Target Pajak, Antara Ambisi dan Realisasi
Peran pajak sebagai sumber pendapatan negara cenderung menguat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, hal itu belum diikuti dengan realisasi penerimaan yang baik. Di tengah defisit anggaran yang terus melebar dan menumpuknya utang, pemerintah perlu mengoptimalkan berbagai potensi pendapatan sekaligus mengefisiensikan belanja.
Target pajak tidak tercapai tampaknya menjadi hal biasa bagi Pemerintah Indonesia. Selama 14 tahun terakhir, hanya dua kali target penerimaan pajak tercapai, yakni pada 2004 dan 2008. Selebihnya, target pajak tak tercapai. Puncaknya terjadi pada 2015 ketika capaian hanya 83 persen, kendati pada tahun itu, untuk pertama kalinya penerimaan pajak APBN menembus angka Rp 1.000 triliun.
Pada 2016, realisasi penerimaan tak beranjak dari 83 persen. Jika tidak memasukkan penerimaan denda dari program pengampunan pajak (tax amnesty), realisasi penerimaan pajak hanya sebesar 77 persen.
Tahun 2017, penerimaan pajak mencapai 91 persen dari APBN-P. Adapun tahun 2018, penerimaan mencapai 92,4 persen dari target APBN sebesar Rp 1.424 triliun.
Sejalan dengan hal itu, pertumbuhan penerimaan pajak dari tahun 2009 terus menurun. Pelambatan pertumbuhan penerimaan pajak bahkan secara konsisten tampak mulai tahun 2014 sampai 2017, atau dari 7,7 persen menjadi 4,1 persen pada 2017.
Namun, pada 2018, tingkat pertumbuhan penerimaan pajak di atas 10 persen. Hal ini terjadi karena lonjakan harga komoditas. Tahun ini, berdasarkan realisasi penerimaan pajak semester 1-2019, pertumbuhan penerimaan pajak diperkirakan hanya 4,75 persen.
Penurunan kinerja penerimaan pajak tak lepas dari kesadaran masyarakat membayar pajak yang jauh dari harapan. Jika dibandingkan dengan aktivitas perekonomiannya, Indonesia belum mampu menarik pajak dalam jumlah ideal. Hal itu tecermin dari rasio penerimaan pajak yang kecil.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, dalam 10 tahun terakhir, rasio pajak 10-14 persen dari produk domestik bruto (PDB). Rasio ini jauh dari standar Dana Moneter Internasional (IMF) yang mensyaratkan rasio pajak lebih dari 15 persen untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Rasio pajak Indonesia masuk dalam jajaran paling rendah di antara negara Asia Pasifik. Hal ini berbanding terbalik dengan capaian negara di kawasan tersebut, yang menurut laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), menunjukkan kenaikan.
Dalam Revenue Statistic in Asia and Pacific Economies 2019 yang dipublikasikan OECD dengan basis kajian dari kinerja penerimaan 2017, sembilan negara mengalami kenaikan rasio pajak pada 2016-2017. Sisanya, delapan negara, mengalami penurunan rasio pajak.
Selain itu, dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, rasio pajak Indonesia 11,5 persen pada 2018, berada di urutan kedua terbawah, hanya setingkat di atas Myanmar. Rasio pajak Kamboja, Thailand, dan Vietnam berkisar 15-18 persen. Adapun Brunei Darussalam memiliki rasio paling tinggi, 24,2 persen.
Defisit anggaran dan utang
Penerimaan pajak yang tak sesuai target berimbas pada defisit anggaran. Sejak 2008, tren realisasi defisit anggaran pemerintah terhadap PDB meningkat. Pada 2008, realisasi defisit 0,08 persen dari PDB. Pada 2015, angkanya 2,36 persen, tertinggi sejak 2008.
Tahun 2018, defisit APBN diperkirakan 2,1 persen terhadap PDB dan tahun ini diperkirakan bisa kurang dari 2 persen. Untuk tahun 2020, pemerintah masih menetapkan defisit anggaran berada pada rentang 1,52-1,75 persen dari total PDB.
Peningkatan defisit APBN berdampak pada naiknya kebutuhan pembiayaan atau utang pemerintah. Pemerintah pusat mencatat kenaikan utang 75 persen, yakni dari posisi utang pemerintah Rp 2.609 triliun pada 2014 menjadi Rp 4.572 triliun pada Mei 2019.
Tren kenaikan utang pemerintah pusat di bawah Presiden Joko Widodo itu lebih tinggi ketimbang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada periode kedua SBY, utang pemerintah naik 64 persen.
Sebenarnya kenaikan utang tak terhindarkan mengingat kebijakan anggaran Indonesia bersifat ekspansif. Utang selalu menjadi pilihan untuk menutup kekurangan anggaran. Hanya saja, setiap pemerintahan cenderung memiliki kebijakan alokasi yang berbeda.
Pada pemerintahan sebelumnya, utang lebih banyak tersedot untuk keperluan subsidi yang cenderung nonproduktif, sementara pada pemerintahan sekarang, yang terjadi adalah sebaliknya. Utang cenderung dibelanjakan bagi keperluan produktif yang harapannya memberi manfaat pada masa mendatang.
