Eksportir Cangkang Sawit Keluhkan Tidak Stabilnya Pajak
Eksportir cangkang kelapa sawit di Padang, Sumatera Barat, mengeluhkan tidak stabilnya biaya pajak yang ditetapkan pemerintah.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS -- Eksportir cangkang kelapa sawit di Padang, Sumatera Barat, mengeluhkan tidak stabilnya biaya pajak yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan yang tidak konsisten itu menyulitkan eksportir untuk menjalin kontrak jangka panjang dengan pembeli dari luar negeri.
Direktur Utama CV Pinang Mas Energy Wiliam Halim di Padang, Kamis (1/8/2019), mengatakan, perusahaan saat ini hanya menjalin kontrak sekali pengiriman dengan pembeli di Jepang akibat pajak yang berubah-ubah. Padahal, pembeli sudah meminta kontrak jangka panjang 10-20 tahun agar pasokan dapat berkelanjutan.
“Dalam satu tahun, besaran pajak bisa berubah dua sampai tiga kali. Itu menyulitkan kami untuk membuat kontrak dengan pembeli. Pembeli sulit pula untuk membuat kontrak dengan perusahaan pembangkit listrik di Jepang sebagai pengguna akhir. Harga listrik tidak bisa berubah-ubah seperti harga cangkang,” kata Wiliam saat acara pelepasan ekspor komoditas pertanian daerah Sumbar.
Wiliam menjelaskan, besaran pajak yang tidak stabil itu dipicu harga cangkang kelapa sawit yang mengacu kepada harga minyak sawit mentah (CPO) yang fluktuatif. Padahal, semestinya harga cangkang kelapa sawit tidak perlu mengacu ke CPO karena termasuk limbah.
Selain tidak stabil, kata Wiliam, tingginya pungutan pajak juga menyulitkan eksportir untuk bersaing dengan eksportir di Malaysia yang juga produsen besar kelapa sawit. Besaran pajak yang ditetapkan pemerintah saat ini tujuh dollar Amerika Serikat per ton, sedangkan di Malaysia tidak ada.
“Sekadar saran kepada pemerintah, untuk meningkatkan ekspor, kebijakan kita harus stabil dan konsisten untuk beberapa tahun ke depan, mungkin jangka waktu lima atau sepuluh tahun,” ujar Wiliam.
Sekadar saran kepada pemerintah, untuk meningkatkan ekspor, kebijakan kita harus stabil dan konsisten untuk beberapa tahun ke depan, mungkin jangka waktu lima atau sepuluh tahun
Dalam kesempatan itu, CV Pinang Mas Energy mengirimkan 15.000 ton cangkang kelapa sawit ke Jepang untuk pertama kalinya dengan nilai jual 1,050 juta dollar AS atau sekitar Rp 14,87 miliar (kurs dollar Rp 14.162). Cangkang mereka dibeli oleh Kanematsu Corporation. Untuk selanjutnya, CV Pinang Mas Energy berupaya mengekspor 10.000-20.000 ton cangkang kelapa sawit per bulan.
Stabilitas pajak juga menjadi harapan Direktur Pembelian Kanematsu Corporation Takashi Satoh. Takashi memahami kebijakan Indonesia terkait pajak, tetapi stabilitas pajak memang dibutuhkan dalam transaksi ini.
“Semoga pemerintah Indonesia bisa menstabilkan pajak. Sebab, butuh kontrak jangka panjang. Kalau berubah-ubah, susah bagi pembeli di Jepang,” kata Takashi.
Kepala Balai Karantina Pertanian Kementerian Pertanian Ali Jamil mengatakan, balai akan menyampaikan masukan tersebut ke Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan agar disampaikan ke Kementerian Keuangan. Kementan bersama pihak terkait akan mengkaji agar iklim berusaha, termasuk pajak, bagi eksportir dipermudah.
