Di tengah isu terusiknya soliditas Koalisi Indonesia Kerja, Presiden terpilih Joko Widodo menyatakan, kekuatan koalisi saat ini sudah cukup kuat. Sekalipun mampu meredam isu perpecahan di koalisi, pernyataan itu tetap mengundang tanya. Akankah Jokowi memperluas koalisinya?
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·5 menit baca
Di tengah isu terusiknya soliditas Koalisi Indonesia Kerja, Presiden terpilih Joko Widodo menyatakan bahwa kekuatan koalisi yang ada saat ini sudah cukup kuat. Sekalipun mampu meredam isu perpecahan di koalisi, pernyataan itu tetap mengundang tanya. Akankah Jokowi memperluas koalisinya?
Selama bulan Mei-Juli 2019, publik disuguhi proses rekonsiliasi politik yang menyejukkan karena pertemuan Jokowi dengan sejumlah ketua umum parpol dari luar Koalisi Indonesia Kerja (KIK).
Namun, sejumlah pihak menginterpretasikan, pertemuan ini bukan sekadar rekonsiliasi, melainkan menjadi sinyal bahwa Jokowi sedang melakukan penjajakan untuk memperluas koalisi.
Berdasarkan catatan Kompas, Jokowi menerima kunjungan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan pada Rabu (22/5/2019) di Istana Kepresidenan, Bogor, Jabar.
Pada hari yang sama, Komandan Komando Tugas Bersama Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono juga berkunjung ke Istana Kepresidenan untuk mengucapkan selamat atas keberhasilan Jokowi meraih suara terbanyak di Pemilu Presiden (Pilpres) 2019.
Kemudian, yang terbaru, persisnya pada Sabtu (13/7/2019), Jokowi bertemu dengan rival utamanya di Pilpres 2019, yaitu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
”Belum ada pembahasan terkait pelebaran koalisi. Namun, jika ditanya apakah kekuatan yang ada sudah cukup, saya sampaikan bahwa kekuatannya sudah cukup,” ujar Jokowi saat pembubaran Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Jakarta, Jumat (26/7/2019).
Jokowi mengatakan hal tersebut dua hari setelah pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo, Rabu (24/7/2019), yang bersamaan dengan pertemuan antara Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Sebelumnya, Senin (22/7/2019), berlangsung pertemuan empat ketua umum partai di KIK, yaitu Partai Golkar, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan, yang tidak dihadiri perwakilan PDI-P.
Pertemuan-pertemuan yang kemudian memunculkan isu adanya keretakan dalam tubuh KIK.
Menanggapi pernyataan Jokowi dan pertemuannya dengan elite-elite partai di luar KIK, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana menginterpretasikan, saat ini Jokowi sedang mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa terjadi di tubuh KIK, termasuk terbentuknya poros baru setelah pertemuan antara Surya dan Anies ataupun pertemuan empat ketua umum partai di KIK.
”Jokowi mengatakan bahwa kekuatan koalisi sudah cukup, namun belum kuat atau sangat kuat. Hal ini memunculkan interpretasi bahwa Jokowi akan melebarkan koalisi,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (29/7/2019).
Aditya memperkirakan, Jokowi akan mengundang lebih dari satu parpol untuk bergabung karena adanya potensi parpol dalam KIK yang berbeda sikap dengan pemerintah. Oleh karena itu, ia perlu mencari kekuatan lain dari luar koalisi.
”Hal ini juga diperlukan sebagai bentuk antisipasi jika nantinya KIK menemui jalan buntu (deadlock) dalam pembagian kekuasaan (power sharing),” ujarnya.
Jadi bumerang
Pengajar politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Adi Prayitno, pun melihat, Jokowi masih ingin menambah kekuatan dalam koalisi.
”Melihat komposisi parpol KIK yang sudah mencapai sekitar 60 persen dari total kursi DPR, kemungkinan Jokowi hanya akan menambah satu parpol agar koalisi ini tidak terlalu gemuk,” katanya.
Namun, dia mengingatkan, jika memang Jokowi ingin memperluas koalisi, hendaknya partai yang diajak bergabung memiliki program yang sama dengan program Jokowi-Amin. Jika tidak, bergabungnya partai baru justru bisa menjadi bumerang yang membuat jalannya pemerintahan kelak tidak efektif.
Kesamaan program harus dipastikan dulu mengingat saat Pemilu Presiden 2019, partai-partai di luar KIK mengusung program yang berbeda dengan program Jokowi-Amin. Bahkan, tak jarang mereka mengkritik kebijakan Presiden Jokowi.
Mengenai kemungkinan Jokowi memperluas koalisinya, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik mengatakan, Demokrat menyerahkan sepenuhnya kepada Jokowi.
”Sama seperti ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai presiden, beliau tidak ingin jika ada pihak-pihak yang menekannya dalam mengambil keputusan,” ucapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, hingga kini Demokrat belum membahas arah politik pascapemilu.
”Saat ini Pak Yudhoyono (Ketua Umum Demokrat) juga masih dalam keadaan berduka dan masih sibuk menulis memoar tentang Bu Ani. Belum ada rencana lebih lanjut untuk membahas soal koalisi,” ujarnya.
Sistem multipartai
Begitu pula disampaikan oleh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Menurut dia, belum ada rencana untuk bertemu Jokowi guna membahas koalisi.
Meski demikian, dia menekankan pentingnya kerja sama antarkekuatan politik. ”Kami tidak pernah meminta apa pun kepada pemerintah. Namun, di Indonesia, sistemnya merupakan multipartai. Oleh sebab itu, komunikasi serta kerja sama harus terus berlanjut karena tidak mungkin partai berjalan sendiri-sendiri,” ujarnya.
Sementara sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan telah menawarkan konsep dan program partai kepada pemerintahan Jokowi-Amin. Ini khususnya di bidang kemandirian pangan dan ketahanan energi. Konsep itu umumnya ditangani oleh Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
”Kalau ke dalam (pemerintah) itu tidak langsung bagi-bagi kursi, tetapi kami tukar-menukar konsep dulu. Kalau konsep kami diterima, baru ketahuan berapa jumlah orang yang diperlukan untuk menjalankannya,” kata Dasco (Kompas, 20 Juli 2019).
Di internal KIK sendiri, isu perluasan koalisi memantik penolakan. Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate, misalnya, menyatakan, koalisi yang ada saat ini sudah kuat dan solid. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya tidak perlu menambah partai politik dari luar koalisi.
Jokowi masih memiliki waktu sekitar dua bulan atau hingga pelantikan Presiden-Wakil Presiden terpilih, Oktober mendatang, untuk menentukan postur koalisi yang dibutuhkannya. Semoga saja kesibukan menentukan postur koalisi ini tidak kemudian mengaburkan hal yang lebih substansial, mematangkan program-program kerja guna memenuhi janji kampanye Jokowi-Amin.