JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta menghitung emisi secara berkala untuk bisa mengukur capaian penanganan polusi udara. Dengan cara demikian, pemprov bisa melihat efektif atau tidaknya kebijakan yang dijalankan. Evaluasi kebijakan pun bisa dilakukan dengan lebih baik karena terukur dan selanjutnya dapat diwujudkan penanganan polusi yang makin baik dengan target jelas.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI, transportasi darat berkontribusi sebesar 75 persen terhadap pencemaran udara, disusul pembangkit listrik dan pemanas (9 persen), serta pembakaran industri dan pembakaran domestik masing-masing menyumbang 8 persen.
”Jika itu data 2019, kemudian angka pada 2018, 2017, berapa,” ucap juru kampanye energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, Rabu (31/7/2019). Artinya, keterbukaan informasi Pemprov DKI yang menyajikan data sumber pencemaran udara bagi dia belum cukup.
Jika itu data 2019, kemudian angka pada 2018, 2017, berapa.
Pemprov mesti punya data yang diproduksi secara berseri terkait dengan sumber-sumber pencemaran tadi. Itu bermanfaat untuk tahu tingkat keberhasilan program yang dicanangkan dari waktu ke waktu sehingga bisa menjadi bahan evaluasi dan perbaikan jika ada yang kurang berhasil. Bondan berharap data sumbangan sumber-sumber pencemar pada keparahan polusi udara di Jakarta akan ada lagi untuk kondisi tahun-tahun mendatang.
Ia menambahkan, akan lebih baik jika terdapat pengukuran kontribusi sumber-sumber pencemaran berdasarkan parameter pencemar udaranya. Contohnya, untuk karbon dioksida, berapa banyak sumbangan dari transportasi darat, pembangkit listrik dan pemanas, serta pembakaran industri dan domestik.
Begitu juga untuk parameter lain, seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, ozon, dan debu partikulat. Itu karena ada kemungkinan sumbangan polusi dari salah satu sumber pencemar berbeda-beda pada setiap parameter.