Menelusuri Peredaran Narkoba di Kampus-kampus Jakarta
Bagi banyak mahasiswa, kampus adalah tempat merajut masa depan yang lebih baik. Namun, di kampus pula sebagian mahasiswa menjadikannya surga untuk peredaran dan penggunaan narkoba. Barang haram ini begitu mudah dan bebas didapatkan, seperti saat ditelusuri di sejumlah kampus di Jakarta.
Oleh
Aguido Adri
·5 menit baca
Bagi banyak mahasiswa, kampus adalah tempat merajut masa depan yang lebih baik. Namun, di kampus pula sebagian mahasiswa menjadikannya surga untuk peredaran dan penggunaan narkoba. Barang haram ini begitu mudah dan bebas didapatkan, seperti saat ditelusuri di sejumlah kampus di Jakarta.
Pada Selasa (30/7/2019) sore itu, di salah satu sudut kampus swasta di Jakarta Selatan, transaksi jual-beli narkoba jenis tembakau gorila terlihat begitu bebas. Dengan berpura-pura sebagai kerabat dekat salah seorang alumni kampus tersebut, Kompas ikut duduk melingkar di selasar bersama delapan mahasiswa.
Sekilas tidak ada yang aneh dari tongkrongan tersebut, hingga salah satu mahasiswa berseru, ”Bakar dong.”
Laiknya sebuah kode, salah seorang mahasiswa lantas mengeluarkan sebungkus plastik klip berukuran kecil. Tongkrongan mendadak riuh. Salah satu dari mereka sibuk mengeluarkan tembakau dari dalam plastik, menaruhnya di atas papir (kertas khusus rokok linting), lalu melintingnya menjadi rokok. Satu linting siap diisap bersama.
Tak berselang lama, dua mahasiswa menghampiri tongkrongan tersebut. Mereka mengeluarkan uang Rp 100.000, memberikannya kepada salah seorang yang diduga pengedar tembakau gorila di kampus itu. Mereka lantas mendapatkan dua plastik klip kecil berisi tembakau gorila.
Transaksi antara pembeli dan pengedar yang sama-sama berstatus mahasiswa itu dilakukan terang-terangan. Mahasiswa lain yang melintas di jalan depan selasar tidak dipedulikan. Jual-beli narkoba itu bahkan berlangsung cepat dan singkat.
”Santai, di kampus mah aman, Bang,” ujar Bono (nama samaran), salah seorang mahasiswa yang juga pengguna aktif tembakau gorila. Menurut dia, transaksi biasa terjadi saat sore hari ketika jam kuliah berakhir. Waktu yang tepat untuk high atau nge-fly (istilah yang digunakan mahasiswa saat merokok ganja dan tembakau gorila) setelah selesai kuliah atau jika tidak ada kegiatan, seperti libur semester.
Satu paket tembakau gorila berukuran plastik klip kecil dijual pengedar seharga Rp 50.000. Paket tersebut dapat menghasilkan dua hingga tiga linting tembakau. Para mahasiswa itu asik mengisap pelan lintingan tembakau gorila sembari bersenda gurau. ”Ini beda sama ganja, lebih pusing, lebih berat,” kata Bono, mahasiswa angkatan 2013.
Peredaran tembakau gorila marak sejak 2016. Akhir tahun lalu, Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) DKI Jakarta Khrisna Anggara menyebutkan, peredaran tembakau gorila atau ganja sintetis melesat di kalangan pelajar lantaran sering menggunakan nama samaran dalam penjualannya.
”Berdasarkan pengakuan siswa SMP yang mengonsumsi tembakau gorila, mereka mengetahui itu sebagai rokok herbal atau tembakau jawa,” kata Khrisna (Kompas, 21/12/2018). Sementara di lingkup kampus, tembakau gorila biasa juga disebut sinte.
Sekilas tidak ada yang aneh dari tongkrongan tersebut, hingga salah satu mahasiswa berseru, ’Bakar dong!’
Menurut Bono, peredaran tembakau gorila di kampusnya merebak karena pasokan ganja naik-turun. ”Ijo (sebutan untuk ganja) lagi susah, Bang. Jadi, yang ada sajalah disikat meski harganya agak mahal dan efek nge-fly lebih kuat,” ujarnya.
Jack (bukan nama sebenarnya) mengatakan, mudahnya mendapatkan narkoba di kampus semakin membuat dirinya dan temannya senang nongkrong di kampus meski tidak ada kegiatan perkuliahan.
