JAKARTA, KOMPAS – Pengendalian kualitas udara di Jakarta belum diikuti peran serta pemerintah daerah tetangga. Padahal, sumber polusi Ibu Kota diyakini juga berasal dari kawasan penyangganya. Jika koordinasi itu tak pernah terwujud, masalah pencemaran udara tak akan pernah selesai.
Sebagai kota megapolitan, Jakarta memiliki tantangan besar terhadap peningkatan jumlah penduduk dan kendaraan bermotor. Jumlah penduduk Jakarta sudah mencapai 10 juta orang. Sementara lingkup Jakarta dan sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), terdapat 28 juta-30 juta penduduk.
Kepadatan penduduk meningkatkan pula mobilitas kendaraan di Jakarta. Setidaknya hampir 17 juta kendaraan bermotor datang dan pergi setiap hari di kawasan Ibu Kota. Kualitas udara pun menjadi masalah yang krusial.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, untuk mengatasi masalah itu, koordinasi antar-pemerintah daerah tentu sangat dibutuhkan. Namun, pengaturannya belum ada. Saat ini, Pemprov DKI terlebih dahulu mengeluarkan aturan tentang pengendalian kualitas udara lewat Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019.
"Koordinasi antar-pemerintah daerah pasti dibutuhkan. Nanti akan ada pengaturannya. Tetapi, dari sekarang, kami (Pemerintah DKI) set (atur) dulu bahwa tahun depan adalah semua kendaraan umum harus sudah berusia di bawah 10 tahun," ujar Anies di Balai Kota Jakarta, Jumat (2/8/2019).
Pembatasan usia kendaraan itu menjadi salah satu upaya Pemerintah DKI mengendalikan kualitas udara, terutama dari sektor transportasi darat.
Cara lain yang diatur dalam Ingub Nomor 66/2019 adalah memastikan seluruh kendaraan umum yang beroperasi di Jakarta lulus uji emisi, serta memperketat kententuan uji emisi bagi seluruh kendaraan pribadi pada tahun ini.
Niat politik
Di kesempatan berbeda, pengajar Hukum Lingkungan dari Universitas Katolik Atma Jaya, Kristanto P Halomoan, menuturkan, kolaborasi antar-pemda dibutuhkan agar penyelesaian masalah polusi lebih komprehensif. Namun, itu kembali lagi pada kemauan politik (political will) dari setiap pemda.
“Sebenarnya tinggal political will saja. Kalau semuanya mau bersama-sama, melihat ini sebagai concern yang perlu dikelola bersama, masalah lebih cepat teratasi. Toh, ini, kan, demi kesejahteraan warganya bersama,” tutur Kristanto.
Catatan Greenpeace Indonesia, kualitas udara buruk di Jakarta diakibatkan beberapa hal, di antaranya asap industri, transportasi, pembakaran sampah, dan sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang ada di sekeliling Jakarta.
Salah satu citra satelit yang didapatkan Greenpeace Indonesia pada Juli-Agustus 2018 menunjukkan PLTU batubara di Suralaya, Banten, menyumbang polusi udara ke Jakarta saat angin berembus ke barat.
Masalah polusi udara ini seharusnya jadi tanggung jawab seluruh pemerintah di sekeliling Jakarta, termasuk presiden.
"Revisi kebijakan yang ada dan kami memaksa mereka melakukan koordinasi antarpemerintah daerah,” kata Juru Kampanye Iklim dan Energi dari Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu, beberapa waktu lalu.
Pengendalian
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menuturkan, pihaknya kini tengah mengkaji perluasan ganjil genap di kawasan Ibu Kota. Dia berharap, lokasi perluasan dapat difinalisasi minggu depan.
"Dari hasil evaluasi ganjil-genap semester 1-2019 secara keseluruhan kinerja traffic meningkat, demikian pula halnya terkait kualitas udara. Jadi ini bisa menjadi bagian dari upaya pengendalian lalu lintas," tutur Syafrin.
Tak berhenti di situ, upaya pengendalian kualitas udara juga mulai diperketat di sumber polusi yang tak bergerak, seperti pada industri aktif. Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) DKI Benny Agus Chandra menyampaikan, tahun ini, pemerintah akan menindak tegas industri yang asapnya melebihi nilai maksimum baku mutu emisi.
“Apabila ternyata lewat dari baku mutu, ya izin dapat dibekukan atau dicabut,” tegas Benny.