Likuiditas Terkendali, Bunga Penjaminan Diturunkan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menurunkan tingkat bunga penjaminan sebanyak 25 basis poin. Penurunan dilakukan berdasarkan hasil evaluasi kondisi likuiditas perbankan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menurunkan tingkat bunga penjaminan sebanyak 25 basis poin. Penurunan dilakukan berdasarkan hasil evaluasi kondisi likuiditas perbankan.
Kondisi itu membuat bunga penjaminan simpanan rupiah dan valuta asing di bank umum menjadi 6,75 persen dan 2,25 persen. Sementara bunga simpanan rupiah di bank perkreditan rakyat menjadi 9,25 persen.
Terkendalinya likuiditas tersebut salah satunya terpantau dari indikator loan to deposit ratio (LDR) perbankan yang cenderung menurun secara bulanan. LDR merupakan perbandingan total kredit terhadap dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun bank. Rasio ini akan menunjukan tingkat kemampuan bank dalam menyalurkan dananya dari masyarakat dalam bentuk kredit.
”Penurunan LDR ini disebabkan peningkatan DPK. Harapannya, angka LDR ini bisa terkendali di angka 92-100 persen sepanjang 2019,” kata Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah di Jakarta, Rabu (31/7/2019).
Berdasarkan data yang dihimpun LPS dari internal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), LDR perbankan turun dari 95,54 persen pada Mei 2019 menjadi 94,28 persen pada Juni 2019. Adapun komponen utama pembentuk LDR ialah DPK dan kredit.
Data yang sama menunjukkan, pertumbuhan DPK meningkat dari 6,27 persen secara tahunan pada Mei 2019 menjadi 7,42 persen pada Juni 2019. Jika dibandingkan dengan Juni 2018, pertumbuhan DPK mencapai 6,99 persen secara tahunan.
Adapun pertumbuhan kredit pada Juni 2019 mencapai 9,92 persen. Angka ini cenderung melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 10,75 persen.
Perlambatan pertumbuhan kredit menyebabkan menyempitnya selisih antara pertumbuhan kredit dan pertumbuhan DPK. Imbasnya, angka LDR menurun.
Hingga akhir 2019, LPS memprediksi, LDR berada di angka 97,8 persen. Dengan perkiraan LDR tersebut, pertumbuhan kredit diproyeksikan 11,7 persen dan pertumbuhan DPK mencapai 7,4 persen.
LPS juga mempertimbangkan penurunan posisi saldo simpanan pemerintah di Bank Indonesia (kewajiban BI pada pemerintah pusat) dari Rp 154,69 triliun pada Mei 2019 menjadi Rp 151,53 triliun. Penurunan bulanan ini menandakan ada upaya injeksi likuiditas oleh pemerintah pada sistem keuangan.
Profil risiko terhadap likuiditas perbankan dalam tiga bulan ke depan turut menjadi pertimbangan LPS dalam menurunkan tingkat bunga penjaminan. Salah satunya berasal dari sinyal penurunan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) sekitar 25-50 basis poin. Penurunan suku bunga bank sentral AS berpotensi diikuti oleh bank sentral negara lain dan BI.
Dari sisi kebijakan moneter, LPS turut mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan BI atau BI7DRR sebesar 25 bps menjadi 5,75 persen pada Juli ini. Dalam analisisnya, LPS menilai, penurunan suku bunga BI tersebut merupakan strategi operasi moneter yang bertujuan memastikan ketersediaan likuiditas di pasar uang.
Penurunan tingkat bunga penjaminan berdampak pada aktivitas kredit di sejumlah sektor riil. Halim memperkirakan, kredit sektor properti akan lebih menarik karena suku bunga kredit pemilikan rumah dan kredit pemilikan apartemen (KPR/KPA) akan turun.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter A R berpendapat, penyesuaian suku bunga penjaminan LPS terhadap perubahan suku bunga BI dapat mempercepat transmisi moneter. Penyesuaian biasanya bersifat linier yang berarti, jika suku bunga BI turun, suku bunga penjaminan LPS turun.
Hal ini berimbas pada penurunan suku bunga perbankan, khususnya deposito. Piter berharap penurunan itu juga diikuti turunnya suku bunga kredit yang dapat berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara makro.
Sebelumnya, penurunan BI7DRR diumumkan pada 18 Juli 2019 seusai rapat dewan gubernur. Proyeksi inflasi atau laju kenaikan indeks harga konsumen sepanjang 2019 stabil dan rendah serta perlunya momentum pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global menjadi salah satu latar belakang penurunan tersebut.