Dua puluh tahun sudah Abdul Rauf Karim (61), seorang Muslim, membantu pemakaman warga di kampung pecinan, Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Selama itu pula, warga kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, tersebut turut menyambung napas keberagaman di Jamblang. Sore itu Rauf menyiapkan ruang pertemuan untuk pemakaman di sekitar Wihara Dharma Rhakita atau Wihara Jamblang di Desa Jamblang. Kursi dan meja ditata rapi, dilengkapi gelas air mineral.
Di dekat pintu ruangan, jenazah Goei Seng Liem (74) terbaring dalam peti. Ada rangkaian bunga melati berbentuk salib dan dua lilin mengapit foto almarhum. ”Jenazah akan dimakamkan di desa ini. Kuburan di sini campur, ada orang Kristen, Khonghucu, dan Islam,” kata Rauf yang tergabung dalam Perhimpunan Dana Setia Bakti, yayasan pengelola Wihara Jamblang. Ada lima pengurus yayasan yang beragama Islam seperti Rauf.
Sebagai kepala pengurus pemakaman di yayasan, Rauf bertanggung jawab atas pemakaman anggota wihara. Rauf menjalankan aktivitas itu sejak 20 tahun lalu ketika masih menjadi bintara pembina desa di Jamblang. Kini, ia telah pensiun dari TNI dengan pangkat terakhir sersan mayor pada 2010.
”Di sini, tidak ada masalah meski berbeda agama,” kata Indah Yuli Rahayu (40). Perempuan berhijab itu baru saja berdoa untuk mendiang pamannya, Goei Seng Liem.
Indah dulu beragama Kristen. Ayahnya, Wadri, merupakan seorang Muslim. Sementara ibunya, Siti Rahayu, pemeluk Kristen. Ketika menikah dengan Nurdin, seorang Muslim, Indah mengikuti keyakinan suaminya. ”Kalau acara Imlek dan Lebaran, kami sekeluarga pasti kumpul. Ramai,” ujarnya.
Oyo Kuswoyo (60), warga Muslim yang tinggal di sekitar wihara dan GKI di Jamblang, juga memiliki memori indah hidup berdampingan meski berbeda keyakinan. ”Orang Tionghoa yang kini menjadi peternak dan penjual emas, sama-sama teman main saya waktu kecil,” ujarnya.
Lapangan di depan wihara menjadi tempat bermain semasa kecil dan remaja. Ia masih ingat, setiap Agustus ada acara ”rebutan” di wihara yang hadiahnya fantastis berupa beras, kambing, bahkan sepeda motor. Warga luar Cirebon berdatangan. Karena alasan keamanan, akhir 1970-an, acara itu ditiadakan.
Namun, Oyo tetap menjalin silaturahmi dengan warga Tionghoa di Jamblang. Kamis (27/6/2019) sore, misalnya, ia hadir dalam Deklarasi Destinasi Wisata Kota Tua Jamblang. Bersama puluhan warga, ia duduk di rumput untuk menyaksikan atraksi barongsai.
Masjid dan kelenteng
Herwanto Siswandi, pengurus Wihara Jamblang, menuturkan, toleransi di Jamblang sudah ada sejak kelenteng dibangun sekitar abad ke-15. Meskipun tidak ada data pasti siapa yang mendirikan kelenteng, menurut Herwanto, waktu pembangunannya tidak jauh beda dengan pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Kota Cirebon, sekitar 16 kilometer dari wihara.
Masjid yang dibangun pada 1480 itu merupakan peninggalan Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Sanga atau sembilan tokoh penyebar agama Islam di Jawa. ”Satu kayu wuwungan kelenteng berasal dari pohon yang sama dengan kayu untuk Masjid Agung Sang Cipta Rasa,” ujar Herwanto sambil menunjukkan balok hitam di bagian atap kelenteng.
Konon, Sunan Gunung Jati, yang merupakan Sultan Cirebon saat itu, membutuhkan kayu untuk membangun masjid agung. Ada pohon besar di Jatiwangi, Majalengka, tetapi banyak orang gagal menebangnya. Akhirnya, Njoo Kiet Tjit atau dikenal sebagai Ki Buyut Cigoler, berhasil memotongnya. Cigoler lalu meminta sepotong balok untuk wuwungan kelenteng. Sultan mengizinkan.
”Meski penyebar agama Islam, beliau menghormati budaya dan agama lain,” tutur Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat membenarkan kisah itu.
Bahkan, menurut Arief, Putri Ong Tien, istri Sunan Gunung Jati, sempat mampir ke kelenteng di Jamblang. Menurut Kuwu (Kepala Desa) Jamblang Nurlaelah, keberagaman telah menjadikan Jamblang, sebuah desa seluas 1,3 kilometer persegi, sebagai salah satu pusat perdagangan, seperti kue, otomotif, dan emas.
Pedagang asal kecamatan tetangga, seperti Plered dan Arjawinangun, Cirebon, juga berbelanja di Jamblang.”Akan tetapi, krisis ekonomi pada 1990-an membuat ekonomi di Jamblang terpuruk. Kami coba membangun kawasan pecinan Jamblang melalui pariwisata,” ujar Nurlaelah. Ia akan mengalokasikan anggaran dari dana desa untuk pengembangan kawasan kota tua Jamblang.
”Cirebon tidak kalah dengan Kota Tua Jakarta. Di Jamblang, tidak hanya bangunan tua, tetapi juga ada kuliner, kerajinan, dan simbol toleransi,” ujar Pelaksana Tugas Bupati Cirebon Imron Rosyadi sembari menunjuk Wihara Jamblang. Pihaknya bakal menata kawasan tersebut pada 2020.
Dari nasi jamblang, kuliner khas Cirebon, keberagaman juga terwujud dan abadi. Budayawan Cirebon, Abidin Aslich, mengatakan, kuliner itu bermula ketika orang-orang dari Jamblang mencari tatal (serpihan kayu) di tempat pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa untuk memasak.
”Konon, ada seseorang berucap, karena menggunakan tatal, nasi yang dimasak terasa enak. Apalagi, kalau wadahnya daun jati,” ujar Abidin. Saat itu, lahirlah nasi jamblang dengan aneka lauk, seperti tahu, telur, dan ikan, dibungkus daun jati. Komposisi lauk dalam kuliner itu juga melambangkan keberagaman masyarakat Jamblang.