Bank Daerah dan Tekfin “Peer-to-Peer Lending” Berkolaborasi
Beberapa bank daerah menjalin kerja sama dengan perusahaan teknologi finansial peminjaman antarpihak atau peer-to-peer lending demi meningkatkan penyaluran kredit produktif.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Beberapa bank daerah menjalin kerja sama dengan perusahaan teknologi finansial peminjaman antarpihak atau peer-to-peer lending demi meningkatkan penyaluran kredit produktif. Kolaborasi dipercaya dapat membantu bank daerah menjangkau segmen masyarakat yang selama ini belum tersentuh layanannya, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah.
Hal ini ditunjukkan dengan penandatangan nota kesepahaman (MoU) yang diprakarsai Asosiasi Bank Daerah (Asbanda) dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Jumat (2/8/2019), di Manado, Sulawesi Utara. Bank Sulutgo, yang melayani nasabah di Sulut dan Gorontalo, bekerja sama dengan lima perusahaan teknologi finansial (tekfin) peminjaman, yakni Akseleran, Investree, Adakami, Pintek, dan Fintag.
MoU juga dibuat Bank Sulselbar (Sulawesi Selatan dan Barat) dengan Gandengtangan, Bank BJB (Banten Jawa Barat) dengan Crowdee, dan Bank NTT (Nusa Tenggara Timur) dengan Fintag. Adapun Bank DKI menggandeng Pintek, sementara Bank Jateng bekerja sama dengan Amartha. Kerja sama ini diwujudkan dengan penyaluran kredit dana bank kepada nasabah melalui platform teknologi finansial.
Kepala Bidang Produk dan Layanan Asbanda Dedy Ihsan mengatakan, bank daerah harus mengikuti perkembangan model bisnis di revolusi industri 4.0, yaitu kolaborasi dan ekonomi berbagi. Melalui kerja sama ini, Dedy berharap 27 bank daerah di 34 provinsi dan perusahaan tekfin peminjaman bisa tumbuh bersama.
“Bank daerah punya big data (mahadata) yang dikumpulkan dari 20 juta nasabah. Kami juga mengelola kas daerah dengan sistem manajemen yang efisien. Ini bisa dieksploitasi bersama (perusahaan tekfin peminjaman) demi membangun ekonomi di daerahnya masing-masing,” kata Dedy yang juga direktur utama Bank Nagari di Sumatera Barat.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sepanjang 2018, 27 bank daerah mencatat laba bersih sebesar 13.04 triliun, tumbuh 5,38 persen dari 12,42 triliun pada 2017. Dedy mengatakan, performa bank daerah meningkat, kini di kisaran 6-7 persen. Per Juni 2019, aset ke-27 bank tersebut mencapai Rp 652 triliun.
Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi mengatakan, platform tekfin peminjaman antarpihak semakin diminati masyarakat. Per Mei 2019, pinjaman sebesar Rp 41,03 triliun disalurkan ke para peminjam secara nasional. Jumlah ini tumbuh 81,06 persen dibanding Mei 2018. Jumlah rekening pemberi pinjaman meningkat 131,44 persen menjari 480.262, sementara rekening peminjam tumbuh 100,72 persen menjadi 3,75 juta.
Sebanyak Rp 332,49 miliar atau 0,81 persen dari total pinjaman nasional disalurkan ke Sulut. Menurut Adrian, jumlahnya seimbang antara kredit produktif maupun konsumtif. Sebanyak 2.241 rekening pemberi pinjaman di Sulut menyuntikkan dana ke 124.612 rekening peminjam.
Karena itu, bank daerah dan platform tekfin peminjaman perlu memaksimalkan keunggulannya masing-masing dalam kerja sama. “Bank daerah punya keunggulan dalam keunggulan lokal, sementara fintech lending unggul dalam teknologi dan informasi. Keduanya harus memanfaatkannya untuk mendorong akses keuangan dan pembiayaan di daerah,” kata Adrian.
Di Sulut, platform tekfin banyak menyalurkan dana untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor perdagangan. Menurut Adrian, sektor ini sering tak terjangkau oleh bank karena ketiadaan persyaratan untuk penilaian kredit. UMKM di bidang ekonomi kreatif, seperti penyelenggara acara dan kontraktor juga masih kesulitan mendapatkan modal kerja dari bank.
Disrupsi
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, bank daerah tak lagi bisa menganggap perusahaan tekfin peminjaman antarpihak sebagai kompetitornya. Justru, bank daerah harus mencari cara agar bisa melayani nasabahnya lewat ponsel pintar.
Ini terbukti dari penurunan jumlah cabang bank. Pada 2015, tercatat ada 32.963 bank di Indonesia. Setiap tahun jumlahnya menurun sedikit demi sedikit, hingga menjadi 31.618 pada Mei 2019. Penurunan terbesar terjadi antara 2016 ke 2017, yaitu dari 32.730 menjadi 32.265.
“Kita tidak bisa lagi mengatakan bank memiliki niche market atau nasabah yang loyal. Sekarang, nasabah hanya loyal pada smartphone (ponsel pintar). Kalau bank daerah tidak bisa melayani nasabah melalui smartphone, pasti akan kolaps dikalahkan tekfin yang bisa memberikan keputusan memberi pinjaman Rp 2 miliar dalam 7 menit dengan AI (artificial intelligence/kecerdasan buatan),” katanya.
Upaya bank menghimpun dana pihak ketiga (DPK) juga terdisrupsi. Pada 2017 DPK semua bank di Indonesia mencapai 5.289,4 triliun, tumbuh 9,35 persen dari tahun sebelumnya. Pada 2018, pertumbuhan melambat ke 6,45 persen dengan total DPK Rp 5.630,4 triliun. Hingga Juni 2019, DPK tumbuh 7,92 persen menjadi 5.799,5 triliun.
Heru mengatakan, ini disebabkan ketertarikan masyarakat berinvestasi di platform tekfin peminjaman antarpihak yang mencapai Rp 41,03 triliun per Mei 2019. Di sisi lain, pemerintah juga sedang menggencarkan penerbitan surat berharga negara (SBN) yang realisasi netonya mencapai Rp 161,1 triliun per Maret 2019.
Karena itu, bank daerah harus menciptakan teknologi dan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikan dan mengembangkannya. Pengembangan ini bisa dilakukan dalam pembuatan aplikasi ponsel pintar serta penciptaan sistem penilaian kelayakan kredit dengan kecerdasan buatan atau pembelajaran mesin (machine learning).