Ruang Ekspresi Budaya Masyarakat
Sungai berperan besar dalam peradaban masyarakat di Kalimantan Barat. Sungai dianggap memiliki kekuatan yang menjaga kehidupan. Oleh sebab itu, berbagai ekspresi budaya menghargai sungai pun muncul.
Beberapa keluarga di Kampung Merimpit, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, melaksanakan upacara memandikan anak ke sungai atau adat Ngemai Mani dalam bahasa Dayak Desa, Selasa (25/6/2019). Anak-anak yang dimandikan ke sungai berusia 3-9 bulan. Ada empat anak yang akan dimandikan pagi itu.
Gong ditabuh mengiringi perarakan dari rumah menuju Sungai Seliau. Perarakan diikuti orangtua dan anaknya, temenggung adat, dan warga. Dalam perarakan ke sungai, anak-anak tidak digendong ibunya, tetapi perempuan lain yang dianggap bertuah. Perempuan itu haruslah yang tidak pernah bercerai dan suaminya belum meninggal. Mereka dianggap memiliki latar belakang kehidupan yang baik. Anak-anak itu diharapkan akan bertuah seperti orang yang menggendongnya.
”Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Ini kami memanggil Segugik sang pemilik air. Kami permisi untuk memandikan anak-anak kami ke sungai. Kami mohon kepadamu Segugik sang pemilik air yang menjadikan sungai banyak cabangnya, panjang air panjang nyawa, dingin air dingin pula sial celaka mereka. Ketika ayam sudah memiliki kepala dan kaki, kehidupan mereka akan menuju kesenangan dan sejahtera. Inilah permohonan kami,” doa Thomas Rayah (74), temenggung setempat di tepi sungai.
Hari itu pertama kalinya mereka menyentuh air sungai. Ada empat perempuan yang memandikan anak-anak itu. Perempuan yang memandikan tidak sama dengan yang menggendong saat perarakan. Perempuan itu juga dianggap orang bertuah. Setelah selesai dimandikan, ayah anak-anak itu membelah buah kelapa.
”Harapannya, anak-anak ini kelak nasibnya akan semanis air kelapa,” ujar Thomas. Seusai dimandikan, upacara dilanjutkan di rumah. Ibu dan anak duduk di atas gong, si anak diselimuti dengan kain tenun. Gong dianggap sebagai barang berharga dan prestise sehingga anak itu kelak diharapkan mendapat posisi bagus. Sambil duduk, ayah, ibu, dan anak diolesi darah binatang sembari dipanjatkan doa-doa.
Menghilangkan sial
Rangkaian acara itu sudah dilaksanakan sejak sehari sebelumnya. Acara diawali dengan tradisi begendang, yakni menumbuk beras sehari sebelum acara memandikan anak ke sungai. Orang yang menumbuk beras ini juga orang yang dianggap bertuah dan itu tidak harus dari keluarga si anak.
Begendang sehari sebelum memandikan anak dilakukan sore hari sebagai ungkapan untuk menjauhkan hal-hal jelek. Begendang yang kedua dilakukan pagi hari bersamaan dengan hari memandikan anak ke sungai. Matahari pagi dianggap awal yang baik sehingga harapannya kebaikan selalu menyelimuti anak. Tradisi ini untuk membersihkan anak-anak itu dari segala yang jahat.
”Setiap sungai selalu ada semacam roh yang membersihkan. Anak-anak ini harapannya panjang umur sepanjang sungai, dijauhkan dari penyakit dan sumpah serapah orang,” kata Thomas. Sungai itu panjang melintasi berbagai medan, bahkan menembus hingga ke laut. Harapannya, di mana pun anak itu berada, ia tetap dijaga dari berbagai bahaya.
Samat (60), temenggung di daerah Kampung Pakak, mengatakan, anak-anak itu pertama kalinya ke sungai. Mereka dipersiapkan agar siap bersentuhan dengan alam dan mampu beradaptasi. Adat memandikan anak di sungai juga ditemui di banyak subsuku Dayak lainnya di Kalbar. Namun, sebutan untuk tradisi memandikan anak ke sungai antara subsuku Dayak satu dengan lainnya berbeda-beda.
Memanggil roh
Sungai juga menjadi bagian penting dalam tradisi lainnya, yakni memanggil roh padi. Padi diyakini punya roh, tradisi itu dilakukan di Kampung Pakak, tiga atau lima tahun sekali. Roh padi diyakini berada di suatu tempat yang jauh sehingga perlu dipanggil agar selalu dekat dengan kampung. Saat dipanggil, roh itu melintasi sejumlah sungai, antara lain Sungai Kapuas, Melawi, Kayan, dan Geni.
”Sungai dinilai terhubung hingga ke berbagai wilayah sehingga bisa dilintasi oleh roh padi meskipun berada di tempat yang jauh. Roh padi dipanggil agar menetap di kampung; agar hasil panen tetap bagus,” kata Samat.
Tidak hanya itu, sungai juga difungsikan dalam tradisi memutus suatu perkara. Apabila ada dua orang bertikai dan tidak selesai melalui serangkaian musyawarah, jalan terakhir adalah menggunakan tradisi yang disebut adat beselam yag dilakukan di sungai.
Tetua adat di kampung akan menabur beras kuning ke sungai dengan segala mantra. Tujuannya meminta bantuan penghuni sungai untuk membantu dalam proses penyelesaian suatu perkara.
Dalam ritual beselam, kedua orang yang sedang bertikai diminta menyelam ke sungai. Siapa dari mereka yang lebih dahulu keluar dari dalam air artinya dialah yang bersalah. Pihak yang mampu bertahan lama di dalam air dinyatakan sebagai pihak yang benar.
Selain masyarakat Dayak, sungai juga sangat dihargai oleh masyarakat Melayu. Sekretaris Majelis Adat Budaya Melayu Sintang Kurniawan mengatakan, sungai merupakan cikal bakal peradaban masyarakat. Bahkan, di Sintang setiap tahun dilaksanakan tradisi umpan benua di Sungai Kapuas.
Serangkaian tradisi itu adalah sisa-sisa budaya penghargaan terhadap sungai. Dulu, sungai sangat dihargai karena penting, baik sebagai penyedia kebutuhan maupun transportasi. Kini, tidak banyak lagi yang memegang tradisi penghargaan terhadap sungai seiring. Bahkan, sungai cenderung dieksploitasi dengan aktivitas yang mengotorinya.