Kongres Langsung Beres
Upaya untuk memperbaiki sepak bola Indonesia diharapkan muncul dalam Kongres Luar Biasa PSSI 2019. Namun, melihat proses dan hasil dari kongres tersebut, perbaikan tampaknya sulit terjadi.
JAKARTA, KOMPAS - Sebelum Kongres Luar Biasa PSSI yang berlangsung di Jakarta, Sabtu (27/7/2019) malam, itu dimulai, seluruh peserta berdiri untuk menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Sambil bernyanyi, para peserta melihat layar yang menayangkan cuplikan rekaman perjuangan tim nasional Indonesia yang heroik.
Dalam tayangan itu, terlihat para pemain dengan gagah berani menghadapi lawannya. Tampak ada pemain-pemain muda seperti Bagus Kahfi dan kawan-kawan. Mereka menangis saat menyanyikan lagu kebangsaan sebelum laga dimulai dan bersorak-sorai ketika merayakan kemenangan.
Usia Bagus masih 17 tahun. Ia dan kawan-kawan setimnya masih memiliki jalan yang sangat panjang untuk membawa Indonesia ke level dunia. Untuk mewujudkan cita-cita itu, mereka butuh pola pembinaan yang tertata, kompetisi yang berkualitas, dan federasi yang betul-betul serius membangkitkan sepak bola nasional.
Sayangnya, para pemain muda itu tinggal di negeri yang pengelolaan sepak bolanya masih amburadul. Setelah lepas dari sanksi pembekuan FIFA pada tahun 2016, muncul masalah lain pada akhir tahun 2018, yaitu mafia bola. Oknum-oknum pengatur skor satu persatu ditangkap. Ironisnya, sebagian besar dari mereka justru berasal dari tubuh PSSI.
Penuntasan mafia bola pun berakhir antiklimaks ketika mantan pelaksana tugas Ketua Umum PSSI Joko Driyono hanya divonis bersalah karena merusak barang bukti kasus dugaan pengaturan skor. Joko sebagai petinggi di PSSI justru tidak dimanfaatkan untuk menjadi pintu masuk penuntasan mafia bola.
Wajar apabila harapan perbaikan sepak bola nasional itu muncul dalam Kongres Luar Biasa (KLB). Kenyataannya, tidak demikian. “Masalah (mafia bola) itu tidak dibahas karena sejak awal sudah ada tiga agenda yang disepakati,” kata Manajer Persebaya Surabaya, Candra Wahyudi, salah satu anggota PSSI pemilik suara (voter) peserta KLB, Senin (29/7/2019).
Tiga agenda dalam kongres yang berlangsung tertutup itu adalah pengesahan revisi statuta, revisi kode pemilihan, dan membentuk komite pemilihan (KP) serta komite banding pemilihan (KBP). Menariknya, pembahasan tiga agenda itu berlangsung kurang dari dua jam. Padahal, draf statuta berisi 45 halaman, draf kode pemilihan berisi 14 halaman, dan Komite Eksekutif menawarkan 12 nama calon KP dan KBP.
Para voter mengaku mendapat draft tersebut pada Jumat (26/7/2019). Dengan durasi kongres yang begitu singkat, sulit membayangkan bahwa draf-draf itu dibahas secara detail. Membahas kelayakan nama-nama calon KP dan KBP satu persatu juga membutuhkan waktu, apalagi jika ada penolakan sehingga perlu mencari calon lainnya.
Ketua Asosiasi Provinsi PSSI DKI Jakarta, Uden Kusuma Wijaya, voter lainnya, menduga bahwa ini merupakan kongres tercepat dalam sejarah PSSI karena semua agenda langsung disetujui para voter. Tidak muncul sanggahan sama sekali. Kongres Luar Biasa pun menjadi Kongres Langsung Beres, asal selesai.
“Kelihatannya kami (para voter) memang menginginkan proses yang cepat karena kami juga jenuh dengan persoalan PSSI selama ini,” kata Uden. Oleh karena itu, voter tinggal menyatakan setuju dengan draf-draf yang diajukan. Keinginan untuk melangkah cepat juga terlihat dari disetujuinya perubahan waktu pemilihan ketua umum dari semula pada Januari 2020 menjadi November 2019.
Namun, ada pula voter yang menyatakan kecewa dengan proses yang langsung beres ini. “Ini pengumuman, kalau kongres kan ramai. Ini semua tinggal disahkan saja,” seru Manajer Persib Bandung, Umuh Muchtar, ketika keluar dari ruang kongres.
Pelaksana tugas Ketua Umum PSSI Iwan Budianto pun langsung menanggapi bahwa kongres ini sudah berjalan sesuai prosedur. “Ada proses pemungutan suara yang dilanjutkan penghitungan suara. Kalau ada yang bicara ini pengumuman, saya bingung karena ini proses kongres,” ujarnya.
Di tangan voter
“Kongres Langsung Beres” ini kemudian memunculkan pertanyaan besar ketika wajah-wajah lama kembali muncul dalam susunan KP dan KBP. Sebagian besar dari mereka merupakan orang-orang yang aktif pada masa kepemimpinan Nurdin Halid yang dinilai gagal membenahi sepak bola nasional. Para voter sudah jenuh, ingin cepat, dan tidak peduli dengan hal ini.
Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto, pun mengingatkan bahwa reformasi di tubuh PSSI akan sulit terwujud apabila orang-orang lama masih memegang peranan. Hal ini menghancurkan harapan publik akan perubahan total di PSSI. (Kompas, 29/7).
Namun, nasi sudah menjadi bubur. KP dan KBP sudah dibentuk dan mereka sudah mulai bergerak untuk menggelar pemilihan sosok ketua dan pengurus PSSI lainnya dalam kongres pada November mendatang. Mereka akan segera menjaring para kandidat ketua untuk dipilih para voter.
Oleh karena itu, harapan perbaikan sepak bola di Tanah Air saat ini sebenarnya ada di tangan para voter saat kongres nanti. Mereka bisa mengusulkan kandidat ketua yang layak dan menentukan pilihan berdasarkan hati nurani saat kongres. Lebih penting lagi, jangan sampai para voter terjebak dalam politik uang dan menerima “vitamin” dalam kongres nanti. Jangan lagi terjadi kongres langsung beres.