Tingkat inklusi keuangan di Indonesia baru mencapai 68 persen. Padahal, inklusi keuangan ditargetkan mencapai 75 persen pada akhir tahun 2019. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bergerak cepat dengan mengajak anak muda yang untuk menabung dan berinvestasi.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tingkat inklusi keuangan di Indonesia baru mencapai 68 persen. Padahal, inklusi keuangan ditargetkan mencapai 75 persen pada akhir tahun 2019. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bergerak cepat dengan mengajak anak muda yang untuk menabung dan berinvestasi.
OJK menggelar acara Aksi Mahasiswa dan Pemuda Indonesia Menabung 2019 pada Selasa (30/7/2019), di Jakarta. Acara yang bertujuan meningkatkan literasi itu dihadiri Menteri Koordinator Bidang Perkonomian Darmin Nasution, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nassir, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, serta Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.
Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara mengatakan, anak muda berusia 15-29 tahun dan mahasiswa menjadi tumpuan pihaknya mengejar target inklusi keuangan. Saat ini inklusi keuangan di Indonesia baru mencapai 68 persen.
Adapun, sesuai Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 82 Tahun 2016, tingkat inklusi keuangan ditargetkan mencapai 75 persen pada akhir tahun ini.
“Untuk itu kami mendorong anak muda dan mahasiswa yang memang populasinya banyak. Kita dorong menabung. Bahwa menabung tidak hanya uang, tetapi bisa emas, saham, reksadana, juga investasi properti,” kata Tirta dalam acara tersebut.
OJK mengincar anak muda karena jumlah populasi masyarakat berusia 15-29 tahun mencapai 65,8 juta jiwa atau 24,6 persen dari keseluruhan penduduk. Sementara itu, jumlah mahasiswa mencapai 9,8 juta orang.
Wimboh meyakini, keterlibatan anak-anak muda tersebut mampu membuat target inklusi keuangan tercapai. Sebab, literasi keuangan penduduk berusia 15-29 tahun lebih baik dibandingkan kelompok usia lainnya.
“Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif khususnya dalam perluasan akses keuangan bagi kelompok mahasiswa dan pemuda di seluruh Indonesia serta mendukung pencapaian target tingkat inklusi keuangan sebesar 75 persen pada akhir tahun 2019 sebagaimana tercantum dalam SNKI,” pungkas Wimboh.
Wimboh menambahkan, dana tabungan juga sangat dibutuhkan pemerintah saat ini. Hal itu untuk membantu rencana pembangunan jangka menengah 2020-2024 yang mencapai Rp 37.448 triliun. Adapun dari jumlah itu, hanya sebesar 13,8 persen yang mampu ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Partisipasi dari perbankan dalam hal dana pihak ketiga sangat dibutuhkan.
Darmin menjelaskan, terlibatnya pemuda dalam menabung bisa memperbaiki selisih pertumbuhan kredit dengan dana pihak ketiga. “Kalau sekarang yang terjadi kan pertumbuhan kredit bisa 12 persen. Padahal dana pihak ketiga hanya bertumbuh 7-8 persen. Ini karena banyak yang tidak menaruh uang di bank,” tuturnya.
Menurut Darmin, inklusi keuangan yang semakin tinggi bisa membantu menutup kebutuhan investasi. Hal itu bisa mencegah pemerintah agar tidak terlalu tergantung pada modal asing.
“Kenaikan tabungan bisa menutup kebutuhan investasi. Kalau tidak tertutup sepenuhnya, baru mengandalkan modal asing. Modal asing masuk memang tidak masalah. Tetapi tidak baik jika kita terlalu bergantung,” sebut Darmin.
Salah satu program yang terus diperkenalkan OJK bersama industri saja keuangan yakni Simpanan Mahasiswa dan Pemuda (SiMuda). Tabungan yang rendah biaya administrasi dengan setoran awal mulai dari Rp 50.000 cukup diminati. Hingga 30 Juni 2019, sebanyak 11.052 rekening telah terdaftar dengan nominal Rp 12,4 miliar.
Saat ini, Indonesia masih kalah dari negara-negara di Asia Tenggara dalam hal kontribusi rasio tabungan terhadap produk domestik bruto. Indonesia hanya berada di urutan kelima, di bawah Brunei Darussalam, Singapura, Philipina dan Thailand, dengan kontribusi 31,6 persen.