Indeks Demokrasi Indonesia 2018 sedikit membaik daripada tahun lalu. Namun, IDI 2018 juga mengindikasikan memburuknya friksi di masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS Friksi horizontal di tengah masyarakat yang muncul, salah satunya akibat ekses dari kontestasi politik, perlu mendapat perhatian serius dari para pemangku kepentingan di Indonesia. Tidak hanya menyebabkan kemerosotan substansi demokrasi, friksi berkepanjangan juga mengancam kohesi sosial yang menjadi pengikat bangsa Indonesia.
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Tahun 2018 yang diluncurkan Badan Pusat Statistik (BPS), di Jakarta, Senin (29/7/2019), menunjukkan demokrasi Indonesia sedikit membaik. Hanya, di sisi lain, IDI 2018 juga mengindikasikan memburuknya friksi di masyarakat.
Hal ini, antara lain, terlihat dari memburuknya indikator ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan masyarakat lain untuk berpendapat (turun 5,51 poin dibandingkan dengan 2017), serta untuk berkumpul dan berserikat (turun 7,91).
Di sisi lain, indikator ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat karena latar belakang jender, etnis, dan kelompok, membaik. Kompetisi pada pemilu yang tajam diduga turut berkontribusi pada meningkatnya friksi antarmasyarakat.
”Harus diakui bahwa Pemilu 2019 agak panas terutama karena munculnya hoaks-hoaks (informasi bohong) yang tidak bertanggung jawab sejak 2018. Akibatnya, di lapisan bawah terjadi friksi-friksi yang hingga di luar kepantasan,” kata Kepala BPS Suhariyanto.
Sinyal fragmentasi di masyarakat juga muncul dari Indeks Negara Rentan 2018. Dari 12 indikator yang digunakan untuk menyusun indeks ini, ada tiga indikator yang angkanya naik untuk Indonesia, yang berarti semakin buruk ketimbang tahun lalu. Tiga indikator itu ialah fragmentasi elite, keluhan di masyarakat, dan tekanan demografi (Kompas, 27/4/2019).
Fragmentasi masyarakat, menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, tidak terlepas dari pendidikan politik kewargaan yang cenderung minim sehingga memengaruhi persepsi masyarakat terhadap perbedaan. Rangkaian pilkada dan pemilu yang disertai polarisasi politik yang tajam memperparah potensi konflik di tengah masyarakat yang tidak teredukasi dengan baik.
Di sisi lain, elite politik memperparah kondisi itu dengan memanfaatkan potensi pembelahan di masyarakat untuk kepentingan politik praktis mereka. Padahal, apabila friksi-friksi di masyarakat terus terpelihara, substansi demokrasi akan semakin merosot.
Seusai paparan IDI 2018, Direktur Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Wariki Sutikno menuturkan, pendidikan politik kepada masyarakat akan mendapat perhatian dari pemerintah. ”Melalui pendidikan politik itu diharapkan masyarakat bisa saling bertukar pikiran. Sebab, ketidaktahuan itulah yang memicu kekerasan dari masyarakat,” katanya.
Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri pada Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wawan Kustiawan mengatakan, kebijakan mengatasi friksi di masyarakat dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penanganan Konflik Sosial.
”Pemda berkewajiban mengatasi kekerasan antarmasyarakat dan kami telah memiliki regulasi yang bisa dijadikan acuan. Kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi amat menentukan, juga dalam menyikapi perbedaan,” katanya.
Belum substantif
Indeks Demokrasi Indonesia 2018 mencapai 72,39. Angka ini naik tipis 0,28 poin dibandingkan dengan 2017. Dalam skala 0-100, semakin tinggi nilai, semakin baik capaiannya. Dalam kategori yang disusun BPS, demokrasi dikatakan baik jika dapat nilai lebih dari 80. Adapun sejak 2009 hingga 2018, Indonesia stagnan dalam kategori sedang (60-80).
Porsi terbesar penyumbang kenaikan IDI 2018 ialah aspek lembaga demokrasi, yakni dari 72,49 (2017) menjadi 75,25 (2018). Sementara itu, nilai aspek hak-hak politik turun dari 66,63 menjadi 65,79. Adapun aspek kebebasan sipil turun dari 78,75 menjadi 78,46.
Nilai itu, kata Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor, menunjukkan substansi demokrasi di Indonesia dasarnya masih terganggu.
”Masalah partisipasi politik dan kebebasan berpendapat yang seharusnya menjadi substansi dasar dari demokrasi justru terganggu. Jadi, peningkatan hanya terjebak pada masalah kelembagaan, demokrasi yang prosedural, tetapi tidak substansial,” kata Firman.
Demokrasi substansial, ujar Firman, tidak tercapai selama pemenuhan hak-hak masyarakat sipil lemah dan kebebasan masyarakat untuk berpendapat terkekang. ”Kebebasan masyarakat sipil merupakan sumber kontrol terhadap berjalannya pemerintahan agar tetap berada pada roh demokrasi,” ucapnya. (REK/AGE)