Asa Bersemi pada Sebuah Kapal
Puluhan tahun, warga kepulauan di sekitar Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, hidup terbatas. Seiring mudahnya akses layanan keuangan, turisme ikut menggeliat dan harga bahan pokok tak meningkat pesat. Harapan untuk setara dengan daratan Jawa di ambang mata.
Puluhan tahun, warga kepulauan di sekitar Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, hidup terbatas. Seiring mudahnya akses layanan keuangan, turisme ikut menggeliat dan harga bahan pokok tak meningkat pesat. Harapan untuk setara dengan daratan Jawa di ambang mata.
Stok sembako yang dijual Mulfiyati (40), warga Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur selalu tersedia. Tak hanya itu, berbagai jenis bahan pangan dari luar pulau bisa dipesan setiap minggu. Cukup transfer uang lewat bank, stok yang kosong segera terisi.
“Ada layanan bank kapal dari pulau ke pulau. Sebelumnya mesti datang ke Labuan Bajo kalau mau transfer uang,” kata Mulfiyati yang membuka usaha suvenir khas Pulau Komodo, Kamis (25/7/2019).
Tiga tahun lalu, warga Pulau Komodo menempuh perjalanan laut sekitar 4 jam untuk mengakses layanan perbankan di Labuan Bajo. Ongkos kapal pulang-pergi Rp 60.000 per orang, belum termasuk biaya penginapan. Jadwal kapal Labuan Bajo-Komodo hanya sekali sehari.
Padahal, besaran uang transfer tak terlalu besar berkisar Rp 1 juta-Rp 3 juta per transaksi. Keperluan transfer uang biasanya untuk pembelian sembako, pembayaran hasil tani, penyaluran program keluarga harapan (PKH), hingga keperluan uang sekolah anak di luar pulau.
Baca juga : Kolaborasi Tangani Sampah di Labuan Bajo
Ada 44 pulau berpenghuni dari sekitar 1.100 pulau di NTT. Namun, baru segelintir pulau yang terjamah layanan perbankan. Warga mesti datang ke Kupang, Maumere, Waikabubak, atau Labuan Bajo. Layanan perbankan berbasis digital juga belum masif karena sinyal internet dan telepon seluler terbatas.
Sulitnya akses layanan perbankan di pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir bukan isu baru. Sebelum akses perbankan masuk, warga Pulau Komodo mengirim uang ke luar NTT lewat pos. Tak jarang mereka menitipkan uang ke anak buah kapal yang akan berlayar menuju Jawa atau Kalimantan.
“Banyak orang tua menyekolahkan anaknya ke luar pulau setelah lulus SMA. Kirim uang hanya modal percaya,” kenang Ahmad Makadau, pedagangan lainnya asal Pulau Komodo.
Diperlukan terobosan untuk membuka akses layanan keuangan lebih lebar. Tanpa itu, persoalan kemiskinan yang menahun semakin sulit diatas. Persentase penduduk miskin di NTT tertinggi ketiga nasional, setelah Papua dan Papua Barat.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin pada September 2018 mencapai 1.134.110 orang atau 21,03 persen dari total penduduk. Adapun rata-rata tingkat kemiskinan nasional pada September 2018 sebesar 9,66 persen.
Inklusi keuangan
Layanan perbankan mencoba menjangkau pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir sekitar Labuan Bajo, akhir tahun 2016. Bank yang identik dengan bangunan fisik berubah bentuk jadi kapal laut. Sistemnya jemput bola, kapal berkeliling dari pulau ke pulau untuk melayani warga.
Inovasi itu diluncurkan Bank BRI melalui layanan Teras Kapal Bahtera Seva II. Teras kapal berlayar ke tujuh pulau sekitaran Labuan Bajo, seperti Pulau Komodo, Rinca, Papagaran, Mesa, Boleng, Seraya, dan Longos. Di setiap pulau itu, kapal bersandar satu hari dalam seminggu.
Baca juga : Di Pulau-pulau Kecil, Akses Layanan Perbankan Kian Mudah
Jam operasi layanan perbankan di atas kapal ini layaknya bank konvensional, pukul 08.00-17.00 waktu setempat. Kapal akan berlayar ke setiap pulau untuk melayani berbagai transaksi, mulai dari tarik dan setor tunai, transfer antarbank, hingga pembukaan rekening.