Sejalan dengan kebijakan defisit anggaran tersebut, di satu sisi, beban pembayaran bunga utang pemerintah terus naik dalam lima tahun terakhir. Di sisi lain, peningkatan beban bunga utang ini tak sejalan dengan kemampuan pemerintah membayar utang.
Pembayaran bunga utang secara nominal selama 2014-2019 rata-rata naik 15,7 persen. Kenaikan juga terjadi dalam tataran relatif terhadap PDB, yakni dari 1,26 persen pada 2014 menjadi 1,7 persen pada 2019.
Adapun rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan negara mengalami peningkatan. Pada 2014, rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan pemerintah 8,6 persen, lalu meningkat menjadi 12,7 persen pada 2019.
Peningkatan nisbah tersebut mengindikasikan alokasi untuk belanja yang lebih berkualitas melemah. Pada 2014, porsi belanja bunga utang negara mencapai 7,5 persen dari total belanja. Pada 2018, bunga utang menyedot 17,7 persen.
Jika dicermati lebih jauh, membubungnya beban utang saat ini tak lepas dari beban utang sejak krisis ekonomi 1998. Total biaya yang dibayar pemerintah untuk memulihkan sektor jasa keuangan pascakrisis moneter mencapai Rp 244 triliun. Selanjutnya, sejak era Presiden BJ Habibie sampai Presiden Joko Widodo, utang bertambah.
Kendati utang pemerintah cenderung meningkat, kondisinya masih jauh dari batas yang ditentukan Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003. Dalam undang-undang itu disebutkan, batas yang ditetapkan adalah 60 persen terhadap PDB.
Hambatan
Ada banyak faktor penyebab rendahnya realisasi penerimaan pajak. Salah satunya basis pajak yang terbatas. Hal itu tecermin dari rendahnya jumlah surat pemberitahuan (SPT) dibandingkan dengan jumlah potensial wajib pajak (WP), baik wajib pajak badan maupun wajib pajak orang pribadi.
Faktor lain adalah kepatuhan wajib pajak yang rendah. Pada 2018, dari total WP yang menyampaikan SPT, hanya 12,5 juta WP yang menyampaikan SPT—rasio kepatuhan 71,02 persen—dari 17,6 juta WP wajib lapor SPT. Rasio kepatuhan ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2017 sebesar 72,64 persen.
Menurut Lars P Feld dan Bruno S Frey (2007), rendahnya kepatuhan wajib pajak, antara lain, karena ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan publik, pembangunan infrastruktur yang tak merata, dan banyaknya kasus korupsi yang dilakukan pejabat tinggi. Masyarakat kurang tertarik membayar pajak karena tidak ada insentif langsung dari negara. Pajak yang telah dibayar juga tak sebanding dengan manfaat yang dirasakan masyarakat.
Persoalan lainnya, seperti dikutip dari Nota Keuangan RAPBN 2019, adalah rendahnya kinerja pemungutan pajak akibat tingginya shadow economy. Medina dan Schneider (2018) menemukan, aktivitas underground economy di Indonesia pada 1991-2015 rata-rata 24,11 persen dari PDB.
Celah 24,11 persen itu dapat diartikan tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah. Praktik underground economy ini menyebabkan tax ratio tak sejalan dengan pertumbuhan PDB.
Terobosan
Pemerintah melakukan sejumlah terobosan untuk mendorong pertumbuhan penerimaan pajak. Pengampunan pajak dan pengurangan tarif pajak menjadi 0,5 persen untuk usaha mikro, kecil, dan menengah adalah contohnya.
Pascaprogram pengampunan pajak, pemerintah melakukan evaluasi melalui perbaikan sistem administrasi dalam rangka perluasan basis data perpajakan.
Untuk tahun 2019, pemerintah menyiapkan sejumlah kebijakan teknis. Pertama, optimalisasi penerimaan perpajakan melalui penguatan kepatuhan, pengawasan, dan penggalian potensi perpajakan. Caranya, pemanfaatan data serta informasi melalui sinergi pertukaran informasi dan audit gabungan.
Kedua, kebijakan perpajakan untuk meningkatkan investasi dan daya saing ekspor, antara lain harmonisasi fasilitas pembebasan PPN untuk barang antara, fasilitasi industri dan perdagangan melalui Pusat Logistik Berikat Industri Kecil Menengah (IKM), serta perluasan fasilitas kawasan industri tujuan ekspor untuk IKM.
Ketiga, utilisasi data dan informasi untuk kepentingan perpajakan, antara lain melalui implementasi Automatic Exchange of Information (AEoI), Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan Multilateral Instrument (MLI), Country by Country Reporting (CBCR), serta Authorized Economics Operator (AEO) untuk Usaha Kecil dan Menengah. Pemanfaatan data atau informasi keuangan domestik dan internasional (AEoI), ekstensifikasi, peningkatan pelayanan, dan penegakan hukum yang menjamin keadilan bagi WP yang sudah patuh menjadi senjata bagi Direktorat Jenderal Pajak.
Dengan kebijakan itu, diharapkan penerimaan negara dari sektor pajak semakin tumbuh dan mencapai target.