Minimnya Lapangan Kerja Jadi Faktor Utama Perdagangan Anak
Ketua DPR mendorong pemerintah daerah dan swasta untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, agar bisa mempersempit ruang gerak oknum yang tidak bertanggung jawab merekrut anak-anak
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Minimnya lapangan pekerjaan di beberapa daerah menjadi faktor utama yang mengakibatkan perdagangan anak-anak ke luar negeri marak terjadi di Nusa Tenggara Timur. Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kepolisian Negara RI perlu menelusuri agen-agen tenaga kerja yang tidak memiliki izin operasional.
Ketua DPR Bambang Soesatyo di Jakarta, Selasa (30/7/2019), mengatakan, maraknya perdagangan anak di Indonesia disebabkan karena minimnya lapangan pekerjaan di beberapa daerah, khususnya Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menilai bahwa pendidikan wajib belajar sembilan tahun juga masih belum merata.
"Saya mendorong pemerintah daerah dan swasta untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, agar bisa mempersempit ruang gerak oknum yang tidak bertanggung jawab merekrut anak-anak," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa.
Selama 3-27 Juli, tim liputan investigasi Kompas menelusuri beberapa daerah di NTT dan Jawa Barat hingga ke Kuala Lumpur, Malaysia, menemui korban dan keluarganya, serta melacak anak yang hilang setelah direkrut secara ilegal untuk kemudian dipekerjakan di tempat prostitusi.
Provinsi NTT merupakan provinsi yang memiliki penduduk termiskin sebesar 21 persen dari populasinya. Kemiskinan ini menyebabkan banyak penduduk pedesaan NTT berbondong-bondong mencari uang di daerah lain.
Selain itu, Bambang menjelaskan, pemerintah dan Polri perlu melakukan razia dan penelusuran terhadap agen penyalur tenaga kerja yang tidak memenuhi izin operasional maupun akta pendiriannya.
"Nantinya, para agen tersebut harus ditindak tegas sesuai dengan pasal 3 dan pasal 4 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang," ujarnya.
Ironisnya, sebagian besar anak-anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang direkrut oleh kerabat dan tetangganya. Faktor kedekatan ini membuat keluarga korban enggan melaporkan para perekrut kepada polisi.
Keterlibatan birokrat
Kepala Bidang Humas Polda NTT Komisaris Besar Jules A Abast mengatakan, ada dugaan keterlibatan oknum birokrat dalam pemalsuan data pribadi dan calon TKI lainnya agar bisa diberangkatkan ke luar negeri. Perekrut biasanya terkait dengan jaringan perdagangan orang yang ada di Indonesia ataupun di luar negeri.
”Kepolisian juga sudah melakukan proses hukum (terkait kasus perdagangan orang di NTT). Namun, kendalanya, kami bisa menindak pidananya setelah terjadi (perdagangan orang) dan ada pelaporan. Sementara akar masalahnya adalah terjadinya perekrutan di desa,” katanya.
Bambang menambahkan, harus ada pengawasan di setiap pintu masuk-keluar seperti bandara dan pelabuhan untuk mencegah perdagangan anak di luar negeri. Selain itu, pemberian paspor untuk tenaga kerja harus diperketat agar kasus seperti ini bisa diminimalkan.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid mengatakan, Sisko-TKLN yang terintegrasi dengan sistem adminduk Ditjen Dukcapil Kemendagri seharusnya sudah dapat mencegah anak di bawah umur terdaftar sebagai calon TKI.
Fungsi verifikasi
Namun, sistem ini, kata Nusron, tidak dapat mencegah anak-anak yang usianya ”dikatrol” melalui tindak kriminal mengubah data adminduk. Fungsi verifikasi data pribadi yang dimiliki oleh BNP2TKI, lanjutnya, bertumpu pada keabsahan data kependudukan yang ditangani instansi berwenang.
”Kami tidak bisa melampaui kewenangan kami. Kami hanya memverifikasi dokumen sesuai dengan data yang dipegang instansi yang punya kewenangan,” katanya. (Kompas, 30/07/2019).