Jakarta Cycling Tour Menyusuri Jejak Sejarah Ibu Kota
Jakarta Cycling Tour tak sekadar kampanye mengurangi kemacetan dan polusi udara di Jakarta. Mereka juga tidak hanya mendesak Pemerintah Provinsi DKI untuk memperhatikan pejalan kaki dan pesepeda. Lebih dari itu, mereka ingin memberi warna pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-74.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
Jakarta Cycling Tour tak sekadar kampanye mengurangi kemacetan dan polusi udara di Jakarta. Mereka juga tidak hanya mendesak Pemerintah Provinsi DKI untuk memperhatikan pejalan kaki dan pesepeda. Lebih dari itu, mereka ingin memberi warna pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-74.
Adwika Bhasitu Yos Tarama (22) mengayuh laju sepedanya dari Kota Depok sekitar pukul 05.30 menuju terowongan Kendal, Stasiun MRT Dukuh Atas, untuk mengikuti Jakarta Cycling Tour. Ia hampir saja tertinggal rombongan lain karena baru tiba di lokasi lebih dari pukul 07.00.
Tak ada waktu lama bagi pria yang akrab disapa Abas itu untuk beristirahat sejenak karena jelajah Jakarta harus segera jalan. ”Lumayan capek dari Depok, tapi tidak masalah, belum telat banget. Yang penting, bisa ikut serta mengampanyekan bersepeda agar ini menjadi kegiatan atau gaya hidup sehat sehingga macet lewat polusi udara minggat,” tutur Abas sembari menunjukkan bajunya yang sudah basah oleh keringat, Sabtu (3/8/2019).
Jakarta Cycling Tour tidak sekadar berkampanye. Bagi peserta, acara ini sebagai upaya untuk menumbuhkan rasa nasionalisme. Karena itu, peserta diajak menyusuri rumah Bung Hatta, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Gedung Joeang 45, dan Tugu Proklamasi.
Pengalaman ini tentu memberi warna dan makna bagi peserta karena hampir sebagian dari mereka tidak pernah mengunjungi museum-museum tersebut. Hal ini seperti terlihat saat jelajah Jakarta yang dimulai dari terowongan Kendal, Stasiun MRT Dukuh Atas, menuju rumah Bung Hatta.
Sesampainya di depan gerbang rumah Bung Hatta, Pracandha Adwitiyo dan Lelly Faizah dari Guide Jakarta Good menceritakan sejarah kawasan Menteng, termasuk rumah Bung Hatta. Di tengah cerita, tiba-tiba gerbang rumah Bung Hatta terbuka. Salah satu penjaga rumah menggerakkan pintu itu. Ia pun mempersilakan peserta dan panitia Jakarta Cycling Tour masuk ke halaman.
”Tunggu ya, nanti ada Ibu mau ketemu,” kata sang penjaga itu.
Tidak berselang lama, Halida Nuriah Hatta, anak bungsu dari tiga putri wakil presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta, keluar dari pintu samping. Penuh keramahan, ia menyapa peserta dan panitia yang tidak menduga berjumpa dan disambut langsung oleh putri sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia itu.
”Selamat datang di rumah kami, rumah Bung Hatta,” sapa Halida.
”Rumah ini merupakan real estat pertama di Jakarta yang ditinggal orang Belanda dulu. Lalu, Bung Hatta membeli secara dicicil saat masih bujangan dengan uang hasil menulis buku dan utang ke keluarga juga. Namun, saat itu tidak bisa langsung ditempati karena kondisi Jakarta masih belum aman. Setelah Bung Hatta menyatakan mundur dari jabatan wakil presiden dan mau menjadi warga negara secara konstruktif, tahun 1957 mulai tinggal di sini,” tutur Halida.
Rumah ini merupakan real estat pertama di Jakarta yang ditinggal orang Belanda dulu. Lalu, Bung Hatta membeli secara dicicil saat masih bujangan dengan uang hasil menulis buku dan utang ke keluarga juga.
Ia melanjutkan, saat itu, kondisi ekonomi keluarga dan Indonesia dalam kondisi yang tidak baik. Bung Hatta lalu mengirim surat kepada Gubernur Ali Sadikin, meminta agar biaya listrik, air, dan lainnya dibayar sekaligus.
Ali Sadikin, kata Halida, merasa bahwa Bung Hatta tidak sepantasnya mendapatkan kondisi seperti itu. Lalu, Ali Sadikin bersama DPRD menetapkan Bung Hatta sebagai warga utama Jakarta sehingga bebas dari pembayaran biaya listrik dan air.
Setelah bercerita singkat tentang rumah tersebut, Halida menawarkan sajian makan khas Jakarta, yaitu ketan susu yang berisi tempe goreng, sembari mempersilakan peserta dan panitia beristirahat sejenak.
”Saya senang anak-anak muda menyalurkan hobi dan waktu luang. Sangat sehat berolahraga, berinteraksi satu sama lain, bertukar pikiran sehingga ada keluasan berpikir,” ujar Halida.
”Selain itu, ada minat sejarah dengan naik sepeda datang ke tempat Jakarta yang banyak cerita yang perlu diketahui lagi. Jakarta syarat dengan sejarah politik Indonesia. Kalau kita kenal dengan sejarah kita, maka akan ada pegangan kuat untuk meneruskan perjuangan dan membangun bangsa. Saya senang dan semua pada tahu,” lanjutnya.
Pertemuan singkat ini begitu berkesan, seperti yang disampaikan Abas saat Jakarta Cycling Tour berakhir. Tak pernah terbayang sebelumnya dia bisa berkunjung dan bertemu dengan anak Bung Hatta. Ia mengaku, banyak pembelajaran yang didapat terutama seputar sejarah Indonesia.
”Sebagai kaum muda, ini sangat penting. Perjuangan sekarang tak seperti dulu, melawan penjajah. Namun, dari sini kita perlu berbuat sesuatu agar bangsa kita tetap besar. Salah satunya, dengan berkontribusi secara nyata untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang ramah, kota yang nyaman untuk semuanya. Caranya, dengan menjaga lingkungan, menjaga Jakarta tetap bersih dari polusi,” tutur Abas.
Begitu pula dengan pesan Halida. Anak muda tidak hanya perlu mengingat sejarah bangsa, tetapi perlu juga berkontribusi dalam menjaga lingkungan. Anak muda adalah penggerak, anak muda bisa menjadi simbol kemajuan bangsa.