Sensor untuk mendeteksi getaran gempa yang dipasang di Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, dicuri pada Mei lalu. Hal ini seolah menyiratkan sinyal bahaya, yakni kesadaran mitigasi kita yang masih rendah.
Oleh
Videlis Jemali
·5 menit baca
Sensor untuk mendeteksi getaran gempa yang dipasang di Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, dicuri pada Mei lalu. Tak adanya alat itu memengaruhi kecepatan dan ketepatan analisis gempa di daerah yang baru 10 bulan lalu dilanda gempa besar itu. Hal ini seolah menyiratkan sinyal bahaya, yakni kesadaran mitigasi kita yang masih rendah.
Bagian depan rumah dan warung kecil keluarga Dewi (22) masih dibiarkan rusak. Segitiga rumah terbongkar dengan bata yang terserak di tanah. Atap warung sudah tak ada lagi. Dinding bagian timur warung roboh, sementara dinding lain retak. Bekas warung itu miring.
Lukman (50), ayah Dewi, meninggal karena tertimpa material di teras rumah tersebut. Hadija (75), nenek Dewi, juga turut menjadi korban karena tertimpa tembok belakang rumah. Ia tak sempat lari keluar rumah karena sakit.
Sebelum itu, saya tidak tahu sama sekali terkait alat gempa tersebut.
Rumah keluarga Dewi berada persis di pertigaan jalan tengah desa dengan jalan menuju lokasi sensor deteksi gempa di Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru. Rumah itu adalah satu dari puluhan saksi kerusakan rumah di Desa Pombewe karena gempa bermagnitudo 7,4 pada 28 September 2018.
Di Pombewe, tiga warga meninggal karena tertimpa reruntuhan rumah. Secara keseluruhan, gempa yang diikuti tsunami dan likuefaksi 10 bulan lalu itu menelan korban tak kurang dari 4.000 orang. Gempa juga merusak serta membuat hilang 80.000 rumah di Kabupaten Sigi, Donggala, dan Kota Palu.
Dewi mengakui baru mengetahui keberadaan sensor tersebut saat tersiarnya pencurian pada awal Mei 2019. Alat itu sudah terpasang sejak 2008. ”Sebelum itu, saya tidak tahu sama sekali terkait alat gempa tersebut. Setahu saya, tidak ada yang menyampaikan keberadaan alat itu selama ini. Saya juga tidak tahu kalau wilayah ini rawan gempa,” kata Dewi, saat ditemui di rumah yang masih rusak milik keluarganya di Pombewe, Jumat (2/8/2019).
Sensor gempa milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Balaroa, Kota Palu, tersebut dipasang di bukit bersemak, sekitar 1,5 kilometer dari Pombewe. Jalan ke lokasi alat itu masih berupa tanah setapak dengan kontur naik dan turun.
Lokasi penempatan alat tersebut tak terawat. Rumput tumbuh tinggi di sekitar lokasi di dalam pagar kawat yang sudah berkarat. Tak ada pula papan informasi tentang keberadaan sensor tersebut.
Kepolisian Resor Sigi menangkap dua tersangka pencurian perangkat sensor gempa tersebut, yakni AP (14), asal Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru; dan Sf (43), asal Desa Mpanau, Sigi Biromaru. Kedua warga yang desanya juga terdampak gempa dan likuefaksi 2018 itu ditangkap pada 23 Juli atau seminggu setelah BMKG Stasiun Geofisika Balaroa melaporkan kasus tersebut.
Empat perangkat deteksi gempa yang dicuri berupa satu sensor broadband, tiga baterai, satu panel solar, dan dua regulator solar. Alat-alat itu bernilai Rp 700 juta. Di lokasi hanya tersisa bangunan dan menara setinggi sekitar 30 meter.
Sensor mencatat setiap gempa yang terjadi di suatu wilayah. Kecepatan informasi gempa bertujuan menyiapkan masyarakat akan dampak gempa. Satu gempa kadang menjadi pertanda awal gempa-gempa setelahnya sehingga menjadi informasi penting agar masyarakat waspada.
Irwan (52), warga Pombewe lain, mengakui mendengar dari mulut ke mulut soal keberadaan alat deteksi gempa itu. Awalnya, Irwan mendapatkan informasi alat itu untuk mengukur hujan atau mendeteksi cuaca. Setelah kasus pencurian geger, ia baru tahu alat itu untuk mendeteksi getaran gempa.
