Sastrawan Darman Moenir mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Pusat Dr M Djamil, Padang, Sumatera Barat, Selasa (30/7/2019) siang. Darman yang bergulat melawan tumor paru-paru sejak 15 tahun terakhir meninggal pada usia 67 tahun.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Sastrawan Minang, Darman Moenir, mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Pusat Dr M Djamil, Padang, Sumatera Barat, Selasa (30/7/2019) siang. Darman yang bergulat melawan tumor paru-paru sejak 15 tahun terakhir ini meninggal pada usia 67 tahun.
Tahtiha Darman Moenir (43), putri sulung almarhum, di Padang, Selasa sore, menuturkan, kondisi ayahnya mulai menurun pada 8 Juli 2019 dan dirawat di RSUP Dr M Djamil, Padang. Pada 26 Juli 2019, sehari sebelum ulang tahunnya, kondisinya semakin menurun sehingga dipindah ke high care unit rumah sakit itu.
”Sehari sebelum ulang tahunnya, ayah masih bisa komunikasi, memanggil anak-cucu, dan segala macam. Setelah itu, ayah mulai tidak sadarkan diri. Pukul 06.00 pagi tadi, perawat kami melaporkan lidah ayah kelu. Pukul 14.40, ayah berpulang,” kata Tahtiha.
Jenazah Darman disemayamkan di kediamannya Jalan Pasaman II, Surau Gadang, Kecamatan Nanggalo, Padang. Almarhum menurut rencana dimakamkan di kompleks pemakaman Universitas Andalas, Padang, Rabu (31/7/2019).
Tahtiha menuturkan, ayahnya mengidap tumor paru-paru sejak 15 tahun silam. Meskipun demikian, penyakit itu tidak menghambat kegigihan dan semangatnya dalam berkarya dan berkegiatan di berbagai acara sastra dan kebudayaan. Bahkan, empat hari menjelang wafat, Darman meminta pulang agar dapat menulis novel.
Bahkan, empat hari menjelang wafat, Darman meminta pulang agar dapat menulis novel.
Akan tetapi, sastrawan yang pernah mendapatkan penghargaan Hadiah Utama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta (1980) untuk novel Bako itu akhirnya tak kuasa melawan penyakit. Tumor paru-paru stadium empat yang diidapnya sudah menjalar hingga ke tulang punggung yang memicu osteoporosis.
”Yang cukup membuat kami lega, ayah meninggal persis tanggal 30 Juli, sebagaimana seperti ayahnya, Bapak Moenir. Jadi, tanggal 28-30 Juli itu dia berjuang keras agar sama dengan orangtuanya,” ujar Tahtiha.
Tahtiha melanjutkan, keluarga sangat kehilangan sosok Darman. Di mata keluarga, pria kelahiran Sawah Tangah, Batusangkar, 27 Juli 1952, itu sangat sayang terhadap cucu. Tujuh cucu dari lima anaknya yang masih hidup (satu dari enam anaknya sudah meninggal) sangat dekat dengan Darman.
”Kami bangga punya ayah seperti beliau. Meskipun kondisi sebelah kakinya cacat, saya tidak pernah malu. Begitulah kecintaan kami kepada seorang ayah, Darman Moenir,” ujar Tahtiha.
Darman mulai aktif menulis pada usia 18 tahun. Selain mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, Darman juga pernah menjadi pemenang kedua Sayembara Novel Majalah Kartini (1987) untuk novel Aku Keluargaku Tetanggaku dan Hadiah Sastra dari Pemerintah Republik Indonesia (1992).
Bukan hanya novel, Darman juga aktif menulis puisi, cerpen, esai, dan mengerjakan terjemahan. Karya-karyanya dimuat di berbagai media, antara lain majalah Horison, Kalam, Panji Masyarakat, Pertiwi, Kartini, tabloid Nova, harian Indonesia Raya, Kompas, Pelita, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Suara Karya, Media Indonesia, Sinar Pagi, Republika, Jurnal Nasional, Analisa (Medan), Berita Minggu (Singapura), dan berbagai surat kabar terbitan Padang.
Di mata sahabat
Pantauan Kompas, Selasa sore, para pelayat datang silih berganti ke rumah almarhum Darman Moenir. Di antara para pelayat itu ada cerpenis Harris Effendi Thahar, sejarawan Mestika Zed, seniman Alwi Karmena, wartawan senior Nasrul Azwar, dan cerpenis Yetti A.KA.
Harris Effendi Thahar mengaku sangat kehilangan dengan kepergian sahabatnya itu. Mereka sudah berkawan sejak masa-masa kuliah pada tahun 1970-an. Pada masa-masa itu, Harris, bersama Darman dan dua sastrawan lainnya, Hamid Jabbar dan Asneli Luthan, mendirikan kelompok studi sastra Kerikil Tajam. Yang dituakan di kelompok itu adalah sastrawan AA Navis.
”Di antara mereka, tinggal saya sendiri yang masih hidup,” kata Harris, yang juga Guru Besar Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang.
Karya Darman punya karakter Minangkabau yang kental. Ketika membaca novel Bako, misalnya, orang segera tahu bahwa novel itu karangan orang Minang.
Menurut Harris, almarhum Darman punya reputasi yang baik sebagai sastrawan asal Minangkabau. Novelnya yang terkenal, Bako, ia terbitkan di usia yang sangat muda dan meraih penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta.
Harris berpendapat, karya Darman punya karakter Minangkabau yang kental. Ketika membaca novel Bako, misalnya, orang segera tahu bahwa novel itu karangan orang Minang. Sebab, tokohnya spesifik memiliki karakter orang Minang dengan latar budaya Minang.
Adapun secara pribadi, kata Harris, Darman merupakan orang yang punya optimisme tinggi. Meskipun menyandang disabilitas, Darman sangat bersemangat dalam berkarya ataupun berkenalan dengan para sastrawan lebih senior, seperti Mochtar Lubis dan Taufiq Ismail.
”Dengan karakternya yang seperti itu, orang cepat mengenalnya. Di antara kami (seangkatan), Darman merupakan pionir dengan kepribadian terbuka,” ujar Harris.
Sementara itu, Nasrul Azwar berpendapat, Darman merupakan orang yang disiplin dengan waktu. Dalam setiap kegiatan kebudayaan, ia selalu datang 15 menit sebelum acara dimulai. Selain itu, Darman termasuk sastrawan yang akurat dalam penulisan bahasa Indonesia.
”Beliau juga punya kepedulian terhadap penggunaan bahasa Indonesia,” kata Nasrul. Darman kerap mengkritik penggunaan bahasa Inggris dalam penamaan gedung-gedung perguruan tinggi dan pemerintah. Salah satunya penulisan Rectorate and Research Center di Gedung Rektorat Universitas Negeri Padang. ”Meskipun sampai sekarang tidak diubah juga,” ucap Nasrul.