Kementerian Pertanian Akan Bantu Sertifikasi Benih Padi di Aceh
Kementerian Pertanian akan membantu menyertifikasi benih padi IF8 yang sempat diedarkan di Aceh Utara. Hal itu dilakukan sebagai upaya persuasif atas kasus yang menimpa Kepala Desa sekaligus pendiri Badan Usaha Milik Desa Meunasah Rayeuk, Munirwan, yang ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pertanian akan membantu menyertifikasi benih padi IF8 yang sempat diedarkan di Aceh Utara, Aceh. Hal itu dilakukan sebagai upaya persuasif atas kasus yang menimpa Kepala Desa sekaligus pendiri Badan Usaha Milik Desa Meunasah Rayeuk, Munirwan, yang ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Erizal Jamil mengatakan, pihaknya tengah memproses pendaftaran benih padi IF8 yang diedarkan di Aceh Utara. Selain itu, Kementan juga akan mendaftarkan Munirwan sebagai penangkar padi dengan terlebih dahulu menelusuri pemulia benih padi itu.
”Untuk penyelesaian atas penetapan status tersangka terhadap Munirwan, kami akan menyerahkannya ke dinas terkait di Aceh. Kami dari Kementan akan terus mengawal karena kami tidak ingin ada kriminalisasi,” tuturnya saat dihubungi Kompas, Kamis (1/8/2019) sore.
Munirwan, yang juga Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Aceh Utara, ditetapkan sebagai tersangka pada 23 Juli 2019. Langkah itu dilakukan setelah Pemerintah Provinsi Aceh melarang peredaran benih padi IF8 melalui surat edaran Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh Nomor 510.796/IX tertanggal 15 Mei 2019.
Langkah itu juga didukung Kementan karena sesuai dengan UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, benih yang dihasilkan pemulia harus dilepas oleh pemerintah sebelum diedarkan. Kementan juga menilai Munirwan bukan petani kecil yang berhak mengedarkan benih tanpa mendapat sertifikasi pemerintah terkait. Petani kecil adalah petani yang melakukan usaha budidaya tanaman pangan di lahan seluas maksimal 2 hektar.
Benih padi IF8 merupakan varietas karya petani anggota AB2TI di Karanganyar, Jawa Tengah. Pada 2014-2015, IF8 diuji di 13 kabupaten dengan hasil panen ubinan tertinggi di Wonogiri, yakni 14 ton gabah kering panen (GKP) per hektar. Benih itu pun diminta dikirimkan ke Aceh untuk pemberdayaan petani di Aceh Utara pada November 2017.
IF8 lalu ditanam di lahan seluas 200 hektar dan menghasilkan rata-rata 11 ton GKP per hektar. Sejak itu, permintaan benih IF8 melonjak dan Munirwan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Meunasah Rayeuk memfasilitasi pemenuhannya hingga ke desa lain (Kompas, 29/7/2019). Hingga bulan lalu, benih padi IF8 telah ditanam para petani di Desa Meunasah Rayeuk di lahan seluas 40 hektar.
Namun, menurut catatan Kementan yang disebut Erizal, Munirwan melanggar karena IF8 diedarkan di luar komunitasnya. ”Kami masih menoleransi jika benih itu diedarkan di komunitasnya. Namun, Pak Munirwan sudah menjualnya secara komersial di luar komunitasnya,” kata Erizal.
Perlindungan
Koalisi Kedaulatan Benih untuk Petani dalam konferensi pers di Jakarta hari ini meminta pemerintah mengedepankan perlindungan dan pembinaan terhadap petani kecil dari dominasi korporasi.
”Bisnis benih ini incaran banyak pihak, terutama perusahaan besar. Kami sebagai petani kecil ingin mewujudkan kedaulatan untuk petani,” kata Ketua Departemen Penataan Produksi Koperasi dan Pemasaran Aliansi Petani Indonesia Muhammad Rifai pada acara itu.
Acara itu dihadiri anggota koalisi, yakni perwakilan Serikat Petani Indonesia, Indonesia Human Right Committee for Social Justice, Indonesia for Global Justice, Yayasan Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Serikat Nelayan Indonesia, Yayasan Field Indonesia, Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Aliansi Organis Indonesia, dan Forum Benih Lokal Berdaulat.
Menurut Rifai, petani kecil kerap terbebani dengan biaya pengadaan benih yang didominasi produksi perusahaan besar. Benih padi perusahaan besar yang dipakai petani mencapai 50 persen dari total biaya Rp 6,97 triliun per tahun. Sementara benih jagung dari perusahaan besar mendominasi 95 persen dari total biaya Rp 9,4 triliun per tahun.
Koalisi Kedaulatan Benih Petani yang terdiri dari berbagai aliansi dan organisasi pertanian menyuarakan kepedulian terhadap petani asal Aceh Utara, Munirwan, dan petani kecil lainnya di Jakarta, Kamis (1/8/2019). Mereka menuntut agar pemerintah melindungi kepentingan petani kecil dan kedaulatan benih petani di Indonesia. Setiap tahun, total biaya belanja benih petani kecil untuk beberapa komoditas, seperti padi, cabai, bawang, dan kedelai, mencapai Rp 29,65 triliun dengan total kebutuhan 464.835 ton benih. Biaya belanja yang meningkat setiap tahunnya dikhawatirkan mengancam cadangan benih dan kesejahteraan petani.
”Supaya petani tidak dikuasai korporasi dan mampu berdaulat, pemerintah harus terus membina dan memberdayakan petani. Aspek itu belum kami rasakan. Justru, kalau melakukan inisiatif, kami ditangkap dan dihukum,” ujarnya.
Ditambahkan Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika pada kesempatan yang sama, petani kecil bukan hanya belum berdaulat atas benihnya, melainkan juga tanahnya karena reforma agraria belum menyasar petani kecil. Menurut catatan KPA, selama 2014-2018, ada sekitar 940 kasus kriminalisasi terhadap petani terjadi, termasuk di sektor pertanian dan pangan.
”Kami memandang petani perlu dilindungi dari ketidakadilan dan kesewenangan karena sudah ada peraturan presiden dan undang-undang perlindungan dan pemberdayaan petani yang menjamin hak-hak petani atas benih dan tanahnya,” ucapnya.