Kelompok sipil Sudan menunda kelanjutan perundingan dengan Dewan Transisi Militer. Keputusan itu untuk menanggapi penembakan aparat terhadap pelajar yang berunjuk rasa di Al-Obeid.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
KHARTOUM, SELASA — Kelompok sipil Sudan menunda kelanjutan perundingan dengan Dewan Transisi Militer. Keputusan itu untuk menanggapi penembakan aparat terhadap pelajar yang berunjuk rasa di Al-Obeid.
”Tidak ada perundingan hari ini karena kami masih di Al-Obeid,” kata salah satu perunding kelompok sipil, Taha Osman, Selasa (30/7/2019).
Perwakilan kelompok sipil menyambangi kota itu untuk menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban. Sedikitnya lima pelajar tewas dalam insiden pada Senin siang. Para korban adalah bagian dari massa yang sedang berunjuk rasa untuk memprotes kelangkaan bahan bakar dan roti.
”Kita tidak bisa duduk di meja perundingan dengan mereka yang mengizinkan pembunuhan para revolusioner,” kata salah seorang pimpinan unjuk rasa Sudan, Siddig Youssef.
”Korbannya adalah anak-anak dan itu menambah kebrutalan dari kecelakaan para pengecut,” ujar pengunjuk rasa lain, Ismail al-Taj.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak penyelidikan menyeluruh atas penembakan itu. ”Tidak ada anak-anak boleh dikubur dengan seragam mereka,” demikian pernyataan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef).
Asosiasi Pekerja Sudan (SPA) menyebut insiden itu tidak hanya menyebabkan lima korban tewas. Insiden itu juga menyebabkan 60 orang terluka. SPA mendesak unjuk rasa dilanjutkan untuk memprotes penembakan di Al-Obeid.
”Pasukan Janjaweed dan beberapa penembak jitu, tanpa ampun, menghadapi pelajar dengan peluru tajam,” demikian pernyataan SPA.
Janjaweed adalah sebutan untuk Pasukan Reaksi Cepat (RSF) Sudan yang dibentuk dari milisi etnis Arab Sudan. Awalnya, pasukan itu dibentuk untuk melawan perlawanan etnis minoritas di Darfur pada 2003.
Penyelidikan
SPA juga menolak penyelidikan oleh Dewan Transisi Militer (TMC) Sudan atas insiden 3 Juni 2019. Kala itu, tentara dan polisi menembaki pengunjuk rasa yang berkemah di depan markas besar tentara Sudan. Menurut kelompok sipil, sedikitnya 127 orang tewas dan ratusan lain terluka dalam insiden Juni. Sementara tim pemeriksa bentukan TMC menyebut, hanya 17 orang tewas pada 3 Juni 2019. Tim pemeriksa menyebut, 87 orang lain tewas pada 4-10 Juni 2019. Sejumlah perwira dan prajurit disebut terlibat dalam insiden itu. ”TMC adalah tertuduh dalam kasus ini. Mana mungkin mereka diperiksa,” demikian pernyataan SPA.
Kelompok paramedis yang mendukung pengunjuk rasa mencatat, sudah 250 orang tewas dalam rangkaian unjuk rasa di Sudan sejak Desember 2018. Setelah lebih dari enam bulan, unjuk rasa belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Awalnya, unjuk rasa untuk memprotes kelangkaan aneka kebutuhan hidup.
Selanjutnya, tuntutan berganti menjadi pengunduran diri Presiden Sudan Omar al-Bashir yang sudah berkuasa puluhan tahun. Setelah Bashir mundur, pengunjuk rasa menuntut pemerintahan oleh sipil. Penolakan militer untuk segera menyerahkan kekuasaan kepada sipil menjadi pemicu unjuk rasa sampai sekarang meski akhirnya ada kesepakatan sipil dan militer untuk berbagi kekuasaan.
Kini, isu yang harus diselesaikan perwakilan sipil dan militer adalah teknis pembagian kekuasaan. Selain itu, ada isu soal kekebalan bagi para perwira yang diduga terlibat kekerasan terhadap warga sipil. (AFP/REUTERS)