Apresiasi, Belajar, dan Bangga dari Panggung Festival Lima Gunung
Oleh
Regina Rukmorini
·4 menit baca
Dengan kesederhanaannya, Festival Lima Gunung di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, selalu menampilkan panggung ”gemerlap” bagi kesenian rakyat. Ajang tahunan ini menarik minat ratusan seniman dari berbagai daerah. Ajang ini sekaligus pembuktian bahwa eksistensi kesenian rakyat bukan hanya berakhir di acara domestik, seperti ruwatan, khitanan, atau pernikahan.
Festival Lima Gunung (FLG) adalah festival kesenian yang diselenggarakan secara mandiri, swadaya dari kelompok seniman di Kabupaten Magelang, yakni Komunitas Lima Gunung (KLG). FLG tidak memberikan honor bagi penampil. Namun, jauh di atas nilai uang, eksistensi adalah segalanya.
Demi pembuktian itu, Machrus Ali, pegiat seni di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, selama tiga tahun terakhir, terus-menerus berupaya agar ia dan teman-teman seniman dari Kabupaten Lumajang bisa tampil di FLG. Hal itu tentu tidak mudah dilakukan. Selain mereka harus merancang bentuk kesenian yang istimewa, juga harus memikirkan berbagai kebutuhan akomodasi.
Machrus mengajak rekannya sesama seniman dari empat kecamatan di Kabupaten Lumajang mempersiapkan diri untuk pentas di FLG. Meniru kemandirian para seniman KLG, mereka pun enggan untuk ”diintervensi” pihak lain dalam urusan biaya akomodasi. Para seniman yang sepakat untuk pentas di FLG adalah 16 seniman dari tujuh kelompok.
Setelah mendengar FLG akan digelar pada Juli, Machrus dan teman-temannya langsung bergerak menggalang dana untuk kebutuhan pentas. Rencana ini terdengar oleh banyak seniman lainnya dan banyak kelompok kesenian akhirnya turut bergabung tampil.
Kegiatan penggalangan dana diwujudkan dalam bentuk dua kali melakukan ”ngamen budaya” dan dua kali presentasi karya. Dalam acara ngamen budaya mereka menampilkan beragam kesenian khas Jawa Timur, yang sekaligus menjadi ciri khas kelompok keseniannya masing-masing.
Setelah itu, mereka pun bersama-sama merancang ragam kesenian baru, perpaduan dari kesenian daerah pesisir pantai dan gunung di Jawa Timur. Kesenian yang diberi nama barong gunung ini kemudian ditampilkan dalam dua kali presentasi budaya di Lumajang.
Kerja keras itu membuahkan hasil uang sebanyak Rp 6,750 juta. Mendekati hari H pentas, mereka juga mendapatkan pinjaman mobil dari Pemerintah Kabupaten Lumajang untuk berangkat ke lokasi FLG.
Sekalipun harus susah payah berjuang mengumpulkan dana, Machrus mengatakan, mereka tidak akan pernah jera terlibat dalam FLG. Sebaliknya, mereka merasa sangat senang karena dalam ajang itulah kesenian tradisional mendapatkan ”panggung kehormatan”.
Di panggung itulah Machrus mengatakan mereka merasa benar-benar diapresiasi. Hal semacam ini sebelumnya tak pernah mereka dapatkan di tempat tinggalnya. Kebanyakan seniman tradisional di Kabupaten Lumajang hanya tampil saat ada acara khitanan pernikahan.
”Saat pentas memenuhi pesanan saja, para seniman sering kali tidak mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya. Di acara pernikahan, misalnya, kesenian tradisional cuma dilihat sepintas,” ujarnya. Tidak hanya terkait soal perhatian, para seniman juga mendapatkan ”apresiasi pembayaran” yang jauh dari harapan. Seorang pemain musik, misalnya, bisa diminta untuk memainkan alat musik dengan berkeliling kampung.
Kondisi itu memprihatinkan, kata Machrus, karena nyawa seniman memang ada di kesenian. Karena itu, sudah sepantasnya mereka sesekali mendapatkan penghargaan di panggung, seperti di panggung FLG. Nur Anani Maman Irman (42), pimpinan Sanggar Purwa Kencana di Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mengatakan, panggung FLG selalu ditunggu karena memberikan tempat yang tepat untuk kesenian rakyat.
Untuk ketiga kalinya, Minggu (7/7/2019), Nur Anani mengajak murid sanggar menari Topeng Losari tampil. Biaya transportasi dan berbagai akomodasi ia tutup dari dana pribadi. Dana itu dikumpulkan Nur sejak enam bulan sebelum FLG. Selain untuk merasakan perasaan istimewa di panggung kehormatan, semua festival kerakyatan wajib diikuti. Sebab, hal itu akan menjadi bagian dari sarana pembelajaran bagi murid-muridnya.
”Menerjuni dunia kesenian tradisional, anak-anak (murid Sanggar Purwa Kencana) pun harus tetap belajar dari seniman lain. Mereka harus terus-menerus belajar agar tidak melulu berpikir untuk menjadi jago kandang,” ujarnya. Riyadi, salah seorang seniman dari KLG, mengatakan, antusiasme seniman dari berbagai daerah dalam FLG membuatnya dan para seniman KLG terharu. Sebab, dalam ajang FLG, KLG merasa tidak memberikan imbalan, hadiah, ataupun sesuatu yang berharga sebagai balasannya.
”Dalam ajang FLG, kami tidak pernah menjanjikan apa-apa kecuali kegembiraan saat berkumpul dan pentas bersama,” ujarnya. FLG XVIII tahun 2019 diikuti ratusan seniman dari 77 kelompok kesenian dari berbagai kota di Nusantara. Bahkan, sebagian di antaranya seniman dari Jepang, Korea, dan Austria. Bagi para peserta, Riyadi mengatakan, pihaknya memberikan pelayanan yang sama. Para peserta diberi fasilitas menginap di rumah warga di sekitar pentas, serta dicukupi kebutuhan makan-minumnya.
Sementara, keperluan biaya transportasi, kostum, dan aksesori menjadi tanggung jawab kelompok kesenian itu sendiri. ”Kami hanya menyambut dengan kelengkapan fasilitas tempat tidur, minuman, makanan, serta senyuman,” ujar Riyadi sembari tertawa. Tidak perlu berlebihan karena tidak semua orang butuh sesuatu yang gemerlapan. Para seniman cukup dimanjakan dengan kesederhanaan, tetapi sarat kebanggaan.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.