Banyak Lulusan SMK Menganggur, Industri agar Lakukan Vokasi
Lulusan SMK merupakan penyumbang terbesar penganggur di Indonesia. Padahal, siswa SMK disiapkan khusus untuk menghadapi dunia kerja. Industri diajak melakukan vokasi guna mengatasi jarak antara kebutuhan perusahaan dan kemampuan lulusan SMK.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lulusan sekolah menengah kejuruan merupakan penyumbang terbesar penganggur di Indonesia. Padahal, siswa SMK disiapkan khusus untuk menghadapi dunia kerja. Industri diajak melakukan vokasi guna mengatasi jarak antara kebutuhan perusahaan dan kemampuan lulusan SMK.
Kepala Seksi Penyelarasan Kejuruan Direktorat SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sulistio Mukti Cahyono, Kamis (1/8/2019), mengatakan, masih ada jarak antara kebutuhan pekerja industri dan kemampuan lulusan SMK. Hal itu menyebabkan banyak lulusan SMK tidak memenuhi syarat saat bekerja.
”Jadi kita sedang berusaha mengubah mindset sekolah dan masyarakat. SMK bukan untuk menampung animo ataupun menuruti kesukaan orangtua, tetapi memenuhi kebutuhan industri,” kata Sulistio.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat pengangguran terbuka pada 2019 mencapai 6,82 juta jiwa. Dari jumlah itu, lulusan SMK menjadi penyumbang terbesar penganggur dengan total 8,63 persen.
Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan penganggur lulusan diploma I/II/III yang sebesar 6,89 persen, lulusan SMA 6,78 persen, lulusan universitas 6,24 persen, lulusan SMP 5,04 persen, dan lulusan SD 2,65 persen.
Pemerintah dengan bantuan industri saat ini berupaya menyelaraskan kurikulum, strategi pembelajaran, dan kelas industri. Mereka menyesuaikan sarana dan prasarana seperti yang ada di industri.
Oleh karena itu, kata Sulistio, pihaknya sedang mendorong industri untuk membantu peningkatan kualitas lulusan SMK. Industri bisa terlibat langsung dalam melatih siswa SMK sesuai dengan kebutuhan perusahaannya lewat pendidikan vokasi.
Kebutuhan revitalisasi itu didukung Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, pada akhir Juni 2019, Presiden menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PP Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.
Aturan itu memuat dua jenis insentif pengurangan pajak di atas 100 persen (super deduction tax) untuk pendidikan vokasi dan untuk kegiatan riset serta inovasi. Salah satunya menyatakan, badan usaha yang menyelenggarakan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan pembelajaran untuk pengembangan sumber daya manusia akan mendapatkan insentif pajak.
Industri usaha pun menanggapinya dengan positif. Salah satunya dari industri perbankan. PT Bank Central Asia (BCA) Tbk meluncurkan program Teaching Factory Cash Management Academy. Program itu memfasilitasi siswa SMK untuk mendapat pelatihan sesuai kebutuhan perusahaan.
Wakil Presiden Direktur BCA Armand W Hartono mengatakan, program itu tidak hanya mengikuti instruksi presiden. BCA juga membutuhkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selama ini, mereka sulit mencari tenaga kerja yang sudah mengenal perusahaan dan memiliki kemampuan yang dibutuhkan.
”Kebutuhan tenaga kerja di BCA selalu ada. Penggunaan uang tunai selalu bertumbuh. Karena itu, tunai tidak bisa lari dari otomasi mesin. Sementara harus ada manusia di belakangnya untuk merawat dan memperbaiki mesin tersebut,” tutur Armand dalam peluncuran Teaching Factory Cash Management Academy.
Adapun BCA memiliki 17.500 mesin yang tersebar di seluruh Indonesia. Mesin itu membutuhkan sumber daya manusia (SDM) dalam perawatan tingkat satu, tingkat dua, dan pengaturan kas. Peningkatan SDM pekerja sangat diperlukan untuk menyesuaikan perkembangan teknologi.
BCA melalui program tersebut memberikan kesempatan siswa SMK untuk magang. Setelah itu, lulusan pelatihan itu juga bisa menjadi karyawan bank swasta tersebut.
”Kalau hanya pendidikan vokasi tanpa tujuan, nanti mau ke mana. Jadi, dengan latar belakang itu, kita coba,” lanjut Armand.
Dalam tahap pertama BCA memulai dengan empat sekolah, tiga sekolah di Jawa Barat dan satu sekolah di Jawa Timur. Jumlah sekolah yang mendapat program pelatihan ditargetkan mencapai 40 sekolah dalam tiga tahun ke depan.
Erick Hadi, CEO Electronic Science Indonesia, yang turut terlibat dalam program BCA tersebut, mengatakan, pelatihan terbagi menjadi tiga tahap, yakni kelas teori, praktik, dan uji kompetensi. Mereka akan mendapatkan pelatihan untuk memahami industri perbankan.
”Mereka akan mendapat pengetahuan soal financial planning (perencanaan keuangan), juga budaya industri. Lulusan program nantinya akan dites lewat magang. Tentunya akan diseleksi lagi,” ucap Erick.