Menanti Suara Perempuan di Parlemen
Jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif lewat Pemilu 2019 ditengarai meningkat dibanding Pemilu 2014. Selain memperjuangkan kepentingan perempuan dan anak, para perempuan di legislatif juga diharapkan membongkar tata kelola parpol yang maskulin, bias jender, dan tidak demokratis.
Pemilihan Umum 2019 menghasilkan kenaikan jumlah perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dibandingkan dengan hasil Pemilu 2014. Kenaikan ini menumbuhkan harapan kepentingan perempuan dapat semakin terwakili.
Meski Komisi Pemilihan Umum belum resmi menetapkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih hasil Pemilu 2019, hitungan sementara memperlihatkan jumlah perempuan anggota DPR RI hasil Pemilu 2019 naik menjadi 20,5 persen atau 118 orang dari total 575 anggota DPR. Sementara jumlah anggota DPD naik menjadi 31 persen atau 42 orang dari 136 anggota dibandingkan dengan 25 persen pada periode 2014-2019.
Jumlah itu tertinggi selama ini. Bahkan, untuk anggota DPD, jumlahnya memenuhi standar minimum 30 persen yang disarankan Perserikatan Bangsa-Bangsa agar keputusan yang diambil oleh perempuan secara kolektif dapat memengaruhi keputusan lembaga.
Bila disisir lebih jauh, jumlah perempuan petahana di DPR ada 46 persen dan sisanya anggota baru. Di DPD, perbandingannya 36 persen dan 64 persen. Informasi itu semakin menarik bila membaca rincian data yang disampaikan pengajar di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Eko Wardani, dalam pertemuan perkumpulan Maju Perempuan Indonesia (MPI) di kediaman GKR Hemas, wakil DPD dari DI Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Salah satu isu pencalonan anggota DPR serta keterpilihannya adalah kekerabatan calon dengan elite politik lokal. Jumlah caleg terpilih yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite cukup besar, yaitu 43 persen, sebagian besar pendatang baru (35 orang dari 51 orang). Sementara caleg terpilih kelompok pendatang baru yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan elite jumlahnya hampir sama antara petahana (33 orang) dan pendatang baru (31 orang).
Perempuan caleg yang terpilih umumnya ada di nomor urut satu (53 persen) dan terjadi peningkatan jumlah caleg terpilih yang punya hubungan kekerabatan dengan elite politik, dari 35 persen pada 2014 menjadi 43 persen pada 2019.
Dilema
Naiknya jumlah caleg yang terpilih karena hubungan kekerabatan dengan elite politik tidak khas terjadi pada caleg perempuan, tetapi juga caleg laki-laki. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengharuskan parpol mengantongi 4 persen suara sah nasional untuk lolos ke DPR. Hal ini, menurut Eko Wardani, mendorong pragmatisme parpol dengan mencari calon yang punya hubungan kekerabatan dengan elite politik.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menyebut, langkah parpol memilih figur lokal yang populer dan kuat sebagai caleg menggeser kader parpol dalam daftar caleg baik dari nomor urut maupun dapil. Saat kampanye, kader parpol juga kalah oleh kekuatan caleg dari lokal yang memiliki jejaring struktural dan sosial kuat.
Situasi ini tidak menguntungkan bagi para anggota legislatif yang kembali mencalonkan diri serta kader organik parpol. Lebih separuh (52,9 persen) caleg perempuan yang terpilih berlatar belakang istri atau anak kepala daerah atau politisi. Sementara yang berasal dari pengurus parpol hanya 5,8 persen dan anggota DPR yang kembali mencalonkan diri ada 25 persen.
Di lapangan, bersaing dengan keluarga pejabat daerah sangat berat. Baiq Diyah Ratu Ganefi, anggota DPD Nusa Tenggara Barat 2014-2019, menuturkan, dia dipaksa mengalah saat memilih lokasi memasang baliho karena digunakan untuk baliho calon yang berkerabat dengan pejabat lokal. Hal lain, aparat sipil negara juga cenderung sudah diarahkan memilih calon yang berkerabat dengan pejabat.
Pemilu serentak berdampak pada para perempuan caleg ketika tiba saat penghitung suara yang menjadi berkepanjangan. Lista Hurustiati, caleg DPR RI Partai Gerindra dari dapil Banten 1, mengaku kesulitan dari sisi sumber daya keuangan untuk membayar saksi di semua TPS dapilnya. Dia menyebut, syarat esensial perempuan maju menjadi caleg adalah kesiapan dana.
Catatan lain dari Pemilu 2019 adalah sejumlah caleg perempuan potensial tidak lolos ke DPR RI karena parpol yang mencalonkan tak lolos ambang batas 4 persen. Hal ini dialami, antara lain, oleh caleg Partai Solidaritas Indonesia.
Substantif
Menurut KPU, ada 3.194 perempuan caleg pada Pemilu 2019. Jumlah ini sudah memenuhi kuota 30 persen perempuan caleg seperti diatur UU Pemilu. Jumlah itu meningkat hampir 50 persen dari Pemilu 2014 yang sebanyak 2.467 orang. Dari 14 parpol nasional, ada lima parpol yang mencalonkan perempuan paling banyak, yaitu Partai Golkar, disusul Demokrat, Nasdem, Gerindra, dan PDI-P.
Namun, sejumlah kader parpol dalam pertemuan MPI mengaku kecewa dengan pilihan pragmatis pimpinan parpol memilih caleg dengan cara mengedepankan faktor kekerabatan dengan kepala daerah atau politisi di daerah. Pilihan pragmatis itu menyangkut terlaksananya demokrasi dan pemilu yang substantif, yaitu wakil rakyat terpilih mampu menyuarakan kepentingan strategis dan praktis para pemilih.
Banyaknya anggota legislatif baru mengingatkan tentang pentingnya peran model dari para perempuan anggota legislatif dalam menjalankan tugas membawa kepentingan perempuan dan anak. Di MPI yang beranggotakan anggota DPR, DPD, lembaga negara, dan organisasi nonpemerintah, isu sperempuan dan anak umumnya dibahas dan diperjuangkan bersama lintas parpol meski belum semua upaya memberikan hasil yang diharapkan.
Data dari Pemilu 2019 menunjukkan, kebijakan afirmasi belum mampu menembus jantung kekuasaan parpol. Menurut Eko Wardani, solidaritas di antara perempuan caleg juga melemah karena kuatnya persaingan antarkader akibat perekrutan instan parpol.
Ke depan, tantangan bagi afirmasi untuk meningkatkan jumlah perempuan di DPR dan DPD adalah membongkar tata kelola parpol yang maskulin dan bias jender serta tidak demokratis. Ini harus diupayakan dari dalam parpol dan dari luar oleh masyarakat sipil dan lembaga-lembaga negara.