Konflik gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan warga di ekosistem Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Hutan Lindung Kota Agung Utara, Provinsi Lampung kembali terjadi. Kali ini, gajah liar merusak tanaman pisang dan gubuk warga. Meski sudah berlangsung hampir tiga tahun, belum ada solusi permanen menangani konflik tersebut.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS – Konflik gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan warga di ekosistem Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Hutan Lindung Kota Agung Utara, Provinsi Lampung kembali terjadi. Kali ini, gajah liar merusak tanaman pisang dan gubuk warga. Meski sudah berlangsung hampir tiga tahun, belum ada solusi permanen menangani konflik tersebut.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Kota Agung Utara, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Zulhaidir, mengatakan, sebanyak 12 ekor gajah liar kerap memasuki kawasan Register 39, tepatnya di Blok 3 KPH Kota Agung Utara, sejak dua hari lalu. Gajah liar merusak sebuah gubuk yang dibangun warga dan puluhan batang tanaman pisang.
“Petugas dan warga masih berusaha menggiring gajah ke dalam taman nasional. Saat ini, tim masih membutuhkan mercon untuk menghalau gajah,” ujar Zulhaidir saat dikonfirmasi dari Bandar Lampung, Selasa (30/7/2019).
Penggiringan dilakukan tim gabungan dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, serta mitra terkait. Upaya menghalau dan menggiring gajah dilakukan menggunakan mercon.
Upaya menghalau dan menggiring gajah dilakukan menggunakan mercon.
Konflik antara gajah dan warga di Tanggamus berlangsung hampir tiga tahun terakhir. Gajah kerap merusak tanaman pisang yang ditanam warga di kawasan Hutan Lindung Kota Agung Utara, Kecamatan Bandar Negeri Semoung, Tanggamus. Konflik juga meluas ke Kecamatan Semaka. Hingga kini, konflik telah menewaskan tiga warga.
Menurut Zulhaidir, warga yang bermukim di Blok 3 belum bermitra untuk mengelola kawasan hutan tersebut. Meski begitu, pemerintah bersama mitra terkait berupaya membantu warga menangani konflik dengan gajah liar. Salah satunya dengan membangun lima pos untuk memantau gajah. Pemerintah juga bekerja sama dengan lembaga seperti WWF-Indonesia dan WCS untuk meningkatkan kapasitas warga.
Dengan begitu, warga memiliki kapasitas mitigasi konflik dengan satwa liar. Mereka diharapkan dapat menghalau gajah tanpa membahayakan nyawa manusia dan satwa liar.
Saat ini, dari total luas 56.020 hektar hutan lindung Kota Agung Utara, ada 14.269 hektar yang dikelola 16 gabungan kelompok tani melalui skema HUtan Kemasyarakatan (HKm) di Hutan Lindung Kota Agung Utara. Pemerintah terus mendorong agar kelompok petani lain segera bermitra.
Selain itu, pemerintah juga menghijaukan kembali zona inti hutan lindung yang juga menjadi wilayah jelajah gajah. Pemulihan kawasan hutan diharapkan menambah ketersediaan makanan untuk gajah sehingga satwa liar itu tidak merusak tanaman pisang.
Pemulihan kawasan hutan diharapkan menambah ketersediaan makanan untuk gajah sehingga satwa liar itu tidak merusak tanaman pisang.
Kepala Seksi Konservasi wilayah III Lampung BKSDA Bengkulu Hifzon Hawahiri mengatakan, pihaknya menerjunkan personel tambahan serta menyediakan mercon untuk membantu menghalau gajah. Ini merupakan solusi jangka pendek untuk mengatasi konflik satwa dan manusia di kawasan hutan lindung.
Terkait solusi jangka panjang, kata Hifzon, pihaknya segera menggelar pertemuan dengan tim satgas penanggulangan konflik manusia dan satwa liar di Lampung. Dalam rapat sebelumnya, sejumlah gagasan yang muncul, salah satunya dengan membuat rekayasa habitat untuk menekan konflik. Metode teknisnya yakni membudidayakan tanaman pakan, seperti rumput gajah dan pisang di area dekat perbatasan hutan lindung dan taman nasional.
Gagasan lain adalah dengan membuat pagar gajah. Meski begitu, kata Hifzon, semua usulan tersebut membutuhkan kajian dari sejumlah pihak. Penerapan rekayasa habitat atau pagar gajah di perbatasan TNBBS dan KPH Kota Agung Utara yang tergolong luas juga perlu ditelaah lebih dalam.