Sepuluh Rekomendasi Ombudsman Tidak Dijalankan
Apabila rekomendasi tidak dijalankan, bukan berarti sepenuhnya pemda tidak patuh dengan Ombudsman. Bisa jadi, ada berbagai keterbatasan yang dihadapi pemda.
JAKARTA, KOMPAS — Sampai saat ini masih ada sepuluh rekomendasi Ombudsman kepada pemerintah daerah dan kementerian terkait yang tidak dijalankan. Untuk itu, Ombudsman menggandeng instansi terkait melakukan upaya pembinaan agar rekomendasi perbaikan pelayanan publik bisa dijalankan.
”Rekomendasi Ombudsman belum dilaksanakan sejak 2014. Pemda selalu melanggar komitmennya untuk melaksanakan rekomendasi. Sudah sempat dianggarkan di anggaran pendapatan dan belanja daerah, tapi tidak dibayarkan. Hal ini sudah dilaporkan ke Presiden dan DPR,” kata Ninik.
Selama periode 2014-2019, Ombudsman menerima 40.027 laporan masyarakat. Sebanyak 16.687 laporan atau 41 persen di antaranya merupakan keluhan atas pelayanan pemerintah daerah terkait pengurusan agraria atau pertanahan, kartu tanda penduduk elektronik, akta kelahiran, ataupun kartu keluarga.
Setelah pemda, Kepolisian Negara RI berada di urutan kedua yang paling banyak dikeluhkan publik (13,47 persen), disusul kementerian atau lembaga (9,71 persen), Badan Pertanahan Nasional (7,77 persen), dan badan usaha milik negara atau daerah (BUMN/BUMD) 7,55 persen.
Ombudsman telah menyelesaikan 36.947 laporan dengan cara klarifikasi, konsolidasi, dan mediasi. Sementara 3.080 laporan lainnya masih dalam proses penyelesaian.
Dari laporan masyarakat tersebut, Ombudsman telah mengeluarkan 34 rekomendasi kepada kementerian, lembaga, dan kepala daerah. Namun, baru 12 rekomendasi yang dijalankan penuh dan sisanya belum sesuai harapan.
Salah satu contoh rekomendasi Ombudsman yang belum dijalankan adalah pengaduan masyarakat mengenai ganti rugi tanah untuk tempat pemakaman umum di Jakarta Timur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak 2014. Pemprov DKI Jakarta menyatakan tidak bisa membayar karena dokumen pelapor kurang lengkap atau ada keraguan.
Di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta juga tidak bisa membuktikan dengan dokumen bahwa tanah tersebut sudah dibebaskan atau dibayar. Padahal, tanah pelapor sudah digunakan untuk ratusan makam.
”Dalam hal ini, Pemprov DKI Jakarta malah lebih memilih menyarankan pelapor menggugat ke pengadilan daripada menyelesaikan secara administrasi mengingat pelapor juga masyarakat miskin dan tidak punya akses terhadap hukum. Laporan ini juga sudah kami laporkan ke Presiden dan DPR,” ujar Ninik.
Rekomendasi lain yang tidak dijalankan pemda adalah malaadministrasi dalam penerbitan surat izin mendirikan bangunan (IMB) oleh Pemerintah Kabupaten Tana Toraja Berdasarkan Keputusan Bupati Tana Toraja Nomor: 171/648.DPTR/V/2007 sejak 2014. Ada juga malaadminitrasi dalam penerbitan Perizinan Kegiatan Pembangunan Apartemen (Wisma Susun) Lexington Residence, Jakarta Selatan, pada 2016.
Sementara enam tindakan malaadministrasi lain dilakukan oleh para menteri, yaitu Menteri Agama, Ketua Badan Wakaf Indonesia, dan Wali Kota Jakarta Selatan yang melakukan maladministrasi proses ruilslag (tukar guling) harta benda wakaf H. Basir (Yayasan Darul Uluum Al Islamiyah) yang mengalami nilai penyusutan pada 2014.
Kemudian, Menteri Agraria/Kepala BPN melakukan malaadministrasi berupa penundaan berlarut oleh Kantor Pertanahan Kota Surabaya I dalam menindaklanjuti permohonan sertifikat hak milik 85 orang warga sejak 2015.
Adapun tindakan maladministrasi oleh Menteri Komunikasi dan Informatika pada 2016 terkait belum dilaksanakannya putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap mengenai izin penyelenggaraan telekomunikasi.
Tiga tindakan malaadministrasi lain dilakukan oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) pada 2018, yaitu maladministrasi dalam penyetaraan ijazah doktor (S-3) luar negeri dan kenaikan jabatan fungsional dosen menjadi guru besar atas nama Julyeta Paulina Amelia Runtuwene oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Kedua, malaadministrasi dalam penyelesaian permasalahan penyelenggaraan Universitas Lakidende oleh Menristekdikti dan Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah IX. Serta, malaadministrasi dalam penanganan dugaan plagiat karya ilmiah oleh Muhammad Zamrun Firih.
