Lek Sudar
Di desa kami tak ada laut. Laut hanyalah imajinasi para pemimpi, atau orang-orang desa yang pernah mengunjunginya--dan itu mustahil. Di kampung kami hanya ada Brantas, sungai besar setara Bengawan Solo yang sempat diabadikan Gesang dalam lagunya. Brantas tidak.
Di desa kami tak ada laut. Laut hanyalah imajinasi para pemimpi, atau orang-orang desa yang pernah mengunjunginya--dan itu mustahil. Di kampung kami hanya ada Brantas, sungai besar setara Bengawan Solo yang sempat diabadikan Gesang dalam lagunya. Brantas tidak.
Di sana, muara segala kenangan dan penyesalan berbaur dan berjumpa kelak di laut. Barangkali di samudra Hindia. Pun segala penghinaan dan ketakutan yang maha. Ada mitos bahwa di selatan kali ini bersemayam kepala Kebo Kicak dan di ujung utaranya terkubur jasadnya. Bagian tubuh itu sengaja dipendam di tempat yang berseberangan sebab pembunuhnya meyakini bahwa jika tidak, maka Kebo Kicak akan hidup kembali. Ia memiliki semacam ajian pancasona.
Pembunuhnya, Surontanu, merupakan kawan karibnya. Belajar bersama, nyantri bersama, bahkan tidur bersama di pesantren yang dibina Kiai Sumoyono. Mereka telah dipersatukan dalam persaudaraan yang tak tercatat di catatan sipil mana pun. Namun keangkuhan dan kuasa seringkali membutakan mata dan batin manusia. Hanya demi sebuah pusaka perkariban keduanya mesti ditumpahkan dengan darah. Dan menjadi legenda adalah cara terbaik mengenang segala yang buta dan lara. Mereka kini mitos. Serupa legenda kampung kami. Begitu kenangan, penyesalan, dendam, dan ketakutan yang diwariskan kelak.
Sesiapa pun meyakini bahwa kali Brantas menyimpan semua yang kumaksud tersebut. Juga Lek Sudar yang percaya bahwa setiap malam ia senantiasa didatangi Kebo Kicak, tidak hanya dalam mimpi, bahwa terang-terangan berkunjung menyambanginya. Entahlah. Semua begitu gaib. Apakah itu jelmaan iblis, atau hantu, atau semacamnya, namun Lek Sudar meyakini bahwa yang hadir itu benar-benar leluhurnya yang sambang, leluhur desa kami.
Bilamana kau sangsi akan cerita ini, baiklah, tak akan kuteruskan. Namun yang akan kuceritakan bukan itu. Akan kuceritakan tentang Lek Sudar dan bagaimana ia bisa menjadi lelaki tangguh di desa kami laksana megatruh yang sanggup menjungkalkan proyek jalan tol yang dibangun di atas tanah warga desa kami, leluhur kami, di tanah kelahiran Kebo Kicak.
***
Kami mengenal Lek Sudar sebagai lelaki biasa. Sebagaimana lelaki-lelaki lain di desa kami yang sehari-hari hidup dari sawah dan ladang. Ya, desa kami begitu subur. Bahkan padi pun sanggup kami panen lima sampai enam kali setahun. Lima sampai enam kali setahun! Bayangkan! Bukankah itu berarti kami senantiasa mempunyai persediaan beras yang lebih dari cukup, bahkan untuk memasok kampung lain, kecamatan lain, kabupaten lain, provinsi lain, hingga seantero negeri pun kami bisa memenuhi. Dewi Sri begitu akrab dengan tanah kami, mencintai sawah dan ladang kami seumpama dulu ia mencintai kekasihnya yang juga leluhur kami. Meski cintanya harus mengalami kenyataan pahit bahwa mereka tak bisa bersatu lantaran suatu sebab dan kisah yang panjang (maka tak perlulah kuceritakan pula perihal tersebut). Namun, demi cinta, apa pun akan dilakukan untuk orang yang dicintainya, sampai Sang Pemilik Cinta menyatukan keduanya kelak di Ruang-Waktu yang lain, yang lebih asali.
