Emmy Sahertian dan Laurentina, Berjuang Mengawal Jenazah TKI
Pendeta Emmy Sahertian dan Suster Laurentina PI tak pernah mengendurkan semangat menyambut jasad para TKI yang dipulangkan ke Nusa Tenggara Timur. Mereka datangi unit kargo di bandara dan pelabuhan untuk menjemputnya dan memberikan penghormatan terakhir. Mereka menamakan diri sebagai Tim Pelayanan Kargo.
Mereka adalah tim inti yang sejak 2016 bersama-sama berjuang melawan perdagangan orang yang kerap kali bersembunyi di dalam pengiriman TKI secara ilegal di NTT. Mereka turut dibantu Pendeta Paoina Ngefak-Bara Pa.
Sejak 2015 hingga sekarang, jenazah TKI asal NTT pulang mengalir. Lebih dari 90 persen jenazah itu merupakan TKI yang diberangkatkan ke luar negeri secara ilegal. Pada 2015 sebanyak 28 jenazah dipulangkan, tahun 2016 bertambah menjadi 46 jenazah, tahun 2017 menjadi 62 jenazah, tahun 2018 mencapai 105 jenazah. Selama Januari-Juni 2019 ini, sudah ada 61 jenazah TKI yang dipulangkan ke NTT.
Di antara jasad yang dipulangkan itu ada TKI yang saat pertama kali berangkat ke luar negeri masih anak-anak, seperti Adelina Sau yang tewas dianiaya majikannya pada 2018. Ada pula Yufrinda Selan yang di Pengadilan Negeri Kupang terbukti korban perdagangan orang.
Jumlah jasad yang dipulangkan itu, menurut Emmy, belum termasuk yang dipulangkan secara diam-diam, tak melalui institusi pemerintah. Belum lagi TKI yang tak kunjung pulang ke NTT karena terindikasi tewas dan dimakamkan di tempatnya bekerja di luar negeri, salah satunya di area perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Hingga kini, data itu belum terdokumentasi.
“Kalau tidak ada yang ngurus, mereka dikuburkan tanpa nama di sana (di luar negeri tempat TKI bekerja). Kabar yang kami terima, mereka dikuburkan diam-diam. Karena kalau ketahuan, maka yang menguburkan bisa ditangkap (oleh otoritas setempat),” jelasnya.
Ikhtiar menjemput para jenazah TKI ini, menurut Emmy, semata untuk menggugah kesadaran birokrat dan publik di NTT bahwa jasad TKI itu adalah manusia yang layak dihormati. Sekaligus mengingatkan publik bahwa patut diduga sebagian besar jenazah TKI itu adalah korban perdagangan orang, karena 90 persen jasad itu adalah TKI ilegal.
“Kami bikin ritual khusus (menghormati jenazah TKI). Dari situ kami tahu, ada banyak jenazah TKI dipulangkan. Lama-lama orang mulai merasa bahwa mereka (para TKI) yang pergi itu (jenazahnya) bukan barang rongsokan,” jelasnya.
Bagi Tim Pelayanan Kargo, mengawal jenazah TKI ini sekaligus menjadi pintu masuk untuk mengungkap perdagangan orang yang terjadi dalam pengiriman TKI di NTT. Salah satunya adalah pengungkapan perdagangan orang yang menimpa Yufrinda, gadis remaja asal Desa Tuppan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang diselundupkan ke Malaysia pada 2015 dan pulang dalam kondisi tak bernyawa pada 2016.
“Kami advokasi lengkap. Laporan polisi, kami kawal. Kemudian kejaksaan, kami masuk,” ucapnya.
Saat itu, menurut Emmy, muncul dugaan putusan yang dijatuhkan majelis hakim akan lebih ringan dibandingkan tuntutan. Dengan mengerahkan jaringan masyarakat sipil, Emmy bersama Tim Kargo menggelar demo agar majelis hakim dapat menjatuhkan hukuman yang berat terhadap setiap orang yang terlibat menyelundupkan Yufrinda ke Malaysia. Hasilnya, setidaknya 15 orang dipidana dan dihukum membayar restitusi kepada keluarga Yufrinda.
Dalam perdagangan orang di NTT saat ini, menurut Suster Laurentina, anak dan perempuan telah menjadi sasaran perdagangan orang. Untuk membangun kesadaran kerawanan itu, Laurentina masuk ke paroki-paroki untuk sosialisasi terkait bahaya perdagangan orang.