Sebagian dijalankan
Ada pula rekomendasi Ombudsman yang dijalankan sebagian sejak tahun 2016, yakni mengenai pengabaian kewajiban hukum oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam penanganan gangguan lingkungan. Persoalan ini terkait penyelenggaraan acara live music pada malam hari oleh Rumah Makan Oxen Free yang tidak sesuai dengan perizinan sehingga merugikan pelapor.
Menurut Ninik, rekomendasi Ombudsman dilaksanakan sebagian karena penutupan rumah makan tak kunjung dilakukan. Ombudsman sudah melaporkan ke Presiden dan DPR. ”Belakangan pelapor menggugat ke pengadilan dan dinyatakan menang juga oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi bahwa rumah makan itu harus ditutup,” katanya.
Sementara itu, beberapa tindakan malaadministrasi lain yang masih dalam proses penyelesaian antara lain malaadministrasi terkait penolakan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah yang diajukan para pelapor oleh Kantor Pertanahan di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kemudian malaadministrasi Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kendal terkait proses ganti kerugian bagi warga terdampak pembangunan ruas Tol Batang-Kendal-Semarang. Malaadministrasi oleh Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara terkait penerbitan sertifikat hak milik (SHM) dan sertifikat hak guna bangunan di Pulau Pari.
Ada juga malaadministrasi oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan Perusahaan Perseroan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 3 dalam penyelesaian lahan 147 kartu keluarga yang saat ini menjadi Hak Guna Usaha Nomor 2 Bah Jambi milik PTPN 3 di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Juga malaadministrasi oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, terkait proses penerbitan permohonan izin lingkungan dan izin mendirikan bangunan PT Anugrah Djam Sejati Tahun 2018.
Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai menyampaikan, rekomendasi merupakan upaya terakhir dari Ombudsman dalam menyelesaikan laporan masyarakat. Pada setiap laporan, Ombudsman berupaya menyelesaikannya dalam bentuk klarifikasi, konsolidasi, dan mediasi.
”Kalau memang upaya-upaya mediasi juga tidak berhasil, kami kemudian membuat laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) sebagai saran korektif untuk ditindaklanjuti selama 30 hari. Jika tetap tidak berhasil, baru rekomendasi kami berikan,” kata Amzulian saat ditemui di Kantor Ombudsman RI, Jakarta.
Kepatuhan undang-undang
Menurut Amzulian, apabila rekomendasi tidak dijalankan, bukan berarti sepenuhnya pemda tidak patuh terhadap Ombudsman. Bisa jadi, ada berbagai keterbatasan yang dihadapi pemda, misalnya memang bukan kewenangan pemda terkait, bisa juga kewenangan itu terkait dengan kementerian lain, ataupun karena keterbatasan dana.
Lain halnya apabila memang pemda yang dengan sengaja tidak menjalankan rekomendasi Ombudsman. ”Kalau tidak patuh dengan rekomendasi Ombudsman berarti tidak patuh dengan undang-undang, yang lebih penting lagi, persoalan masyarakat berarti tidak terselesaikan,” ujarnya.
Pelaksanaan rekomendasi ini bersifat wajib sesuai Pasal 351 UU Nomor 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa kepala daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman dilakukan pembinaan oleh Kemendagri.
Selain itu, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 37 disebutkan bahwa sanksi diberikan kepada pemerintah daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman RI.
Oleh sebab itu, dalam memastikan rekomendasi dijalankan, Ombudsman bersinergi dengan Kemendagri selaku pembina pemda. Sinergi juga dilakukan dengan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Koordinator Perekonomian; Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta Kementerian Koordinator Kemaritiman.
Pembinaan
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar mengatakan, upaya pembinaan dilakukan untuk tindakan pencegahan ke depan agar para pemda dapat memberikan layanan lebih optimal. Salah satu bentuk pembinaan adalah Kemendagri akan membuat pos-pos pengaduan di sejumlah daerah lebih merata, khususnya pengaduan secara daring.
”Ini sudah kami susun dalam program APBD 2020 supaya ada dukungan program kegiatan untuk di pemda, khususnya di bidang hubungan masyarakat atau yang menangani pengaduan masyarakat,” kata Bahtiar.
Regulasi untuk penguatan kelembagaan daerah yang menangani pengaduan pun sudah dilakukan, yaitu melalui Permendagri 33 Tahun 2019 tentang Penyusunan Pedoman APBD Tahun Anggaran 2020. Regulasi ini sudah dimasukkan dalam lampiran untuk mendukung kegiatan peningkatan layanan kepada masyarakat.
Meski demikian, kepada pemda yang belum menjalankan rekomendasi Ombudsman, Bahtiar menyampaikan bahwa kewenangan Kemendagri sebatas mengingatkan. Kemendagri tidak dapat memberikan sanksi bahkan menonaktifkan kepala daerah terkait.