Polusi Udara di DKI Jakarta Belum Tertangani
Hari ini, Kamis (1/8/2019), sidang perdana gugatan perwakilan warga negara terkait polusi udara DKI Jakarta digelar. Sidang dijadwalkan pukul 09.00 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kualitas udara Ibu Kota memburuk. Kesehatan warga dipertaruhkan. Pemecahan masalah membutuhkan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah serta pihak-pihak terkait.
JAKARTA, KOMPAS — Hari ini, Kamis (1/8/2019), sidang perdana gugatan perwakilan warga negara terkait polusi udara DKI Jakarta digelar. Sidang dijadwalkan pukul 09.00 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Simanjuntak, sebelumnya sudah mengimbau agar ada dukungan besar dari publik. ”Kami berharap dukungan publik makin besar,” ucapnya.
Kami berharap dukungan publik makin besar.
Lima tergugat dalam gugatan perwakilan warga (citizen lawsuit) adalah Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Gubernur DKI Jakarta. Dua pihak menjadi turut tergugat, yaitu Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten.
Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota yang menginisiasi pengajuan gugatan ini membuka pos pengaduan daring guna mengajak masyarakat yang merasa dirugikan akibat pencemaran udara di Jakarta menjadi calon penggugat pada 14 Maret-14 April 2019. Pada awalnya, 57 warga mendaftar menjadi calon penggugat. Akhirnya, yang resmi menjadi penggugat 31 orang.
Istu Prayogi (54), salah seorang penggugat, mengatakan, paru-parunya divonis sensitif udara kotor pada tahun 2010, dengan gejala yang sudah dirasakan sejak 1995.
Meskipun tinggal di Depok, selama 30 tahun terakhir Istu bekerja di Jakarta, sebagian besar sebagai pengajar di perguruan tinggi. Sebelum beraktivitas di Jakarta, Istu tinggal di Purworejo, Jawa Tengah. Saat itu gejala sensitif udara kotor tidak pernah dia rasakan.
Kondisi udara buruk bisa memicu sakit kepala yang luar biasa. Istu kini bergantung pada obat pereda sakit kepala. ”Ada obat yang sampai tidak mempan lagi,” kata Istu, awal Juli lalu.
Kondisi udara buruk bisa memicu sakit kepala yang luar biasa. Istu kini bergantung pada obat pereda sakit kepala hingga sekarang. ”Ada obat yang sampai tidak mempan lagi,” kata Istu, awal Juli lalu.
Baca juga: Buruknya Kualitas Udara di Jakarta Tidak Mendorong Warga Menggunakan Angkutan Umum
Gubernur Banten dan Jawa Barat ikut digugat karena diduga menyumbang polusi udara ke wilayah DKI. Greenpeace Indonesia memperoleh citra satelit pada Juli-Agustus 2018 yang menunjukkan polusi udara PLTU batubara di Suralaya, Banten, diduga terkirim oleh angin ke Jakarta.
Di Jawa Barat terdapat pabrik-pabrik di Bekasi yang dinilai bisa menyumbang polusi untuk Ibu Kota. Namun, sebaliknya, tidak tertutup kemungkinan sumber-sumber polusi di DKI berkontribusi pada pencemaran udara di Jawa Barat dan Banten.
Seperti dikutip dari Kompas, 27 Juni 2019, Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), mengatakan, dari survei yang dilakukan pada 2014, sumbangan polusi dari kendaraan bermotor 47 persen, dari industri 22 persen, serta kompor atau pembakaran di restoran dan rumah tangga 11 persen. Ada pula sumbangan dari pembakaran sampah terbuka 5 persen, infrastruktur 4 persen, dan debu jalanan 4 persen.
Namun, menurut Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 75 persen polusi udara berasal dari transportasi darat, 9 persen dari sektor industri, 8 persen dari sektor domestik, seperti kegiatan sampah bakar, dan 8 persen industri lain-lain.
Ancaman kesehatan
Dalam paparan KPBB 28 Juni 2019, dari sekitar 9,9 juta warga DKI pada 2016 lalu, 58,3 persen menderita penyakit yang terkait dengan polusi udara. Total biaya medis mencapai Rp 51,2 triliun.
KPBB juga mengutip laporan WHO yang menyatakan sebanyak seperdelapan kematian di dunia pada 2012 dipicu oleh polusi udara.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dwi Oktavia mengatakan, penyakit yang diakibatkan dampak polusi udara adalah gangguan pernapasan, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), iritasi mata, penyakit akibat gangguan jantung dan pembuluh darah, penurunan sistem kekebalan tubuh, dan kanker apabila terpapar polusi udara dalam jangka panjang.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar, pada 2018 prevalensi asma kambuh di Jakarta masih sangat tinggi, yaitu 52,7 persen. Adapun prevalensi penyakit lain yang bisa dipicu polusi udara adalah ISPA dengan prevalensi 2,7 persen, ISPA balita dengan prevalensi 5,4 persen, pneumonia (2,2 persen), pneumonia balita (2 persen), dan asma (2,6 persen).
Jumlah kasus ISPA DKI Jakarta pada Januari, Februari, dan Maret 2019 ini lebih tinggi daripada periode sama tahun sebelumnya. Pada Januari ada 178.501 kasus, Febuari ada 232.403 kasus, Maret ada 202.034 kasus, April ada 165.105 kasus, dan Mei ada 127.227 kasus.
Pada periode sama tahun sebelumnya, kasus ISPA di Jakarta tak lebih dari 200.000 kasus per bulan.
Rabu (31/7/2019), data AirVisual, kualitas udara di Jakarta termasuk tidak sehat atau kategori merah pada siang hari dan turun menjadi tidak sehat bagi kelompok sensitif (termasuk anak-anak) atau kategori jingga pada pukul 21.00. Udara Jakarta berkisar di dua kategori itu sejak Senin (29/7/2019) dan diperkirakan tetap sama hingga 6 Agustus nanti.
Tak bisa sendiri
Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki mengatakan, DKI mesti mengajak daerah sekitar untuk bersama-sama menangani persoalan ini.
Di Jakarta, kata Wakil Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Faela Sufa, penyediaan dan pembangunan transportasi publik saja tak akan kuat mendorong orang beralih ke transportasi umum. Pengurangan penggunaan kendaraan bermotor harus disertai kebijakan yang memaksa orang tak bisa menggunakan kendaraan bermotor pribadi. Untuk itu, pembangunan jaringan layanan angkutan publik, baik bus maupun kereta api, harus dipercepat.
Infrastruktur angkutan publik yang ada saat ini, meskipun sudah mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas, tetap belum memadai untuk menarik lebih banyak orang meninggalkan kendaraan pribadi dan menjadi pengguna bus umum atau jaringan kereta api komuter.
Untuk jangka pendek, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Iskandar Abubakar mendorong pemerintah segera mengimplementasikan jalan berbayar elektronik (ERP), membatasi ruangan untuk parkir, dan menaikkan tarif parkir guna membatasi penggunaan kendaraan pribadi.
Baca juga: Tahun Ini, Kendaraan Berat Harus Lulus Uji Emisi
Iskandar sepakat jika regulasi pembatasan kendaraan pribadi, seperti ganjil genap di jalan protokol, diperluas dan diperpanjang operasionalnya.
Selama pelaksanaan Asian Games lalu, misalnya, kebijakan perluasan ganjil genap membuat kecepatan kendaraan di jalan raya meningkat, pengguna angkutan umum meningkat, serta berkontribusi positif terhadap berkurangnya emisi gas buang kendaraan bermotor.
(AYU PRATIWI/NIKOLAUS HARBOWO/NELI TRIANA)