KPK Tetapkan Laksamana Pertama Bambang Udoyo sebagai Tersangka
Pusat Polisi Militer Angkatan Laut terus bekerja sama dengan KPK untuk menuntaskan kasus ini. Jadi penyidik Puspomal dan penyidik KPK bergantian tempat ada di Puspomal, ada juga di KPK.
Oleh
Sharon Patc
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Laksamana Pertama Bambang Udoyo sebagai tersangka dalam pengembangan kasus pengadaan satelit monitoring Badan Keamanan Laut atau Bakamla tahun 2016. Atas kasus ini, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 54 miliar.
Selain Bambang Udoyo, KPK juga menetapkan tiga tersangka lainnya, yaitu Leni Marlena selaku Ketua Unit Layanan Pengadaan, Juli Amar Ma’ruf selaku Anggota Unit Layanan Pengadaan pada Pengadaan Backbone Coastal Surveillance Sytem yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) Tahun 2016, dan Rahardjo Pratjihno selaku Direktur Utama PT CMI Teknologi, rekanan pelaksana pekerjaan Pengadaan Perangkat Transportasi Informasi Terintegrasi Tahun 2016.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata bersama Direktur Pembinaan Penegakkan Hukum Pusat Polisi Militer Angkatan Laut Kolonel (PM) Totok Safaryanto dan Dansatlak Puspomal Letnan Kolonel (PM) Tuyatman mengumumkan hal ini di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (31/7/2019).
Alexander Marwata menyampaikan, dalam pengembangan kasus ini ditemukan dugaan korupsi dalam proses pengadaan satelit pemantauan bersamaan dengan pengadaan kamera jarak jauh dan menara, instalasi dan pelatihan untuk personel Bakamla. Demikian pula pengadaan Backbone Coastal SurveillanceSystem (perangkat transportasi informasi terintegrasi) yang terintegrasi dengan BIIS pada tahun anggaran 2016.
Ketiga proyek pengadaan tersebut ditandatangani Bambang selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bakamla. Sebelumnya, Bambang sudah divonis hukuman penjara 4 tahun 6 bulan di Mahkamah Militer Jakarta karena terbukti bersalah dalam kasus suap dalam pengadaan satelit monitoring di Bakamla.
Dalam pengembangan, KPK menemukan fakta-fakta dugaan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan dalam pengadaan Perangkat Transportasi Informasi Terintegrasi (Backbone Coastal Surveillance System) Bakamla tahun 2016. “Perbuatan ini dilakukan oleh keempat tersangka dengan menguntungkan diri sendiri dan atau pihak lain serta mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 54 miliar,” kata Alexander.
Totok Safaryanto menyampaikan, proses hukum atas Bambang akan dilaksanakan oleh TNI AL. Sebab, polisi militer mempunyai hak menyidik anggota TNI yang pada saat melakukan tindak pidana masih berstatus militer. Hal ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
“Jadi, walaupun dia sudah pensiun kami masih punya hak untuk memeriksa,” ujarnya.
Dasar penyidikan Puspomal tentang masalah ini adalah perintah penyidikan dari KPK kepada Komandan Pusat Polisi Militer AL. Atas kasus ini, KPK juga telah melakukan penyelidikan berupa audit forensik.
“Kami telah melakukan penyidikan sebanyak kurang lebih 27 orang-orang sipil yang telah diperiksa. Sementara untuk Bambang sendiri yang telah ditetapkan sebagai tersangka, kami akan lakukan pemeriksaan dalam waktu dekat,” kata Toto.
Pusat Polisi Militer Angkatan Laut terus bekerja sama dengan KPK untuk menuntaskan kasus ini. “Jadi penyidik kami dan penyidik KPK bergantian tempat ada di Puspomal, ada juga di KPK. Tergantung nanti koordinasi kami dengan KPK,” katanya.
Konstruksi perkara
Kasus ini berawal pada April 2016, saat Bambang sebagai Direktur Data Informasi diangkat menjadi PPK Kegiatan Peningkatan Pengelolaan Informasi, Hukum, dan Kerjasama Keamanan dan Keselamatan Laut. Kemudian pada Juni 2016, Leni Marlena dan Juli Amar Ma’ruf diangkat sebagai Ketua dan Anggota Unit Layanan Pengadaan (ULP) Bakamla tahun 2016.
Pada Tahun Anggaran 2016 terdapat usulan anggaran untuk pengadaan Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated InformationSystem (BIIS) sebesar Rp 400 miliar. Anggaran ini dialokasikan dalam APBN-P 2016 untuk Bakamla.
“Pada awalnya anggaran untuk pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS belum dapat digunakan walaupun demikian ULP Bakamla RI tetap memulai proses lelang tanpa menunggu persetujuan anggaran dari Kementerian Keuangan,” kata Alexander.
Selanjutnya pada Agustus 2016, ULP Bakamla mengumumkan lelang pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS dengan pagu anggaran sebesar Rp 400 miliar dan nilai total HPS sebesar Rp 399,8 miliar. Pada September 2016, PT CMI Teknologi ditetapkan sebagai pemenang dalam pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS.
Kemudian awal Oktober 2016 terjadi pemotongan anggaran oleh Kementerian Keuangan. Meskipun anggaran yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan untuk pengadaan ini kurang dari nilai HPS pengadaan, ULP Bakamla tidak melakukan lelang ulang.
“Akan tetapi dilakukan negosiasi dalam bentuk design review meeting (DRM) antara pihak Bakamla dengan PT CMI Teknologi terkait dengan pemotongan anggaran untuk pengadaan tersebut,” kata Alexander.
Negosiasi yang dilakukan adalah negosiasi biaya untuk menyesuaikan antara nilai pengadaan dan anggaran yang disetujui/ditetapkan oleh Kementerian Keuangan serta negosiasi waktu pelaksanaan.
Hasil negosiasinya, yaitu harga pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS menjadi sebesar Rp 170,57 miliar dan waktu pelaksanaan dari 80 hari menjadi 75 hari. Pada Oktober 2016, kontrak pengadaan ditandatangani Bambang dan Rahardjo Pratjihno dengan nilai kontrak Rp 170,57 miliar.