Perusahaan otomotif dalam negeri mesti didorong agar bisa memproduksi mobil dengan standar emisi di Eropa, Amerika, atau pasar yang terdekat, yakni di Australia. "Dari segi emisi, memang harus di atas Euro 4. Artinya, kalau memang perusahaan tidak bisa atau tertahan di Euro 3 atau Euro 4, pasar yang akan dikejar pasti hanya negara berkembang," kata Andry.
Pabrik otomotif di Indonesia juga masih banyak memproduksi kendaraan bermesin di bawah 1.500 cc, sementara di pasar ekspor lebih dari 1.500 cc. Tantangan lain untuk memacu ekspor otomotif menyangkut perbedaan jenis kendaraan yang banyak diproduksi di Indonesia dan kebutuhan di pasar ekspor.
"Jenis MPV (multipurpose vehicle) banyak diproduksi (di Indonesia) karena memang banyak diminati di dalam negeri. Sedangkan yang banyak diminati di luar negeri memang sedan," kata Andry.
Impor bahan baku
Tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah sinergi. Meski tingkat komponen dalam negeri (TKDN) relatif tinggi, TKDN kendaraan jenis low cost green car (LCGC) bahkan disebut sampai 80-90 persen, tetapi bahan baku industri pendukung bisnis otomotif masih impor karena belum diproduksi industri hulu dalam negeri.
Laporan "2017 Indonesia Industry Updates" mencontohkan, Krakatau Steel yang hanya memenuhi sekitar 40 persen kebutuhan industri komponen. Sejumlah bahan baku, seperti aluminium, biji plastik, dan karet dalam bentuk compound juga harus impor.
Ketua Umum Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim menyatakan, memang masih ada pekerjaan rumah karena tidak semua baja otomotif bisa dipenuhi dari dalam negeri, tetapi potensinya tetap ada. “(Produksi per tahun) Mobil di Indonesia yang 1 juta unit lebih itu potensi besar bagi industri baja,” ujarnya.
Krakatau Steel berencana menggarap potensi kebutuhan baja sektor otomotif. “Kalau semua jalan lancar, kami akan bikin fasilitas khusus untuk menyuplai otomotif, salah satunya dengan Nippon Steel,” kata Silmy yang juga Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono menambahkan, tantangan industri ban dan plastik yang terkait industri otomotif adalah bahan baku yang sebagian masih impor. Oleh karena itu, struktur industri diperkuat, antara lain melalui investasi di sektor petrokimia.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian, Johnny Darmawan berpendapat, sektor otomotif di Indonesia memiliki kedalaman struktur industri. Data Kementerian Perindustrian (2017) menunjukkan, ada 22 perusahaan OEM (Original Equipment Manufacturer) di puncak piramida industri kendaraan roda empat di Indonesia, lalu ada 500 perusahaan komponen lapis pertama, serta 1.000 perusahaan komponen lapis dua dan tiga.
Lapisan di bawahnya ada 56.000 perusahaan outlet, workshop, dan layanan resmi dan tidak resmi pemasaran serta suku cadang. Oleh karenanya, selain ekspor, sektor ini potensial mendongkrak perekonomian.