JAKARTA, KOMPAS— Pemerintah akhirnya menyetujui kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Berapa iuran yang harus ditanggung warga akan dibahas tim teknis di tingkat menteri.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menjelaskan beberapa hal yang dibahas di rapat tertutup terkait defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Senin lalu. ”Beberapa hal dibahas dan prinsipnya kita setuju. Pertama, setuju menaikkan iuran. Berapa naiknya, nanti dibahas tim teknis dan akan dilaporkan pada rapat berikut,” kata Kalla, Selasa (30/7/2019), di Kantor Wapres, Jakarta.
Kenaikan iuran JKN-KIS dinilai mendesak karena iuran ditetapkan lima tahun lalu dan amat rendah dibandingkan dengan harga obat dan operasional rumah sakit. ”Rp 23.000 itu sudah enggak sanggup sistem kita,” ujarnya.
Selain itu, rapat juga memutuskan harus ada perbaikan manajemen dan sistem kontrol BPJS Kesehatan. Secara organisasi, BPJS Kesehatan akan didesentralisasi agar rentang kendali lebih pendek. ”Tak mungkin suatu instansi mengontrol 200 juta lebih anggota. Harus didesentralisasi supaya 2.500 RS yang melayani BPJS dibina serta diawasi gubernur dan bupati,” lanjut Kalla.
Tak mungkin suatu instansi mengontrol 200 juta lebih anggota. Harus didesentralisasi supaya 2.500 RS yang melayani BPJS dibina serta diawasi gubernur dan bupati.
Menurut Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh P Daulay, ada banyak kajian disampaikan kepada pemerintah demi mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Salah satu penyebab defisit BPJS Kesehatan ialah jumlah peserta mandiri sedikit. ”Harus diupayakan peningkatan jumlah kepesertaan mandiri,” katanya.
Dana talangan
Sementara Kementerian Keuangan akan menyuntikkan dana talangan guna mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan. Suntikan dana itu diberikan dengan syarat ada perbaikan sistem jaminan kesehatan nasional di masa depan.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kemarin, pemerintah telah melihat hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait sistem JKN. Dari hasil audit itu, BPJS Kesehatan diminta membenahi sistem. ”Ketidakcocokan tarif yang dikumpulkan dan manfaat harus dibayar menimbulkan defisit kronis,” ungkapnya.
Total defisit BPJS Kesehatan tahun 2018-2019 diprediksi Rp 28 triliun (Kompas, 27/5/2019). Kemenkeu selama empat tahun memberi tambahan dana pada BPJS Kesehatan di luar anggaran penerima bantuan iuran (PBI). Pada 2018, suntikan dana Rp 10,1 triliun. Itu mengindikasikan ketimpangan penerimaan dan pengeluaran dalam arus kas BPJS Kesehatan.
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan menyuntikkan dana tambahan lagi pada 2019 ini agar defisit BPJS Kesehatan tak membesar dan tunggakan tagihan dari RS bisa dibayar. Suntikan dana mesti dibarengi perbaikan sistem jaminan dan operasional badan.
Dari hasil audit BPKP, lanjut Sri Mulyani, BPJS Kesehatan juga diminta membenahi data kepesertaan, sistem rujukan, hingga indikasi manipulasi klaim tagihan. Peran pemerintah daerah penting untuk melakukan kurasi, koordinasi, dan pengawasan kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjut atau rumah sakit. Perbaikan sistem ini harus dilakukan bersama.
BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan juga diminta menyeimbangkan tarif antara premi yang dibayar dan manfaat bagi peserta. Profil risiko setiap peserta harus ditinjau dan ditata ulang. Intinya, BPJS tetap harus memberikan layanan kesehatan dengan menjaga anggaran berkelanjutan. ”Efisiensi, transparansi, dan kredibilitas BPJS Kesehatan harus meningkat,” kata Menkeu.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar berpendapat, salah satu opsi guna meningkatkan pendapatan BPJS Kesehatan adalah menaikkan iuran kepesertaan JKN sesuai kajian aktuaria. ”Misalnya, untuk penerima bantuan iuran itu aktuarianya Rp 36.000, tetapi sekarang masih Rp 23.000. Jika itu dilakukan, ada tambahan anggaran Rp 22 triliun,” ujarnya. (INA/NTA/KRN/FRD)