Akses jalan ke situs penemuan manusia purba ”Homo floresiensis” atau kerap disebut ”hobbit” di Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, rusak berat.
Oleh
ARIS PRASETYO/LUKI AULIA/FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
RUTENG, KOMPAS — Akses jalan ke situs penemuan manusia purba Homo floresiensis atau kerap disebut hobbit di Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, rusak berat. Kondisi tersebut sangat mengganggu kelancaran perjalanan ke salah satu destinasi wisata yang hingga kini masih terus diteliti para ilmuwan terkemuka itu.
Menurut pantauan Kompas pada Sabtu (3/8/2019), kerusakan terbentang sekitar 7 kilometer atau setengah jalan yang menghubungkan Liang Bua dan Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Tidak hanya itu, dengan lebar jalan hanya 3 meter, saat berpapasan kendaraan harus keluar dari jalur. Kondisi itu mengakibatkan perjalanan sepanjang 14 kilometer itu memakan waktu lebih dari 40 menit.
Andik Jeharut (26), pengemudi kendaraan umum yang kerap mengantar wisatawan ke lokasi tersebut, mengatakan, kondisi jalan rusak itu sudah berlangsung selama lebih dari tiga tahun. Status jalan tersebut di bawah tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Manggarai.
”Pejabat lokal sering mendampingi tamu dari kementerian ataupun peneliti. Artinya, mereka sudah tahu kondisi jalan,” ujarnya.
Pejabat lokal sering mendampingi tamu dari kementerian ataupun peneliti. Artinya, mereka sudah tahu kondisi jalan.
Andik yang juga warga Manggarai mempertanyakan kurangnya kepedulian pemerintah untuk memperbaiki jalan tersebut. Seiring dengan tingginya lalu lintas kendaraan, kerusakan jalan tersebut diperkirakan semakin parah jika tidak secepatnya diperbaiki. Bahkan, kerusakan itu berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
Benyamin Ampor, petugas dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Manggarai yang menjaga Liang Bua, mengatakan, kondisi jalan yang buruk selalu dikeluhkan wisatawan yang datang ke tempat tersebut. Rata-rata pengunjung yang datang sekitar 15 orang setiap hari. Ia kerap melaporkan keluhan pengunjung itu kepada atasannya.
”Kalau musim liburan seperti saat ini, banyak turis asing. Kalau pakai mobil lebih lama, mereka biasanya pakai ojek atau menyewa motor,” ucapnya. Tarif masuk Liang Bua untuk turis asing Rp 20.000 per orang, sedangkan wisatawan lokal Rp 5.000 per orang.
Selain jalan rusak, goa prasejarah Liang Bua yang kerap disorot komunitas internasional karena temuan fosil manusia kerdil atau hobbit itu belum tersentuh jaringan listrik. Untuk membantu proses penggalian arkeologi, tim arkeolog harus menggunakan mesin generator berbahan bakar solar.
Ketiadaan listrik itu juga yang membuat tim arkeolog harus menghentikan kegiatannya sebelum gelap atau pukul 16.00 waktu setempat. ”Batas terakhir jaringan listrik di wilayah ini di bangunan SD yang tadi dilewati. Itu jaraknya kira-kira 500 meter dari goa. Setelah itu gelap,” kata anggota tim arkeolog.
Sejak akhir Oktober 2004, nama Liang Bua di Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, NTT, mendunia. Di sana ditemukan kerangka atau fosil manusia kerdil atau hobbit di Goa Liang Bua yang diumumkan di Sydney, Australia, 28 Oktober 2004.
Temuan itu merupakan hasil kerja keras sebuah tim ahli gabungan dari Indonesia dan Australia. Tim ahli dari University of New England, Australia, pimpinan Mike More bergabung dengan tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pimpinan RP Soejono. Tim gabungan ini sekitar September 2003 melakukan serangkaian ekskavasi di Liang Bua.
Meski hingga sekarang masih dalam polemik panjang karena hasil penelitian diumumkan secara sepihak oleh peneliti Australia, para ahli mencatat temuan tersebut sebagai pembuka tabir evolusi manusia Indonesia, khususnya manusia flores.