Romi Persoalkan Aturan yang Belum Berpihak pada Penyandang Disabilitas
Sistem perekrutan calon pegawai negeri sipil dinilai masih mendiskriminasi penyandang disabilitas. Mereka hanya diperbolehkan masuk melalui jalur khusus penyandang disabilitas, tidak pada jalur umum. Karena alasan itu, Romi Syopfa Ismael memperjuangkan nasibnya karena merasa terdiskriminasi.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem perekrutan calon pegawai negeri sipil dinilai masih mendiskriminasi penyandang disabilitas. Mereka hanya diperbolehkan masuk melalui jalur khusus penyandang disabilitas, tidak pada jalur umum. Karena alasan itu, Romi Syopfa Ismael memperjuangkan nasibnya karena merasa terdiskriminasi.
Romi adalah dokter gigi dari Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Masalah bermula saat kelulusan Romi pada seleksi CPNS 2018 dibatalkan Bupati Solok Selatan Muzni Zakaria karena alasan kesehatan. Romi menyampaikan kekecewaannya saat didampingi Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas untuk Implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Bagi dia, alasan pemerintah menganulir kelulusannya tidak beralasan. Romi merupakan dokter gigi honorer yang telah bekerja selama dua tahun di Puskesmas Talunan, Solok Selatan. Sejak 2016, ia menjadi pengguna kursi roda karena mengalami lemah tungkai kaki pasca-melahirkan. Meski demikian, tugas-tugasnya sebagai dokter dapat selalu dituntaskan.
Selain itu, ia yang mendaftar sebagai CPNS melalui formasi umum telah dinyatakan lulus. Ia pun mendapatkan rekomendasi dari dokter spesialis okupasi bahwa dirinya dapat bekerja sebagai dokter gigi.
Untuk mendapatkan kembali haknya, Romi yang dibantu Lembaga Bantuan Hukum Padang mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Padang. Selain itu, ia juga mengirim surat kepada presiden dan menemui sejumlah menteri. ”Perjuangan ini bukan hanya untuk diri saya sendiri, melainkan untuk semua kaum disabilitas,” kata Romi.
Ketua I Pusat Pemilikan Umum Akses Penyandang Disabilitas (PPUA Disabilitas) Happy Sebayang mengatakan, peraturan dalam sistem perekrutan CPNS belum berpihak pada kaum difabel. Sebab, mereka hanya diperbolehkan mendaftarkan diri melalui formasi khusus disabilitas, tidak pada jalur umum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, kuota bagi mereka ditetapkan sebesar 2 persen dari total CPNS yang diterima.
Pada formasi umum, kaum disabilitas kerap terbentur dengan persyaratan dasar, yaitu kesehatan jasmani. ”Syarat sehat jasmani dan rohani itu belum memiliki batasan yang jelas. Sering kali disabilitas manusia dianggap sebagai penyakit,” katanya.
Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Maulani Rotinsulu mengatakan, disabilitas bukan penyakit. Para penyandang dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan syarat terdapat infrastruktur dan sistem sosial yang menunjang aksesibilitas mereka. Namun, hal itu belum tersedia secara mumpuni di Indonesia. ”Syarat sehat jasmani dan rohani dalam formasi umum perekrutan CPNS semestinya direvisi,” kata Ketua Umum PPUA Disabilitas Ariani Soekanwo.
Selain itu, kelompok formasi penyandang disabilitas dan formasi umum pun semestinya ditiadakan. Ariani menambahkan, kelulusan Romi semestinya dikembalikan. Sebab, pembatalan kelulusan yang dilakukan Bupati Solok Selatan melanggar UU No 8/2016. Pada Pasal 45 dijelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin proses perekrutan, penerimaan, pelatikan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier yang adil dan tanpa diskriminasi kepada penyandang disabilitas.
Pembatalan kelulusan juga dianggap menghalangi hak pekerjaan bagi penyandang disabilitas yang diatur dalam Pasal 11 UU No 8/2016. Penghalangan itu, dalam Pasal 45, dapat dikenakan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.
Secara terpisah, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Badan Kepegawaian Negara Mohammad Ridwan mengatakan, tidak ada aturan yang dilanggar Panitia Seleksi Daerah (Panselda) Solok Selatan ketika membatalkan kelulusan Romi. ”Panselda telah mematuhi prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga BKN tidak mungkin untuk tidak mengabulkan permohonan pembatalan,” ujar Ridwan.
Ia menjelaskan, permohonan pembatalan dilakukan panselda setelah mendapatkan sejumlah rekomendasi. Di antaranya dari Kementerian Kesehatan yang menyatakan bahwa Romi tidak bisa masuk sebagai CPNS lewat formasi umum karena tidak memenuhi syarat kesehatan jasmani. Berdasarkan keterangan dinas sosial, Romi pun dinyatakan sebagai penyandang disabilitas.
Sejumlah rekomendasi dan pertimbangan itu pun disampaikan oleh panselda kepada panitia seleksi nasional (panselnas). ”Pada 22 Maret 2019, panselda mengirim surat kepada panselnas, dalam hal ini kepala BKN, untuk membatalkan kelulusan yang sebelumnya sudah kami nyatakan,” ujar Ridwan.
Menurut dia, terdapat kesalahpahaman antara Romi dan Pemerintah Kabupaten Solok Selatan. Sebagai tenaga honorer yang telah bekerja selama dua tahun, jika pemerintah kabupaten bermaksud merekrut Romi sebagai CPNS, semestinya formasi yang diajukan adalah formasi khusus. Sementara itu, pemerintah kabupaten mengajukan formasi umum.
Selain itu, persyaratan sehat jasmani dan rohani yang ada dalam formasi umum memang tidak dibuat secara detail. Hal itu dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada pejabat pembina kepegawaian (PPK) menentukan kriteria khusus sesuai dengan konteks yang dibutuhkan instansinya.
Ridwan menyatakan, pihaknya berkomitmen untuk melaksanakan apa pun hasil dari upaya yang dilakukan Romi. Jika gugatannya ke PTUN dikabulkan, status CPNS akan diberikan kepada dia.
Aksesibilitas
Ridwan menampik pernyataan bahwa sistem perekrutan CPNS mendiskriminasi kaum disabilitas. Sebab, pihaknya sudah memiliki prosedur standar operasi, menyediakan satu pendamping untuk setiap pendaftar CPNS disabilitas. ”Penyandang disabilitas juga kami beri waktu tambahan dalam mengerjakan soal seleksi,” katanya.
Hanya saja, layanan tersebut kerap terkendala koordinasi. Instansi kerap telat memberitahukan jumlah peserta disabilitas. Oleh karena itu, sering kali petugas BKN yang tersedia kurang dari jumlah peserta.
Ke depan, pengembangan teknologi informasi dalam perekrutan CPNS juga akan dilakukan. Saat ini tengah dikembangkan sistem voice recognition yang mengubah soal tertulis menjadi suara untuk membantu kalangan tunanetra. Mereka pun dapat menjawab soal dengan mengucapkannya. ”Kami berkomitmen untuk terus meningkatkan aksesibilitas, tetapi memang belum bisa diterapkan pada perekrutan CPNS 2019,” ujar Ridwan.