Kemampuan Hidup Bersama di Masyarakat Majemuk Perlu Dilatih
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kemampuan untuk hidup bersama dan berinteraksi secara positif dalam masyarakat majemuk bukan sesuatu yang tumbuh secara alami, melainkan harus dipelajari sejak dini. Sekolah sebagai ruang publik bagi para siswa dari beragam latar belakang bertemu seyogianya jadi wadah pemelajaran interaksi sosial yang baik.
“Pendidikan adalah menciptakan suasana terencana untuk mengembangkan potensi spiritual, emosional, kepandaian, jasmani, dan sosial siswa,” kata pakar pendidikan Arief Rachman yang juga Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco (KNIU) dalam loka karya pelatihan guru-guru SD dan SMP yang bertema “Belajar Hidup Bersama” di Jakarta, Senin (29/7/2019).
Lima potensi itu sejatinya tidak bisa dipisahkan untuk membentuk manusia berkepribadian baik. Akan tetapi, mayoritas penerapan di sekolah masih sangat menekankan pada aspek kepandaian, yaitu dengan cara memperbanyak pemelajaran akademik guna mengejar nilai ujian yang tinggi. Kepercayaan di masyarakat ialah nilai menjadi satu-satunya cara seseorang bisa mendapat sekolah yang baik dan kelak memiliki pekerjaan layak.
Padahal, seiring perkembangan zaman yang pesat, karakter menjadi kemampuan mutlak dihadapi tiap individu karena tidak bisa digantikan oleh teknologi. Kepandaian tanpa karakter justru akan membahayakan masyarakat dan juga lingkungan sekitar.
“Perlu dipahami bahwa aspek kepandaian akademik memang cara tercepat untuk mengukur perkembangan siswa. Akan tetapi, dalam prosesnya jangan lupa mengembangkan empat potensi lainnya,” ujar Arief. Ikhtisar Data Pendidikan 2017/2018 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan terdapat 50.034.518 siswa dan 3.027.422 guru.
Perlu dipahami bahwa aspek kepandaian akademik memang cara tercepat untuk mengukur perkembangan siswa.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, semua jenis kurikulum, dan berbagai peraturan pemerintah sudah mengamanatkan pendidikan karakter di sekolah. Hal yang luput dari perhatian adalah kemampuan untuk memiliki sudut pandang multikulturalis tidak tumbuh secara alami. Masyarakat memiliki keragaman yang seolah hidup sendiri-sendiri karena tersegregasi. Harus ada upaya penyengajaan interaksi yang rutin dan ini perlu pembiasaan.
Berkesinambungan
Pelatihan guru tersebut merupakan kerja sama antara KNIU dengan Arigatou Foundation, yayasan pengembangan pendidikan karakter yang berbasis di Jenewa, Swiss. Pesertanya adalah 30 guru SD dan SMP dari sekolah-sekolah yang tergabung dalam Jaringan Asosiasi Proyek Sekolah (ASPN), yakni kerja sama KNIU dengan sekolah yang di dalam pemelajarannya mengenalkan siswa kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, pendidikan untuk perdamaian, pengembangan antarbudaya, dan pewujudan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Sementara Direktur Arigatou Foundation Maria Lucia Uribe menjelaskan, belajar untuk hidup bersama merupakan bagian pengembangan kecerdasan spiritual siswa. Pelatihan itu melengkapi Penguatan Pendidikan Karakter di sekolah-sekolah. “Spiritualitas berarti mengenal diri sendiri, mengenal Sang Pencipta, dan semua makhluk ciptaan-Nya. Di dalamnya termasuk bersikap sopan dan saling menghormati manusia dengan kebudayaan berbeda-beda,” ujarnya.
Menurut Uribe, ketika siswa menghargai diri sendiri, ia belajar menghargai orang lain beserta lingkungannya. Pada gambaran besarnya ia akan menjadi bagian dari bangsa maupun masyarakat dunia yang baik karena memiliki pemahaman bahwa tiap individu harus memberi sumbangsih kepada dunia dan dimulai dari hal-hal kecil di sekitar.
Dalam lokakarya itu, guru berlatih membangun proyek di dalam kelas yang lebih daripada sekadar kerja kelompok siswa. Mereka menyusun berbagai moda interaksi dan diskusi mengenai keragaman di masyarakat dan cara menyikapinya. Tujuannya supaya menghargai keragaman itu lahir dari pemikiran siswa, bukan akibat suruhan guru.
Kepala Perwakilan Unesco untuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Timor Leste Shahbaz Khan mengungkapkan, Indonesia merupakan contoh baik kemampuan warga untuk hidup bersama. “Candi Borobudur, misalnya, dibangun kerajaan yang menganut agama Buddha dan dirawat oleh masyarakat yang mayoritas Muslim," ujarnya.
Tanpa disadari selain membangun penghargaan terhadap sesama di dalam negeri, bangsa Indonesia juga menjadi bagian dari warga dunia. Kesadaran ini yang akan membangun kemampuan kita menciptakan ketahanan air bersih, pangan, dan energi untuk sesama,” tuutrnya.