Pemerintah menilai perbaikan di tubuh PSSI akan sulit dilakukan karena tidak ada terobosan baru dalam menyiapkan proses pemilihan pengurus yang baru. Tekad mereformasi PSSI hanya sekadar pesan kosong, tetapi pelaksanaannya tidak konsisten.
Oleh
Adrian Fajriansyah/Herpin Dewanto Putro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Reformasi di tubuh PSSI sulit terwujud kalau gerbong dalam organisasi tertinggi sepak bola nasional itu tetap diisi orang-orang lama. Kalaupun ada pemimpin baru, orang tersebut akan sulit membuat perubahan kalau penggerak PSSI tetap diisi muka lama.
”Kita berkaca ketika Pak Edy Rahmayadi memimpin PSSI. Dia punya niat tulus mengubah PSSI, bahkan menargetkan memberantas pengaturan skor pada awal menjadi ketua. Nyatanya, pengaturan itu masih terjadi, terbukti dari munculnya Satgas Antimafia Bola dan penangkapan sejumlah pihak. Artinya, ketua baru sulit melakukan perubahan kalau orang-orang di bawahnya tetap diisi muka lama,” ujar Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto, dihubungi dari Jakarta, Minggu (28/7/2019).
Gatot menanggapi hasil Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Jakarta, Sabtu malam. KLB mengesahkan Komite Pemilihan (KP) dan Komite Banding Pemilihan (KBP) yang diisi wajah-wajah lama. Padahal, semua pihak berharap PSSI berbenah total.
KP dipimpin Syarif Bastaman (ketua), Harbiansyah Hanafiah (wakil ketua), Irawadi D Hanafie, Budiman Dalimunthe, Maurice Tuguis, Soedarmadji, dan Rocky Bebena. Adapun KBP diperkuat Erwin Tobing (ketua), Djoko Tetuko (wakil ketua), Ponaryo Astaman, M Nigara, dan Alfis Primatra. Sebagian besar adalah orang-orang yang pernah menjadi pengurus pada masa kepemimpinan Nurdin Halid yang dinilai gagal.
Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha Destria mengatakan, nama-nama tersebut diajukan Komite Eksekutif PSSI untuk disahkan dalam KLB. KP dan KBP nantinya memiliki masa jabatan empat tahun dan bertanggung jawab dalam proses melahirkan pengurus baru, terutama ketua umum PSSI.
Mereka akan segera bekerja karena PSSI memutuskan untuk menggelar pemilihan ketua umum lebih cepat, dari semula Januari 2020 menjadi November 2019. Gatot menyatakan, November waktu yang ideal setelah terbentuknya kabinet baru karena kerja pengurus PSSI harus selaras dengan Menteri Pemuda dan Olahraga kabinet baru. Jika dilakukan pada Januari, itu terlalu lama.
Melihat hasil KLB PSSI tersebut, Gatot menilai, PSSI masih jalan di tempat. Meskipun ada ketua umum baru, tidak akan ada perubahan nyata kalau gerbong lama tetap ada. Ia menuturkan, masih banyak pihak di luar yang layak menjadi pengurus PSSI. Mereka hanya perlu ahli manajemen yang bisa belajar untuk mengurus korporasi atau organisasi. Orang-orang dari luar lingkungan itu justru bisa berpikir lebih obyektif.
”Selama ini, orang-orang sepak bola menganggap yang bisa mengelola sepak bola, terutama PSSI, harus praktisi sepak bola. Padahal, mereka perlu orang luar yang punya pandangan lebih luas. Itu penting untuk melihat kelemahan yang mungkin selama ini dianggap biasa, bahkan dianggap hal wajar,” tuturnya.
Pasal kriminal
Agenda lain dalam KLB adalah merevisi sejumlah statuta, antara lain mengenai syarat bahwa calon anggota di badan PSSI harus tidak pernah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan. Ini akan menjadi landasan bagi Komite Pemilih dalam menjaring nama-nama calon ketua umum.
Dalam Statuta PSSI 2018, ketentuan tersebut hanya ada di Pasal 34 Ayat 4 dalam Bab IV yang mengatur tentang Komite Eksekutif. Setelah direvisi, ayat tersebut diubah dan persyaratan tentang status hukum itu dimasukkan ke Pasal 24 Ayat 3 yang mencakup semua badan di PSSI.
”Jadi, sekarang semua pengurus tidak boleh terlibat masalah hukum. Dengan begini, kami justru ingin lebih baik,” kata Pelaksana Tugas Ketua Umum PSSI Iwan Budianto.
Peneliti hukum olahraga Eko Noer Kristiyanto menilai rumusan tersebut sudah bagus karena secara jelas mengatakan, calon tidak pernah dinyatakan bersalah berdasarkan keputusan pengadilan. ”Artinya, orang yang diputus di pengadilan tingkat pertama langsung kena, tidak peduli dengan hasil banding dan sebagainya,” ujarnya.
Meski demikian, rumusan itu hanya berbunyi ”berdasarkan putusan pengadilan”. Dengan demikian, bisa saja orang yang melakukan kesalahan dan mendapat sanksi dari Komisi Disiplin PSSI, bukan dihukum oleh pengadilan negara, lolos dari ketentuan tersebut.