Dari beberapa modus perdagangan orang yang ditemukan di NTT, menurut Laurentina, para perekrut calon TKI mendekati anak-anak perempuan yang dijadikan targetnya itu dengan bujuk rayu. Bahkan ada yang dipacari, diberikan ponsel, dan dipenuhi kebutuhannya, sehingga anak itu mau dikirim ke luar negeri sebagai TKI. “(Anak) dibujuk rayu, dipacari dulu oleh PL (perekrut lokal) itu,” ucapnya.
Bahkan, menurut Laurentina, dia pernah menelusuri pengiriman TKI yang diduga mengandung unsur perdagangan orang di sebuah desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Namun penelusuran itu berjalan alot karena aparat desa setempat cenderung menutup-nutupi pihak-pihak yang terlibat dalam pengiriman TKI tersebut. “Ada dugaan pengiriman TKI ini melibatkan aparat desanya,” jelasnya.
Laurentina mengungkapkan, tak sedikit pengiriman TKI ilegal yang ditangani itu melibatkan orang dekat, seperti keluarga dan tetangga. Kalau sudah melibatkan keluarga, menurutnya, itu kerap kali sulit menggali peristiwa yang sesungguhnya terjadi.
“Kalau melibatkan keluarga, kalau dijerat hukum, kan kadang-kadang keluarga korban sendiri kasihan. Kalau kita ke sana, akhirnya yang diceritakan yang baik-baik saja. Kecuali kalau kita tinggal berapa hari (baru bisa diperoleh cerita sesungguhnya),” jelasnya.
Adanya keterlibatan kerabat maupun tetangga ini, menurut Laurentina, membuat sosialisasi bahaya bekerja sebagai TKI lewat jalur non-prosedural atau ilegal itu menjadi sangat penting. Apalagi, kemiskinan telah mendorong warga di perdesaan untuk mengikuti jejak kerabat maupun tetangganya mengadu nasib di luar negeri.
Namun untuk memberantas jaringan perdagangan orang itu pun, menurut Laurentina, itu tak mudah. Bos besar jaringan perdagangan orang itu berada di luar negeri, negara tujuan kerja calon TKI. Sementara itu, yang ada di dalam negeri hanya kaki tangan yang bertugas sebagai perekrut dan kurir yang menyelundupkan calon TKI ke luar negeri.
“Mereka dari kampung, ditampung di Kupang, dibawa ke Jakarta atau Batam, habis itu ke Malaysia. Di Malaysia, ada yang dimasukkan ke prostitusi, dan ada yang ke rumah tangga,” jelasnya.
Bahkan, TKI itu tak hanya disalurkan bekerja di Malaysia, tetapi juga ada yang dikirim ke Thailand hingga Taiwan. “Faktanya ada yang dijual ke Taiwan, Thailand. Itu hasil sharing (berbagi cerita) antar-jaringan anti-perdagangan orang dari sejumlah negara. Bahkan teman jaringan di Hong Kong kadang kontak saya untuk pemulangan jenazah (TKI) dari sana,” jelasnya.
Untuk memulangkan jenazah TKI maupun TKI yang baru kembali setelah bertahun-tahun tak pernah pulang, menurut Laurentina, itu juga memiliki tantangan tersendiri. Meskipun, menurutnya, dia sudah membangun banyak jaringan kerja hingga ke perdesaan di NTT, tetapi menemukan kampung halaman para TKI itu tak mudah.
Laurentina memberikan contoh, beberapa waktu lalu ada TKI bernama Yuliana Misa yang sudah menghilang selama belasan tahun, kembali pulang ke NTT. “Belakangan baru diketahui desa asalnya di Eulasi. Saya langsung ke paroki di Eulasi, dan ada jaringan hubungi saya sehingga bisa diperoleh nama orangtua dan alamat rumahnya. Itu saja butuh waktu 8 bulan sejak menerima nama sampai ketemu orangtuanya, dan menyerahkan dia ke keluarganya,” jelasnya.
Lebih bermasalah lagi, menurut Laurentina, memang bukan perkara mudah mengantar jenazah ke pihak keluarga di NTT. Tak jarang, alamat yang diberikan ke Laurentina tidak lengkap. “Kadang alamatnya tidak jelas. Untungnya di (Pulau) Timor ini, khususnya NTT, itu bisa dilihat nama belakangnya. Itu menunjukkan tempat asalnya,” ucapnya.
