Desa-desa di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, terus menggali potensi pariwisata yang mereka miliki. Hal itu dilakukan dalam rangka mengembangkan desa wisata. Pengembangan sektor pariwisata salah satunya dengan memanfaatkan dana desa.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
PRAYA, KOMPAS — Desa-desa di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, terus menggali potensi pariwisata yang mereka miliki. Hal itu dilakukan dalam rangka mengembangkan desa wisata. Pengembangan sektor pariwisata yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat itu salah satunya dengan memanfaatkan dana desa yang mereka terima.
Pengembangan desa wisata di Lombok Tengah menggunakan dana desa memang menjadi salah satu arahan pemerintah pusat melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Menteri Desa PDTT Eko Putro Sandjojo bahkan secara langsung meminta hal itu saat kunjungan kerja di Desa Setanggor, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah, minggu lalu.
Selain dinilai memiliki potensi alam dan adat budaya masyarakat yang menarik, Lombok Tengah juga tengah menjadi perhatian. Salah satunya, karena pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di Pujut yang diharapkan mengakselerasi pariwisata NTB yang sangat potensial. Menurut Eko, desa wisata adalah salah satu cara desa-desa di Lombok Tengah mendapatkan manfaat dari hadirnya KEK Mandalika.
Kepala Desa Aik Bukak, Kecamatan Batukliang Utara, Hamdan, di Praya, Selasa (30/7/2019), mengatakan, mereka salah satunya memang ingin meraih peluang dari KEK Mandalika. Oleh karena itu, melalui badan usaha milik desa (bumdes) yang telah berdiri, mereka memang berencana mengembangkan desa wisata.
Menurut Hamdan, saat ini mereka sedang menggali potensi yang dimiliki Aik Bukak yang berada sekitar 30 kilometer arah timur Mataram, ibu kota NTB. ”Sejauh ini, yang baru terlihat antara lain embung (kolam) besar dan juga sawah-sawah warga,” katanya.
Hamdan memaparkan, pada embung atau kolam tersebut, mereka berencana menempatkan wahana bermain air sebagai daya tarik, terutama untuk wisatawan lokal. Adapun sawah akan dijadikan wisata alam minat khusus semacam lintas alam terbuka atau cross country. Sementara untuk akomodasi, mereka akan mendorong masyarakat menyediakan rumah singgah atau homestay.
Sejalan dengan itu, lanjutnya, sosialisasi kepada masyarakat juga terus dilakukan. ”Salah satu kendala pengembangan desa wisata yang kami hadapi adalah belum tumbuhnya kesadaran masyarakat. Apalagi masih ada kekhawatiran pada mereka jika sektor pariwisata akan berdampak negatif,” ujar Hamdan.
Salah satu kendala pengembangan desa wisata yang kami hadapi adalah belum tumbuhnya kesadaran masyarakat. Apalagi masih ada kekhawatiran pada mereka jika sektor pariwisata akan berdampak negatif.
Oleh karena itu, bersama bumdes dan Kelompok Sadar Wisata Aik Bukak, mereka rutin melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui forum-forum desa. ”Terutama terkait tujuan dan manfaat ekonomi yang akan mereka dapatkan jika pariwisata ramai,” kata Hamdan.
Terkait sumber daya manusia untuk mengembangkan desa wisata, kata Hamdan, mereka juga akan mengadakan pelatihan duta dusun. Duta ini akan menjadi salah satu ujung tombok pengembangan pariwisata mereka.
”Pelatihan rencananya akan berlangsung selama tiga bulan. Kami akan mengundang pembicara berkompeten. Peserta bagi siapa saja yang mau. Mereka dibebankan biaya, tetapi setengahnya akan ada subsidi dari desa,” ucap Hamdan.
Sebelumnya, Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Pedesaan dan Perkotaan Kementerian Pariwisata Vitria Ariani mengatakan, mereka memang tengah mengembangkan desa-desa wisata yang berada dekat KEK Mandalika dan di luar KEK Mandalika.
”Jumlah kamar di Lombok pasti tidak bisa terpenuhi. Oleh karena itu, kami mengembangkan homestay di desa-desa yang bisa menyediakan kamar yang layak untuk tamu. Tidak hanya wisatawan nusantara, tetapi juga wisatawan mancanegara,” kata Vitria.
Menurut Vitria, selain homestay, mereka juga menyiapkan atraksi. ”Desa wisata bukan hanya homestay, tetapi juga atraksi. Orang tidak mungkin hanya datang untuk menonton MotoGP, tetapi juga mencari desa-desa sekitar. Apalagi yang akan banyak datang adalah wisatawan mancanegara,” katanya.
Menurut Vitria, Desa Setanggor termasuk salah satu contoh desa wisata yang mereka kembangkan bersama Kementerian Desa PDTT. Desa Setanggor, yang sejak Maret 2019 ditetapkan sebagai desa wisata, saat ini memiliki sejumlah gerai tenun dan homestay.
Meski telah menjadi desa wisata, Setanggor juga terus menggali potensi yang mereka miliki untuk mendukung pengembangan desa wisata. Pada bidang tenun, misalnya, menurut Sukarni Putri (28), salah satu penggiat dan penenun di Setanggor, mereka saat ini mulai mengembangkan pewarna alami. Pewarna alami itu diambil dari bahan-bahan yang banyak ditemukan di desa itu, seperti sabut kelapa, jerami, batang nangka, dan kangkung.
Vitria menambahkan, pelatihan dan pendampingan sumber daya manusia di desa-desa binaan, termasuk Setanggor, memang terus dilakukan selain mendorong homestay dan atraksi. Dalam melaksanakan hal itu, mereka merangkul pihak-pihak terkait yang berperan penting, seperti pokdarwis setempat.