Penerimaan pajak Indonesia relatif rendah dan kondisi pasar keuangan masih dangkal. Kondisi ini membuat fundamen ekonomi Indonesia rentan terhadap gejolak perekonomian global.
Oleh
Karina Isna Irawan/Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerimaan pajak Indonesia relatif rendah dan kondisi pasar keuangan masih dangkal. Kondisi ini membuat fundamen ekonomi Indonesia rentan terhadap gejolak perekonomian global.
Selain itu, pembiayaan defisit anggaran dan transaksi berjalan ditopang aliran modal asing. Ketergantungan terhadap modal asing ini membuat stabilitas perekonomian, terutama nilai tukar rupiah, menjadi rentan.
Oleh karena itu, Indonesia mesti fokus memacu reformasi struktural. Pemerintah RI juga disarankan menyusun strategi pendapatan jangka pendek untuk mencari sumber-sumber penerimaan baru dan mendorong pendalaman pasar keuangan dengan meningkatkan jumlah investor domestik.
Saran itu disampaikan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan Article for Consultation 2019, yang dikutip Kamis (1/8/2019). Laporan menyebutkan, Indonesia mesti mengurangi ketergantungan modal asing untuk memperkecil dampak pelambatan pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan global.
Penarikan utang luar negeri juga dikendalikan dengan mencari alternatif pembiayaan melalui penerimaan pajak serta kerja sama pemerintah-swasta.
Saat ini, porsi kepemilikan asing dalam surat utang pemerintah berdenominasi rupiah mencapai 40 persen.
Berdasarkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang dirilis Bank Indonesia, transaksi berjalan triwulan I-2019 defisit 6,966 miliar dollar AS. Defisit ditutup transaksi finansial yang surplus 10,051 miliar dollar AS sehingga NPI surplus 2,419 miliar dollar AS.
Menanggapi artikel IMF, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tekanan ekonomi global berupaya dikurangi dengan menarik penanaman modal asing (PMA). Berbagai proyek strategis nasional tidak lagi dibebankan kepada BUMN, tetapi juga melibatkan swasta.
”Kami sedang menyiapkan formulasi kebijakan bidang ekonomi yang akan memberi gambaran tentang prospek dan keterbukaan (investasi),” kata Sri Mulyani.
Chief Economist for East Asia and Pacific Region World Bank Andrew Mason menyampaikan, reformasi struktural dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Berbagai kebijakan dan insentif yang diterbitkan pemerintah harus bermuara pada penurunan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi.
Mason merekomendasikan pemangku kebijakan untuk fokus pada lima area, yaitu mendorong daya saing ekonomi, membangun kualitas sumber daya manusia, meningkatkan inklusi keuangan, memperkuat institusi dan kelembagaan, serta meningkatkan penerimaan untuk transisi menjadi negara berpenghasilan tinggi.
”Pemerintah harus bertindak tegas atau kehilangan peluang mempertahankan kinerja pembangunan kawasan yang kini amat baik, terutama untuk negara-negara kawasan Asia Timur,” kata Mason dalam diskusi ekonomi yang diselenggarakan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu di Jakarta, Kamis.
IHSG merah
Langkah bank sentral Amerika Serikat, The Fed, menurunkan suku bunga acuan menjadi kisaran 2-2,25 persen disambut bursa yang merah. Indeks Harga Saham Gabungan ditutup melemah 0,14 persen ke posisi 6.381,54 pada perdagangan Kamis.
Kepala Riset Valbury Sekuritas Alfiansyah mengatakan, bursa global dan regional tertekan seiring kekecewaan investor terhadap The Fed yang mengisyaratkan untuk menutup peluang pelonggaran moneter lebih lanjut.
”Selain itu, perundingan terkait perang dagang AS-China berakhir tanpa kesepakatan apa pun juga menjadi katalis negatif,” ujarnya.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai pernyataan The Fed untuk menahan laju pelonggaran moneter juga mendorong investor pasar keuangan menempatkan modal mereka dalam instrumen dollar AS.
”Situasi ini membuat nilai tukar rupiah dan mata uang regional Asia lain turut melemah terhadap dollar AS,” ujar Ibrahim.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar pada Kamis Rp 14.098 per dollar AS.
Sri Mulyani yakin penurunan suku bunga acuan The Fed menambah daya tarik Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain karena kepercayaan investor kepada Indonesia meningkat.
Selain itu, penurunan suku bunga acuan The Fed memberi ruang bagi perusahaan domestik untuk memperbaiki kinerja sehingga bisa mendorong perekonomian triwulan III-IV.
Secara terpisah, Kepala Lembaga Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu berpendapat, penurunan suku bunga acuan The Fed akan membuat arus modal asing keluar, tetapi tidak signifikan. Alasannya, antara lain, investor melihat risiko pelemahan pertumbuhan ekonomi AS masih akan berlanjut. (KRN/DIM)