“Mudah-mudahan pajak bagi eksportir dibersihkan (ditiadakan), sedangkan untuk importir diinikan (dinaikkan). Tentu nanti ini kembali ke kebijakan Pak Presiden, Pak Menteri, atau Ibu Menteri yang terkait dengan itu,” kata Jamil.
Pemerintah sejak beberapa tahun terakhir menggalakkan peningkatan ekspor. Hal itu dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kinerja neraca perdagangan yang memburuk beberapa tahun terakhir.
BPS melaporkan, kinerja neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2019 surplus 196 juta dollar AS. Meskipun demikian, secara kumulatif neraca perdagangan dari Januari hingga Juni 2019 tercatat defisit 1,9 miliar dollar AS. Defisit migas sebesar sebesar 4,78 miliar dollar AS, lebih rendah dari defisit tahun lalu sebesar 5,6 miliar dollar AS (kompas.com, 15/7/2019).
Potensial
Takashi mengatakan, produk cangkang kelapa sawit di Indonesia, termasuk Sumbar, sangat potensial sebagai komoditas ekspor. Pangsa pasar di Jepang sangat terbuka. Negara itu tengah meningkatkan produksi energi terbarukan, salah satunya dengan menggunakan cangkang sawit sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga biomassa.
“Wilayah negara Jepang kecil, tidak punya cangkang kelapa sawit untuk menggerakkan pembangkit. Bagi orang Jepang, Indonesia sebagai penghasil produk kelapa sawit punya potensi besar untuk mengimpor cangkang, termasuk Sumbar,” kata Takashi.
Menurut Takashi, kebutuhan Jepang akan cangkang kelapa sawit sekitar dua juta ton per tahun dan diperkirakan meningkat hingga tiga juta ton per tahun dalam beberapa tahun ke depan. Adapun Kanematsu Corporation saat ini baru bisa menyuplai 100.000 ton per tahun untuk Jepang.
Ditambahkan Takashi, selain Indonesia, Kanematsu Corporation juga memasok cangkang dari Malaysia. Proporsi pasokan Indonesia dan Malaysia satu banding tujuh. Dalam beberapa tahun ke depan, perusahaan akan menyeimbangkannya menjadi 50:50.
Berdasarkan data Balai Karantina Pertanian Kelas I Padang, jumlah ekspor cangkang kelapa sawit dari Sumbar periode Januari-Juli 2019 mencapai 234.000 ton. Sementara tahun 2018, totalnya sekitar 314 ton. Adapun Dinas Pertanian Sumbar menyebutkan luas area perkebunan sawit di Sumbar mencapai 400.000 hektar.
Komoditas lain
Selain cangkang kelapa sawit, dalam kesempatan itu Balai Karantina Pertanian juga melepas enam jenis komoditas lainnya. Komoditas itu adalah santan kelapa, kelapa parut, air kelapa, kulit kayu manis, biji pinang, dan karet olahan.
Santan kelapa sebanyak 35,2 ton senilai Rp 612,7 juta dikirim ke Belanda dan Inggris, kelapa parut sebanyak 37,2 ton senilai Rp 827 juta dikirim ke Jerman dan Norwegia, dan air kelapa sebanyak 36 ton senilai Rp 308 juta dikirim ke Inggris.
Sementara itu, kulit kayu manis sebanyak 173,2 ton senilai Rp 14,6 miliar dikirim ke Inggris, Prancis, dan Singapura. Biji pinang sebanyak 102,7 ton senilai Rp 1,8 miliar dikirim ke Thailand. Adapun karet olahan sebanyak 100,8 ton senilai Rp 2,2 miliar dikirim ke India.
Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas I Padang Eka Hernida Yanto mengatakan, penambahan ragam komoditas, seperti tiga produk olahan kelapa tersebut, menjadi salah satu program yang didorong selain menumbuhkan eksportir baru dari kalangan muda. Hal itu sejalan dengan upaya percepatan akselerasi ekspor.
“Balai Karantina Pertanian dengan program Agro Gemilang, siap memberikan bimbingan dan pendampingan teknis para eksportir komoditas pertanian ke pasar global,” kata Eka.