Tapi tak begitu dengan Lek Sudar. Sedari muda ia tak mengenal cinta. Cinta hanyalah benda asing yang tak sekali pun terlintas dalam marwahnya. Ia hanya mengenal kenangan dan penyesalan dan dendam dan ketakutan yang meruap dalam sanubari. Sebuah tragedi berpuluh tahun lalu yang menyebabkan makar dan kudeta di ibukota. Peristiwa mahapahit yang membuatnya menjadi aib. Sementara rumahnya hanya pondok tak lebih dari lima kali enam meter dan dikelilingi pohon ketela dan pisang. Ia hidup dari dua tanaman itu. Kadang sesekali ia diajak pemilik sawah membantu panen jika sedang musim dan turut menjaga ternak tetangganya yang dibiarkan lepas melahap rerumputan di tepi Brantas. Ia lelaki sebatang kara nan papa. Tak berkeluarga. Mungkin ia lahir dari batu dan tetiba menjelma manusia berkelamin lelaki. Itu saja yang diketahui warga desa.
Namun, kau jangan coba-coba menguji keberaniannya. Seperti yang kubilang, bahkan jalan tol yang hampir jadi pun sanggup ia jungkir hanya dengan mengerjapkan mata. Sebagaimana kisah lelaki saleh yang menawari Nabi Sulaiman memindahkan singgasana Ratu Bilqis di negeri Saba, Lek Sudar kurang lebih sama dengan lelaki legenda itu.
Tiada yang tahu dari mana mula kesaktian Lek Sudar itu. Ada yang bilang lantaran lahirnya dari batu, ia mendapatkannya dari petir yang menghantam batu itu hingga akhirnya ia mewujud manusia.
”Lek Sudar itu jin. Bukan bangsa kita.”
”Jika benar jin, mengapa kita bisa melihatnya, berjabat tangan dengannya. Bukankah jin makhluk halus dan tak kasatmata?”
”Maksudku ia setengah jin setengah manusia.”
”Tapi ia tak mirip seperti itu.”
”Barangkali ia siluman.”
”Kata-katamu ngawur bin nglindur.”
”Cepat habiskan kopimu.”
”Besok kubayar, Mak. Kasbon dulu.”
”Laki-laki sama saja.”
”Tak ada laki-laki yang sama, Mak.”
Begitulah pembicaraan tentang Lek Sudar. Ada pertanyaan yang berhenti di setiap pembicaraan. Di setiap benak kaum lelaki. Di tiap warung kopi.
***
Hingga sampailah peristiwa yang mengagetkan seluruh isi kampung. Seakan lindu, dengan cepat kampung kami merasakan gempa kecil itu.
”Dari mana mula suara itu? Rumah siapa yang meledak?”
”Tak ada bom di sini. Bom hanya ada di kota atau di negeri-negeri Timur Tengah.”
”Tak mungkin ada teroris di desa ini. Desa ini jauh dari kota, jauh dari keramaian, jauh dari pusat pemerintahan. Lagi pula, tak ada satu iblis pun yang mau menginjakkan kaki di tanah Kebo Kicak ini.”
”Maksudmu ISIS? Seperti yang di tivi-tivi itu?”
”Mau iblis atau ISIS, mau bom atau mercon, lebih baik kita cari sumber muasal suara itu.”
”Lihat. Itu ada asap di arah menuju rumah Lek Sudar. Barangkali itu sumbernya.”
Warga desa berbondong-bondong menuju tempat yang dimaksud. Tak ada angin bersemilir malam itu. Namun asap cepat mengepul menuju langit. Bersama serombongan kelelawar yang hendak menggapai bintang. Malam tiba-tiba hangat. Sebab benar ada yang terbakar--atau sengaja dibakar.
Lek Sudar bukanlah lelaki yang banyak bicara. Ia tak pernah memperbincangkan kehidupannya, apalagi asal-usulnya. Ia lelaki pendiam seumpama menhir. Namun ia bernyawa, dapat bergerak ke mana pun ia suka.
Suatu kali, salah seorang warga kampung memergoki Lek Sudar malam-malam membuang beraneka rupa kembang dan dupa di Brantas. Melarungkannya bersama beragam sesajian hasil bumi: beras, ketela, jagung, kangkung yang diperoleh di kebun belakang rumahnya, dan binatang ternak. Entah apa yang ada di pikirannya. Yang pasti, berkat kelakuannya, desa kami tak pernah tertimpa banjir atau bencana alam lain, sebagaimana yang terjadi di desa-desa lain.
Lain hari, ada salah satu tetanggaku yang sakit, badannya meriang tak keruan. Ia muntah darah. Bahkan mungkin nyawanya sebentar lagi meregang. Lek Sudar menyembuhkannya hanya dengan mencipratkan air Brantas yang ia minta ambilkan oleh salah seorang sanak si sakit. Dengan merapal doa--atau semacam mantra tertentu, si sakit sembuh seperti sedia kala, bahkan lebih sehat walafiat dari sebelumnya. Semenjak itu Lek Sudar dijuluki dukun: dukun yang berasal dari batu.