”Mungkin ada orang lain yang disosialisasikan saat pemasangan, tetapi saya tidak tahu (soal alat itu),” ujarnya.
Ketidaktahuan juga menjadi alasan AP yang mencuri perangkat sensor tersebut. Saat ekspose kasus tersebut di Markas Polres Sigi, ia mengakui tak tahu alat apa itu berikut kegunaannya. Bersama dua temannya yang saat ini masih diburu kepolisian, ia menjual alat-alat itu Rp 450.000 kepada Sf, pengepul barang-barang bekas.
Saat dijual ke Sf, AP menyatakan alat-alat tersebut diambil dari titik bekas likuefaksi dan tsunami. Ia tak menyebutkan lokasi sebenarnya alat tersebut dipasang.
Menurut pegiat literasi kebencanaan Sulteng, Neni Isnaeni, tak adanya sosialisasi kepada masyarakat sekitar ataupun komunitas tertentu yang perlu disasar sebagai pendidikan kebencanaan membuat warga tak memiliki kesadaran. Ia khawatir alat-alat di lokasi lain tinggal menunggu waktu saja dicuri. ”Problem kita adalah sosialisasi. Kesadaran akan muncul kalau alat-alat itu dikenal dengan baik,” ucapnya.
Sosialisasi yang dimaksud berupa pemberitahuan secara resmi kepada warga sekitar terkait keberadaan alat itu dan kegunaannya dalam mitigasi. Sosialisasi juga bisa dilakukan dengan menggunakan medium luar ruang, seperti papan informasi. Papan informasi itu dapat dipasang di lokasi alat ataupun di titik-titik strategis di desa atau kampung terdekat.
Sensor itu milik semua orang dan kegunaannya untuk keselamatan semua orang.
Selain di Pombewe, sensor gempa juga dipasang di Desa Baluase dan Desa Sadaunta, Kabupaten Sigi, serta di Labuan, Kabupaten Donggala.
Berdampak
Kepala Seksi Observasi BMKG Stasiun Geofisika Balaroa Bambang Haryono menyatakan, pihaknya baru melaporkan kasus tersebut dua bulan setelah dicuri karena perlu melapor ke kantor pusat BMKG. Pihaknya perlu berkoordinasi dengan Jakarta terkait hal-hal teknis seperti kasus Pombewe.
Bambang berharap masyarakat menjaga sensor-sensor tersebut karena sangat penting dalam kaitannya dengan mitigasi bencana. Sensor itu milik semua orang dan kegunaannya untuk keselamatan semua orang.
Adapun terkait kemungkinan menempatkan penjagaan di titik sensor, Bambang mengatakan dilematis. Hal itu karena, prinsipnya, pergerakan di sekitar instalasi sensor harus seminimal mungkin agar benar-benar hanya getaran gempa yang terdeteksi oleh alat. Ke depan, BMKG bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menyosialisasikan mitigasi bencana, termasuk keberadaan alat-alat itu.
Tak berfungsinya sensor di Pombewe memengaruhi kecepatan dan ketepatan penyampaian informasi gempa kepada masyarakat. Sebelumnya, salah satu alat yang dipasang di Desa Sadaunta, Sigi, rusak karena gempa lalu.
Idealnya, untuk skala mini regional (mendeteksi gempa lokal terkuat M 3), tiga sensor harus berfungsi normal. Jika tidak terpenuhi, penganalisis membutuhkan tambahan data lain, yang biasanya diambil dari sistem nasional Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) yang dikendalikan BMKG Jakarta. Namun, rangkaian kerja itu butuh waktu lama, sementara batas waktu penyampaian informasi kepada masyarakat hanya lima menit.
Dampak nyata lambatnya penyampaian informasi gempa yang menimbulkan kepanikan masyarakat terjadi pada 26 Juli lalu saat gempa M 2,6 melanda Kota Palu. Waktu itu, warga ramai-ramai bertanya di media sosial terkait gempa yang dirasakan cukup kuat disertai gemuruh di dalam tanah. BMKG Stasiun Geofisika Balaroa baru menyampaikan informasi tentang gempa itu 25 menit setelah terjadi.
Pencurian sensor gempa di Desa Pombewe menggambarkan rendahnya kesadaran mitigasi kita, baik warga maupun otoritas terkait. Kecolongan tersebut barangkali menjadi ilustrasi betapa sering tak siapnya kita saat menghadapi bencana.