KPK Tetapkan Direktur Keuangan Angkasa Pura II sebagai Tersangka
Oleh
Aditya Diveranta/Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II, Andra Agussalam, sebagai tersangka korupsi beserta satu staf dari PT Industri Telekomunikasi Indonesia. Penetapan tersangka ini terkait perkara pengadaan pekerjaan Baggage Handling System (BHS) pada PT Angkasa Pura Propertindo yang dilaksanakan oleh PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero) tahun 2019.
“Suap antara pihak yang berada di dua BUMN seperti ini sangat memprihatinkan dan sangat bertentangan dengan nilai etis dilakukan dalam dunia bisnis. KPK merasa sangat miris karena praktik korupsi bahkan terjadi di dua perusahaan negara yang seharusnya bisa bekerja lebih efektif dan efisien untuk keuangan negara. Tapi malah menjadi bancakan hingga ke anak usahanya,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, di Jakarta pada Kamis (01/08/2019).
Kasus yang ditingkatkan ke penyidikan ini menyatakan bahwa Andra Agussalam merupakan pihak penerima. Sementara tersangka Taswin Nur selaku staf dari PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) (Persero) sebagai pihak pemberi.
Selain itu, dalam pemeriksaan hari ini, KPK juga memanggil DIN selaku supir, Marzuki Banung selaku Executive General Manager, Divisi Airport Maintainance Angkasa Pura, Wisnu Raharjo selaku Direktur PT Angkasa Pura Propertindo (APP), dan Tedy Simanjuntak selaku staf PT INTI.
KPK menerima informasi bahwa PT INTI akan memperoleh pekerjaan Baggage Handling System (BHS) yang akan dioperasikan oleh PT Angkasa Pura Propertindo (APP) dengan nilai kurang lebih Rp 86 miliar untuk pengadaan BHS di 6 bandara yang dikelola oleh PT Angkasa Pura II.
Sebelumnya, KPK mengamankan uang sebesar 96.700 dollar Singapura dari hasil operasi tangkap tangan pada Rabu (31/7/2019) kemarin yang diamankan dari END selaku supir. Uang didapatkan saat terjadi penyerahan uang di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan yang melibatkan Taswin.
“Uang tersebut diduga diterima AYA (Andra Agussalam) sebagai imbalan atas tindakannya ‘mengawal’ agar proyek BHS dikerjakan oleh PT INTI,” ujar Basaria.
Berulang
Berdasarkan data dari Anti-Corruption Clearing House, pada periode 2004-2018, ada 56 kasus korupsi yang terjadi dalam instansi badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD). Jumlah ini menempatkan BUMN/BUMD pada posisi ke lima institusi terkorup di Indonesia.
Pada periode yang sama, institusi terkorup pertama, yaitu kementerian dan lembaga dengan total 321 kasus korupsi. Kemudian pemerintah kota dan pemerintah kabupaten (295 kasus korupsi), pemerintah provinsi (128 kasus korupsi), DPR dan DPRD (67 kasus korupsi), dan komisi (20 kasus korupsi).
Pada 2018, data Indonesia Corruption Watch menunjukkan terdapat kerugian negara Rp 3,1 triliun dari kasus korupsi yang terjadi dalam tubuh BUMN. Kasus korupsi ini melibatkan 19 BUMN di Indonesia dan 28 orang baik direktur utama maupun karyawan BUMN.
Kasus korupsi yang melibatkan direksi aktif BUMN juga pernah ditangani KPK sebelumnya. Pada 2019, KPK menetapkan Direktur Utama Perum Jasa Tirta II dan mantan Direktur PT Pelabuhan Indonesia II sebagai tersangka kasus korupsi.
Penetapan tersangka kasus korupsi juga disematkan kepada mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan dan mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Sofyan Basir. Ada pun mantan Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar, mantan Dirut PT PAL Indonesia Firmansyah Arifin, dan mantan Dirut PT Asuransi Jasindo Budi Tjahjono juga terjerat kasus korupsi.
Secara terpisah, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Oce Madril menyampaikan, berulangnya kasus korupsi di tubuh BUMN mencerminkan kegagalan Kementerian BUMN. Untuk itu, evaluasi besar-besaran harus segera dilaksanakan.
“Kementerian BUMN itu gagal dalam memastikan BUMN bekerja dengan bersih. Seharusnya ada fokus bagaimana menciptakan manajemen antikorupsi dalam pengelolaan BUMN sehingga korupsi tidak terus berulang,” tegas Oce.
Berulangnya kasus korupsi di tubuh BUMN dinilai Oce karena luasnya kewenangan BUMN dalam bidang bisnis yang bersangkutan. Keadaan ini menciptakan peluang bagi para jajaran direksi untuk melakukan korupsi.
“Korupsi dengan jenis ini bukan karena pendapatan kecil tapi karena peluang melakukan korupsi terbuka lebar. Ada peluang yang diciptakan oleh sistem yang korup sehingga mereka yang berada di BUMN itu sangat rentan akhirnya,” kata Oce.
Untuk itu, menajemen antikorupsi sangat dibutuhkan. Misalnya, ada pakta antikorupsi dalam setiap kontrak bisnis, ada unit pengendalian pemantauan antigratifikasi, hingga penilaian profil jajaran direksi dan karyawan agar dapat selalu terpantau.
Oce menegaskan, harus ada kesadaran dari para karyawan BUMN bahwa mereka adalah pejabat negara. Artinya, apa yang mereka lakukan bukan semata untuk misi berbisnis, namun ada kepentingan publik yang harus mereka emban.