Memang benar, dulu, di kampung sebelah, ada seorang bocah yang punya batu berkhasiat. Konon, batu itu didapatnya ketika petir menyambar hebat dan hujan lebat mengguyur semalaman. Bocah itu dijuluki dukun cilik. Namun itu hanya kebetulan semata. Kisah sebenarnya, malam itu Lek Sudar mendatangi rumah bocah itu, menghadiahinya sebutir batu kali yang dibawanya dari Kali Brantas, supaya disimpannya baik-baik agar keberuntungan datang dalam keluarga itu. Namun, ya namun, manusia memang suka membuka kotak pandora, rahasia yang mesti dijaga dengan baik malah dipergunakan dengan cara yang kelewat baik. Dengan batu itu keluarga si bocah mempergunakannya untuk membuka tempat pengobatan atau semacam penyembuhan. Rupiah demi rupiah diperolehnya dengan sedemikian deras, sederas hujan malam itu, kekayaan yang menumpuk, keluarga itu pun kaya mendadak dan menjadi primadona orang orang dari berbagai desa, berbagai kabupaten, seantero negeri.
***
Kebaikan, memang harus disembunyikan serupa siut. Kalau perlu tak ada yang tahu. Sebagaimana tangan kanan memberi sedang tangan kiri tak mengetahui. Kebaikan yang disimpan dalam benak masing-masing, dalam rahasia masing-masing.
Kebaikan Lek Sudar baru disadari ketika ia telah tiada. Tindakannya di malam-malam tertentu dengan melarung sesaji di Kali Brantas, mengobati orang sakit tanpa diminta tanpa upah, membantu keluarga bocah miskin dan terbelakang mental, adalah sebagian kecil kebaikan yang nampak. Banyak kebaikan yang dilakukannya yang tak nampak. Dan menjadi rahasia.
Ya. Tepat malam itu kejadiannya. Ketika langit cerah dan gemintang bertaburan layaknya dedaunan berguguran di musim kemarau. Suara angin begitu lirih, teramat lirih, sehingga setitik suara malam akan terdengar oleh telinga manusia.
Tatkala Lek Sudar hendak bermunajat kepada Sang Pemilik Kebaikan, beberapa sosok menyelinap di kegelapan malam. Mendengus-dengus di rerimbun ladang ketela dan kemeresak klaras pohon pisang. Angin yang berhenti seolah isyarat yang dikirimkan langit untuk menjemput lelaki bujang tua itu dengan siut, tanpa sesuara pun. Pondok gedek itu dibakar tanpa ampun, tanpa belas kasih dari mata-mata nanar yang menyalakan apinya.
Bagai di pihak iblis, tangan-tangan pesuruh iblis itu dengan mudahnya membumihanguskan rumah sosok sebatang kara itu, terutama penghuni di dalamnya, yang dengan lancung menenggelamkan proyek jalan tol di kampungnya bagai menenggelamkan Titanic di negeri antah berantah. Jalan itu sebagai akses menuju kekayaan yang melimpah, yang lebih besar, yang mampu membusungkan perut pemilik modal hingga mampu membeli kampung itu kelak. Kekayaan yang tepat berada di bawah rumah Lek Sudar, yang dengan mengebomnya maka dengan mudah mengebor sumber minyak yang tertimbun di dasar telatah Kebo Kicak.
***
”Kami tak menemukan Lek Sudar di mana pun.”
”Kasihan lelaki itu.”
”Mungkin ia hangus.”
”Ia orang baik.”
”Mungkin ia selamat dan pergi entah kemana.”
”Ia takkan mungkin selamat dari kebakaran sebesar ini.”
”Benar. Rumahnya sudah hampir menjadi abu dan tak satu puing pun tersisa.”
”Tapi kulihat cahaya putih naik ke langit dengan perlahan. Cahayanya bersih dan kemilau.”
”Mungkinkah itu Lek Sudar?”
”Mungkin ia moksa.” [*]
M Firdaus Rahmatullah, menggemari sastra dan kopi. Lahir di Jombang. Alumnus PP Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, dan PBSI STKIP PGRI Jombang. Tahun 2015 mengikuti workshop cerpen Kompas di Bali Kini, tinggal di Situbondo.