Skema rumah bersubsidi menjadi perhatian belakangan ini. Anggaran rumah bersubsidi yang biasanya mencukupi hingga akhir tahun diproyeksikan habis pada akhir bulan ini.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
Skema rumah bersubsidi menjadi perhatian belakangan ini. Anggaran rumah bersubsidi yang biasanya mencukupi hingga akhir tahun diproyeksikan habis pada akhir bulan ini. Per Juli 2019, anggaran rumah bersubsidi berskema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan telah disalurkan untuk 48.463 unit dari total yang tersedia 68.000 unit.
Ketersediaan anggaran rumah bersubsidi yang menipis tersebut pertama-tama disuarakan oleh kalangan pengembang. Mereka khawatir, habisnya anggaran rumah bersubsidi membuat rumah bersubsidi yang sudah dibangun tidak dapat terjual.
Pemerintah bukannya tidak menyadari. Ketika penyusunan anggaran 2019, pemerintah telah mengusulkan subsidi berskema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) disediakan untuk 150.000 rumah. Namun, ketika palu diketok, anggaran hanya disediakan tidak lebih dari separuhnya.
Masalah kekurangan anggaran subsidi bukan yang pertama kali. Yang menjadi pertanyaan, kenapa yang bersuara kencang justru kalangan pengembang?
Bisa jadi hal ini terasa janggal. Sebab, jika melihat skema subsidi di sektor lain, semisal kelangkaan gas bersubsidi, yang akan berteriak kencang adalah konsumen alias masyarakat. Namun, ketika anggaran subsidi habis, mengapa yang bersuara justru produsennya, bukan masyarakat berpenghasilan rendah yang menjadi konsumen.
Bagi pengembang, terbatasnya anggaran rumah bersubsidi berdampak pada kelangsungan bisnis pengembang, terutama pengembang kecil yang memang kebanyakan masuk ke segmen rumah bersubsidi. Mereka membangun rumah bersubsidi dengan dana pinjaman bank.
Jika rumah tidak terjual, dikhawatirkan mereka juga tidak akan mampu mengembalikan dana pinjaman bank. Dengan demikian, alasan utama pengembang khawatir mengenai habisnya anggaran subsidi adalah keberlangsungan bisnis.
Di sisi pemerintah, dengan program sejuta rumah, pencapaian perumahan seakan-akan diukur hanya dari kuantitas. Ukuran keberhasilan tiap tahun diperlihatkan dari klaim jumlah rumah atau hunian yang dibangun, baik hunian bersubsidi maupun rumah komersial.
Memang pernah ada evaluasi mengenai kualitas rumah bersubsidi pada 2017. Survei dilakukan di banyak daerah. Dari evaluasi tersebut, memang ditemukan adanya bangunan atau rumah bersubsidi yang tidak memenuhi standar. Evaluasi tersebut kemudian diikuti dengan regulasi yang mengatur kualitas rumah bersubsidi menjadi layak huni.
Meskipun demikian, masalah rumah bersubsidi tidak hanya soal kualitas. Mestinya evaluasi juga dilakukan secara komprehensif untuk melihat efektivitas penyaluran subsidi yang sudah dijalankan. Sebab, salah satu masalah yang mengemuka, rumah bersubsidi dibangun semakin jauh dari pusat kota, tersebar di pinggiran, dan menambah ongkos transportasi masyarakat berpenghasilan rendah.
Apakah hal ini pernah dievaluasi lebih jauh? Sebab, jika hanya berorientasi pada proyek, jumlah atau kuantitas memang menjadi yang utama.
Mengukur keberhasilan program rumah bersubsidi hanya dari kuantitas tidak cukup. Subsidi negara harus dipertanggungjawabkan dengan memastikan targetnya tepat atau tidak.
Masalahnya, mengukur keberhasilan hanya dari kuantitas tidak cukup. Subsidi dari negara harus dipertanggungjawabkan dengan memastikan target yang disasar tepat atau tidak. Demikian pula mesti dipetakan, apakah memang semua orang diharuskan memiliki rumah atau sebenarnya kebutuhannya di kota cukup hunian sewa yang aman dan nyaman?
Jangan sampai triliunan subsidi yang dikucurkan hanya menguntungkan satu pihak, sementara masyarakat berpenghasilan rendah hanya ditempatkan sebagai komoditas. Jika yang penting hanya membangun rumah bersubsidi dan akad kredit, apakah kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah pasti meningkat?