JAKARTA, KOMPAS - Otonomi daerah bisa menjadi modal penting terpenuhinya hak asasi manusia. Pasalnya, otonomi membuat pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan. Akomodasi terhadap berbagai kelompok masyarakat dan kepentingan bisa mengurangi ketidakadilan sosial.
“Ada 11 kabupaten/kota yang menurut persepsi masyarakat telah memenuhi hak-hak sipil dan politik serta sosial-ekonomi,” kata Mugiyanto, dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), dalam diskusi publik tentang Festival HAM dan Peluncuran Riset 100 Kabupaten/Kota HAM di Jakarta, Senin (29/7/2019).
Mugiyanto menjelaskan, 11 daerah itu diseleksi dari 100 kabupaten/kota yang dipilih berdasarkan data dari berbagai institusi, dan evaluasi terhadap besar APBD serta potensinya. Tim INFID lalu mengajukan pertanyaan ke 20 orang di tiap kabupaten/kota itu, terkait dengan bagaimana HAM dijamin dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Riset yang diselenggarakan INFID bekerja sama dengan Raoul Wallenberg Institute ini menunjukkan, otonomi daerah bisa jadi alat penting terwujudnya pemenuhan HAM.
Bupati Jember Faida, yang daerahnya ikut dipersepsikan telah memenuhi hak sipil-politik serta sosial-ekonomi, menuturkan, meski 98.7 persen warga Jember adalah umat Islam, eksistensi agam lain tetapi dihormati. Pemerintah daerah juga telah mengimplementasikan program lepas pasung sejak tahun 2016, dan selama tiga tahun berhasil melepas 203 pasung. Warga masyarakat miskin di daerah itu juga didatangi rumahnya untuk dibuatkan KTP, tukang becak diberi rekening bank dan ibu-ibu yang hamil dengan resiko tinggi mendapat perlindungan.
Festival HAM
Pada 19-21 November 2019, pemerintah bekerja sama dengan Komisi Nasional (Komnas) HAM dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat akan menggelar Festival HAM di Jember.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menuturkan, Jember dipilih karena sampai sekarang tidak muncul gesekan sosial diantara warganya. Masyarakat di beberapa desa di daerah itu juga bisa membangun rumah ibadah bersama-sama, walau punya agama yang berbeda.
Beka menyebutkan, Komnas HAM menerima berbagai laporan tentang kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Hal ini menjadi kekhawatiran karena jumlahnya semakin banyak.
Hal senada disampaikan Ifdhal Kasim dari Kantor Staf Presiden (KSP). Menurutnya, meski di berbagai daerah telah ada aturan yang memberi perlindungan kepada kaum disabilitas, bentuknya masih normatif.
“Normatif sudah baik, tetapi perlu didorong ke arah yang lebih kualitatif,” katanya.
Ke depan, lanjut Ifdhal, perlu ada kesadaran bagi pemerintah daerah untuk membuat inklusi sosial terhadap kelompok masyarakat yang beda dengan mayoritas.