Akan tetapi, modal nama belakang korban juga tak menjamin bagi dia untuk segera menemukan keluarga korban. Meski memanfaatkan jejaring paroki, butuh waktu berbulan-bulan untuk memperoleh nama orangtua dan alamat rumah korban. “Penelusuran tempat dan mencari orang itu kan seperti mencari jarum di dalam jerami,” kata Laurentina.
Permasalahan semakin rumit apabila identitas jenazah yang dipulangkan ke NTT itu sudah dipalsukan sehingga tak sesuai dengan yang data kependudukan yang semula atau asli. Pengubahan atau pemalsuan nama ini, telah digunakan sindikat perdagangan orang sebagai cara untuk memutus jejak keluarga. Dengan demikian, asal-usulnya tak mudah dilacak.
Penggantian nama dan data pribadi ini tidak muncul begitu saja ketika jenazah akan dipulangkan ke NTT. Pemalsuan atau pengubahan data pribadi itu sudah terjadi saat perekrutan, untuk kebutuhan pembuatan dokumen imigrasi yang palsu. Pembuatan dokumen palsu itu salah satu tujuannya adalah membuat usia calon TKI itu lebih tua dari semestinya sehingga memenuhi syarat TKI yang dapat dikirim bekerja ke luar negeri.
Problem ini diperparah dengan rendahnya kesadaran warga mengurus dokumen kependudukan. “Akses pembuatan akta di desa-desa kantong buruh migran itu rendah sekali,” kata Laurentina.
Pembajakan budaya
Kompleksitas masalah yang dihadapi Tim Pelayanan Kargo juga dipersulit dengan taktik jaringan perdagangan orang yang membajak nilai-nilai budaya lokal, kata Pendeta Ina Bara Pa, panggilan akrab Paoina Ngefak-Bara Pa.
Salah satu bentuk budaya yang dibajak adalah oko mama. Oko mama artinya adalah kotak sirih pinang. Semula, isi kotak oko mama adalah sirih, pinang, dan minuman lokal sopi. Oko mama diberikan kepada seseorang sebagai bentuk persaudaraan dan kepercayaan. Dengan perkembangan zaman, oko mama juga mengambil wujud dalam bentuk uang.
Ina mengatakan, oko mama telah disalahgunakan sebagai alat oleh mafia perdagangan orang untuk memperoleh kepercayaan dari keluarga-keluarga di desa. “Dan orang tua menerima oko mama berupa uang Rp 100.000-200.000, kemudian menyerahkan anaknya (kepada perekrut),” jelasnya.
Uang sejumlah itu, kata Ina, mungkin tidak seberapa nilainya bagi warga kota. Namun bagi warga desa, uang Rp 100.000 memiliki nilai cukup besar karena warga desa membutuhkan seluruh uang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sehari-hari.
Baik Emmy, Laurentina, maupun Ina, sama-sama meyakini bahwa perjuangan mereka melawan perdagangan orang di NTT masih menghadapi jalan panjang, dengan tantangan yang tak ringan. Apalagi kebutuhan tenaga kerja murah di luar negeri terus meningkat sehingga perekrutan tenaga kerja masih akan terus terjadi, termasuk perdagangan orang yang bersembunyi di dalamnya.
Namun Tim Pelayanan Kargo meyakini, setiap langkah kecil yang mereka buat untuk melawan perdagangan orang, itu tetap akan bermanfaat bagi kemanusiaan.
Pendeta Emmy Sahertian
Lahir: Kupang, 27 Desember 1957
Karier:
- Melayani sebagai pendeta Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) sejak 1980
- Memberikan pelayanan bagi Rumah Sakit PGI Cikini selama 20 tahun (1984-2004)
- Pendampingan isu hak azasi manusia untuk daerah konflik Papua dan Aceh, serta isu kebangsaan (1996-2009)
- Penasihat program penanggulangan HIV-AIDS untuk mitra pelayanan di Indonesia dan Malaysia.
- Melayani Badan Diakonat GMIT (2014-2016).
- Melayani di Badan Advokasi Hukum dan Perdamaian Sinode GMIT di Kupang, NTT (2016-2019)
Suster Laurentina, PI
Lahir: Temanggung, 23 Agustus 1970
Karier
- Ketua Yayasan Penyelenggaraan Ilahi yang berpusat di Semarang. Kini bertugas di Paroki Penfui, Santo Yoseph, Kupang, NTT.