Korupsi Tamzil di Kesempatan Kedua
Barangkali banyak warga Kabupaten Kudus tidak menyangka bupati mereka akan kembali ditangkap KPK karena kasus korupsi. Repot-repot berkampanye dan berjuang untuk kembali menduduki pucuk pimpinan daerah, Muhammad Tamzil (58) terjerembab dalam kasus suap di akhir tahun pertama pemerintahannya.
Tak hanya menuai citra buruk, Tamzil ibarat mengkhianati 42,51 persen pemilih yang telah memberi kesempatan kedua kepadanya. Betapa tidak, dia pernah divonis karena kasus korupsi jauh sebelumnya.
Nama M Tamzil masuk dalam bursa pertarungan pemilihan kepala daerah di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, pada awal Januari 2018. Mantan bupati yang telah turun panggung satu dekade lamanya ini berusaha kembali ke kancah kekuasaan.
Jalan Tamzil untuk come back menjadi mulus karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, ia masih bisa memenuhi persyaratan. Pasal 7 Ayat (2) Huruf (g) yang telah diubah menyatakan, mantan terpidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah jika secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
UU No 10/2016 ini merupakan perubahan kedua atas UU No 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU. Ia diusung koalisi Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hanura. Tamzil berpasangan dengan Hartopo, legislator di kabupaten.
Masyarakat Kudus masih percaya kepada Tamzil untuk memimpin. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kudus pada 4 Juli 2018 pun menetapkan pasangan Muhammad Tamzil- Hartopo sebagai bupati dan wakil bupati terpilih Kabupaten Kudus periode 2018-2023. Pasangan ini memperoleh suara 42,51 persen suara, mengalahkan empat pasangan calon lainnya.
Dalam Pilkada Serentak Kabupaten Kudus 27 Juni 2018, sebanyak lima pasangan calon berlomba memperebutkan jabatan tertinggi. Tiga pasangan calon diusung koalisi parpol dan dua pasangan calon lain berangkat dari jalur perseorangan. Pasangan Masan-Noor Yasin yang menjadi pesaing kuat Tamzil–Hartopo meraih 38,55 persen suara.
Menuju periode kedua
Tamzil pernah menjabat sebagai Bupati Kudus pada periode 2003-2008. Selepas dari jabatan bupati, Tamzil mencoba peruntungan dengan menjadi calon Gubernur Jawa Tengah pada 2008, berpasangan dengan Abdul Rozaq Raiz. Namun, ia dikalahkan pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih.
Gagal di tingkat provinsi, Tamzil kembali maju sebagai calon bupati Kudus berpasangan dengan Asyrofi dalam Pilkada 2013. Nasibnya belum mujur, ia kalah dari calon petahana Musthofa. Kekalahannya sedikit banyak dipengaruhi oleh proses sidang kasus korupsi yang tengah dijalaninya.
Pada tahun 2014, Tamzil divonis hukuman 22 bulan penjara dalam kasus korupsi pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Kudus tahun anggaran 2004-2005. Dalam kasus tersebut, ia dinyatakan merugikan negara sebesar Rp 2,85 miliar.
Kegagalan demi kegagalan dan masa hukuman tidak mengendurkan keinginan Tamzil untuk kembali berkuasa. Upayanya membangun jalan kekuasaan membuahkan hasil di Pilkada 2018.
Dalam suatu kesempatan wawancara pasca-pilkada pada akhir Juni 2018 dengan sejarawan Kudus Edy Supratno, terkuak alasan kemenangan Tamzil. Edy berpendapat, terpilihnya kembali Tamzil menjadi Bupati Kudus tidak lepas dari rekam jejak yang ditorehkan Tamzil selama berkuasa yang bisa diperbandingkan dengan bupati sesudahnya.
Banyak proyek yang menjadi penanda keberhasilan Tamzil, seperti penyediaan lampu penerangan jalan, pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah Loekman Hadi, serta pembangunan sarana dan prasarana pendidikan. Hasil kerjanya itu mudah diingat dan menjadi pertimbangan masyarakat.
Selain itu, menurut Edy, meski memiliki catatan ”tidak bersih”, Tamzil memiliki jiwa sosial yang tinggi. Di mata aparatur sipil negara, Tamzil adalah sosok yang baik, yang berbuat tak hanya untuk diri sendiri. Hal ini menjadi nilai tambah baginya.
Belum genap setahun bekerja sejak dilantik pada September 2018, penangkapan Tamzil oleh KPK mengejutkan publik. Tamzil ditangkap pada 26 Juli 2019 bersama staf khususnya, Agus Soeranto, terkait suap untuk pengisian jabatan di pemerintahan Kabupaten Kudus. Tamzil meminta Agus mencari uang Rp 250 juta guna membayar utang pribadi.
Akhmad Sofyan, Pelaksana Tugas Sekretaris Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Kudus, lalu diminta Rp 250 juta. Imbalannya, karier istrinya akan dibantu. Sofyan sedang menyerahkan Rp 170 juta saat ditangkap KPK. Bersama Tamzil dan Agus, ia juga ditetapkan sebagai tersangka.
Masih ada celah
Dalam kasus Bupati Kudus, sejarawan Edy berpendapat, sebenarnya dari indikator pembangunan fisik daerah, Tamzil menunjukkan kinerja yang baik, bahkan jauh lebih baik jika dibandingkan saat dia menjabat pertama.
Hal tersebut tidak lepas dari penyelenggaraan tata kelola e-government yang lebih terbuka dan dipantau ketat. Namun, memang masih ada celah untuk korupsi seperti dalam hal pengisian jabatan.
Sepanjang 2018, tersangka kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi adalah 21 orang dari total 121 tersangka yang ditangkap KPK. Jumlah terbanyak berasal dari kalangan swasta (46 orang). Selebihnya adalah anggota dewan di daerah dan pusat, hakim, pejabat eselon I hingga eselon III, advokat, dan lainnya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, bentuk korupsi kepala daerah adalah pemerasan, penerimaan suap atau gratifikasi, dan penyalahgunaan jabatan yang menyebabkan kerugian negara atau daerah.
Wilayah yang menjadi rawan korupsi adalah kegiatan perencanaan dan pengalokasian anggaran daerah, proses perekrutan pejabat atau pegawai daerah, pemberian izin di sektor ekonomi dan sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa, serta pembuatan kebijakan daerah.
KPK melakukan pencegahan agar korupsi kepala daerah tidak berulang. Berdasarkan Laporan Tahunan KPK 2018, KPK melibatkan diri untuk membenahi akuntabilitas pembangunan daerah setidaknya di delapan kegiatan.
Pelibatan KPK antara lain dalam melaksanakan perencanaan dan penganggaran daerah melalui e-planning dan e-budgeting, pengadaan barang dan jasa berbasis elektronik (e-procurement), serta pelayanan terpadu satu pintu.
Pendampingan KPK juga dilaksanakan dalam penguatan APIP, pengendalian gratifikasi dan LHKPN, tata kelola dana desa, pendapatan asli daerah, serta perbaikan manajemen aset daerah.
Namun, keberhasilan kegiatan-kegiatan tersebut masih jauh dari harapan. Korupsi di kalangan kepala daerah berulang. Gratifikasi terjadi di kalangan pemerintahan karena ada harapan tinggi dari pemberi gratifikasi atau hadiah.
Dengan memberi hadiah, terselip harapan, mereka akan mendapat kemudahan perizinan, kemudahan ikut tender proyek pemerintah, atau mendapat keamanan dalam menjalankan bisnis. (LITBANG KOMPAS)