Kesadaran masyarakat untuk melindungi data pribadi masih rendah. Tidak sedikit yang dengan mudah menyerahkannya setelah diiming-imingi sesuatu.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran masyarakat untuk melindungi data pribadi masih rendah. Tidak sedikit yang dengan mudah menyerahkannya setelah diiming-imingi sesuatu. Sementara regulasi yang sudah ada belum cukup untuk mencegah hal tersebut. Maka, pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi mendesak.
Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto dalam diskusi bertajuk ”Data Pribadi Bukan Rampasan, Lindungi Segera!” di Jakarta, Kamis (1/8/2019), mengatakan, pihak swasta menggunakan berbagai cara untuk mengambil data pribadi masyarakat.
Ironisnya, masyarakat seringkali tidak sadar kalau data pribadinya diambil. Ini karena mereka diiming-imingi sesuatu.
Dia mencontohkan kasus yang diceritakan oleh Hendra Hendrawan, salah satu warga net yang beberapa waktu lalu menyiarkan modus-modus swasta untuk mengambil data pribadi di media sosial.
Hendra menyebutkan, temannya pernah kena tipu di Facebook. Tergiur oleh hadiah tiket pesawat murah, teman Hendra menyerahkan data pribadi kepada seseorang anggota grup Facebook, Dream Market Official. Tiket tak dapat. Datanya telah diambil orang itu.
Hendra juga memperoleh informasi dari rekan-rekannya soal adanya metode pemulungan data yang lebih mutakhir. Ada orang yang membuka akun di situs jual beli. Orang itu beriklan tentang lowongan pekerjaan. Orang yang melamar diminta berswafoto dengan kartu identitas miliknya.
Ada pula yang masuk lewat pesan singkat tawaran pinjaman dalam jaringan tanpa agunan. Peminjam diminta berswafoto dengan kartu identitas.
Menurut Damar, data yang sudah terkumpul tersebut berpotensi digunakan untuk kejahatan, seperti jual beli data pribadi. Damar menyebut perbuatan ini dengan istilah future crimes.
Liputan investigasi Kompas yang terbit pada 13-15 Mei 2019 mengungkap, data pribadi berupa nama, tanggal, dan tempat lahir, penghasilan, pekerjaan, alamat, bahkan nama ibu kandung diperjualbelikan tanpa sepengetahuan pemilik data. Jual beli data secara bebas dilakukan tenaga pemasaran jasa keuangan, seperti perbankan dan asuransi.
Namun, ada juga data pribadi yang dijual di toko daring secara bebas. Pembeli menggunakan data pribadi untuk berbagai hal, mulai dari menawarkan produk hingga penipuan.
Berangkat dari realitas maraknya pencurian data pribadi itu, Damar mendesak RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) segera disahkan. ”Bukan hanya data pribadi simpanan negara yang harus diperjelas, melainkan juga mengatur data pribadi yang beredar di korporasi dan swasta lainnya,” katanya.
Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif menyatakan, RUU PDP bakal menjadi payung dari sekitar 32 peraturan perundang-undangan tentang data pribadi. Dengan disahkannya RUU itu, katanya, keamanan data pribadi lebih bisa terjamin. Selain itu, batasan pemanfaatan data pribadi lebih jelas.
Namun, menurut anggota Komisi I DPR, Charles Honoris, RUU tersebut berpotensi tidak sempat disahkan oleh DPR periode 2014-2019. Apalagi, draf RUU itu masih dipegang pemerintah, belum diserahkan ke DPR.
Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Widya Yudha menambahkan, bola RUU PDP ada pada Kementerian Komunikasi dan Informatika. ”Kami menunggu hingga di masa sidang berikutnya atau masa sidang terakhir DPR 2014-2019. Kalau belum juga, tidak mungkin bisa disahkan dalam periode DPR sekarang,” katanya.