”Saya mulai ngisep sekitar dua tahun yang lalu ketika mulai bergabung bersama organisasi dan sering berkumpul bersama senior lainnya. Kami biasa patungan atau jika ada uang, saya beli sendiri dan ngisep bareng teman-teman. Seringnya ngisep ganja, sih, karena lebih ringan dan enak,” kata mahasiswa angkatan 2017 yang memiliki IPK rata-rata 3 itu.
Jutaan rupiah
Kompas juga berbincang dengan salah seorang alumni yang pernah menjadi bandar ganja di kampus. Sebut saja Hasan (26). Dia menuturkan, dulu, saat masih aktif mengedarkan ganja, dalam sehari dia mampu meraup untung jutaan rupiah.
”Ya, biasa bawa ke kampus 10-20 empel (sebutan untuk paket kecil ganja) seharga Rp 100.000. Itu sudah pasti habis terjual, jadi, ya bisa dihitung penghasilannya sehari berapa,” ujar mahasiswa angkatan 2011 ini. Dia juga mengaku menjual ganja sekadar memenuhi gaya hidup dan memperluas pergaulan.
Hasan mendapatkan pasokan ganja dari bandar yang lebih besar dengan sistem membayar setoran. Ganja yang diturunkan dari bandar terlebih dulu ia jual, lalu sebagian penghasilannya dikirim ke bandar.
”Misal, saya mendapat stok dari bandar 500 gram untuk dijual. 500 gram itu kemudian saya pecah menjadi per empel dan jual ke kampus. Hasil penjualan bisa sampai Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. Sebesar 60-70 persen dari hasil penjualan masuk ke bandar, selebihnya untuk saya,” ujar Hasan. Meski tidak menjelaskan secara rinci, Hasan mengatakan bahwa ada seorang yang mengatur dari dalam lembaga pemasyarakatan.
Kami biasa melakukan itu untuk memastikan yang masuk ke kampus bukan intel atau polisi. Itu sudah menjadi kewajiban, semacam aturan tidak tertulis.
Kendati melanggar hukum, Hasan mengaku tidak takut tertangkap polisi, asalkan transaksi jual-beli dilakukan di dalam lingkungan kampus. ”Selama jualannya di kampus, saya yakin tidak akan tertangkap. Kebanyakan mereka yang tertangkap itu transaksinya di luar (kampus),” katanya.
Selain itu, para pengedar ini juga menjalin relasi dengan pihak keamanan kampus. Tak jarang mereka memberikan uang tutup mulut sebagai imbalan.
Di sisi lain, solidaritas antara pemakai dan pengedar juga terjalin kuat. Hal itu kentara saat Kompas, yang datang sebagai orang asing di kampus itu, sempat diberondong pertanyaan seputar asal, siapa mengajak, serta maksud dan tujuan datang. Hal itu dilakukan dengan dalih menjaga keamanan.
Kejadian serupa ketika Kompas masuk ke salah satu perguruan tinggi di Jakarta Timur. Sesaat setelah memarkir motor dan berjalan menuju halaman kampus, seorang mahasiswa langsung menghampiri dan bertanya curiga. Tak lama berselang, beberapa mahasiswa lainnya juga mendekati dan mulai menginterogasi, lalu dengan kasar mengusir.
”Kami biasa melakukan itu untuk memastikan yang masuk ke kampus bukan intel atau polisi. Itu sudah menjadi kewajiban, semacam aturan tidak tertulis,” ujar Hasan.
Lahan ”basah”
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja masuk ke dalam golongan I bersama sabu, kokain, opium, heroin, dan lain-lain. Golongan ini diindikasikan memiliki potensi tinggi menimbulkan ketergantungan.
Kendati begitu, banyak kalangan, terutama mahasiswa, beranggapan bahwa ganja tidak memiliki sifat ketergantungan. Oleh karena itu, ganja disukai oleh banyak pengguna dari berbagai kalangan.
”Siapa yang enggak doyan? Sudah enak, murah, banyak yang suka pula,” kata Hasan. Menurut dia, wajar saja jika pengedar ganja mendulang keuntungan dalam bisnis tersebut. Hasan menyebutnya sebagai bisnis yang easy money.
Omongan Hasan sejalan dengan pernyataan Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Inspektur Jenderal Arman Depari. Arman mengatakan, peredaran ganja di kampus tinggi karena pangsa pasar yang jelas dan memiliki banyak pengguna.
”Kampus menjadi daerah rawan. Pemberitaan terkait narkoba yang legal di beberapa negara turut menjadi acuan mereka (pelajar). Mereka berpikir ganja itu tidak berbahaya,” ujar Arman.