Tidak hanya mempermudah akses keuangan, kapal milik Bank BRI ikut memutar roda perekonomian di sekitar Labuan Bajo. Warga bisa mengajukan fasilitas pinjaman mikro dengan bunga rendah. Fasilitas pinjaman itu umumnya digunakan warga untuk membuka atau ekspansi usaha di sektor pariwisata.
Alias, nasabah pinjaman Teras Kapal BRI Labuan Bajo, memiliki pinjaman sekitar Rp 50 juta. Pinjaman itu digunakan untuk mengembangkan bisnis jual-beli suvenir dan oleh-oleh khas Labuan Bajo. Pinjaman diajukan bertahap awalnya sekitar Rp 25 juta tahun 2018 lalu. ”Sekarang saya jadi pengepulnya, tidak lagi bawa barang dari orang. Bunga pinjaman rendah sehingga untung lebih besar,” kata Alias.
Teras Kapal Bahtera Seva II di Labuan Bajo per akhir Juni 2019 tercatat, mengumpulkan dana simpanan Rp 9,4 miliar dan menyalurkan pinjaman sebesar Rp 11 miliar. Plafon pinjaman mikro yang diberikan bisa mencapai Rp 200 juta.
Baca juga : Kawasan Labuan Bajo Terus Ditata
Selain di Labuan Bajo, Teras Kapal BRI Bahtera Seva juga beroperasi di Kepulauan Seribu, Jakarta, dan Halmahera, Maluku Utara. Teras Kapal BRI juga akan berlayar di Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, Desember 2019 nanti.
Total dana simpanan yang dikumpulkan ketiga teras kapal itu per Juni 2019 sebesar Rp 32.7 miliar, sementara pinjaman mencapai Rp 45,1 triliun. Layanan Teras Kapal BRI Bahtera Seva ini diresmikan Presiden Joko Widodo tahun 2015.
“Inklusi keuangan butuh terobosan untuk menjawab masalah setiap lapisan masyarakat, apalagi di pulau-pulau kecil dan area perbatasan yang rawan dikelola orang asing,” kata Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Suprajarto.
Di sisi lain, peran teknologi berbasis digital untuk mendorong inklusi keuangan sangat vital. Bank BRI juga memperluas jaringannya melalui Agen BRILink. Jumlah agen BRILink per Juni 2019 sekitar 400.000 orang yang tersebar di seluruh Indonesia dengan volume transaksi mencapai Rp 331 triliun.
Teknologi dan inflasi
Keuangan inklusif rupanya berdampak besar bagi NTT. Pemilik warung kelontong, toko suvenir dan oleh-oleh di bandara, pasar, hingga pinggir jalan raya, sudah mengoperasikan mesin pembaca data elektronik (EDC). Fasilitas itu kian memudahkan wisatawan lokal maupun mancanegara untuk berbelanja.
Di wilayah kepulauan seperti NTT, layanan perbankan juga berperan penting bagi distribusi barang. Semakin cepat uang dikirim, pesanan segera diantar. Bahkan, jika dibayar lunas bisa jadi prioritas. Stok pangan dan bahan pokok walhasil selalu tersedia sehingga jarang ada kenaikan harga. “Harga beras, telur, gula, dan mie instan di sini hampir mirip Jakarta. Harga naik kalau dari pengirim naik,” kata Maryati, warga Labuan Bajo.
Baca juga : Labuan Bajo Disiapkan untuk Sambut Lebih Banyak Turis
Mengutip data Badan Pusat Statistik, inflasi di NTT konsisten di bawah nasional tahun 2016-2018. Pada periode itu, rata-rata inflasi NTT sebesar 2,51 persen, sementara rata-rata nasional 3,25 persen. Inflasi didominasi kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan.
Inklusi keuangan jadi pintu masuk bagi Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas inflasi. Dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2019 di Jakarta, Kamis lalu, disebutkan bahwa inovasi dan pemanfaatan teknologi menjadi kunci dalam upaya pengendalian inflasi.
Menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, konsistensi kebijakan pengendalian inflasi perlu didukung inovasi program pengendalian inflasi di seluruh wilayah Indonesia. Penggunaan teknologi informasi untuk efisiensi mata rantai produksi.
Teknologi informasi dapat diterapkan, kata Perry, bisa terapkan pada fase produksi, distribusi, maupun pemasaran. Efisiensi diciptakan untuk menjaga agar proses hilirasi tidak menimbulkan lonjakan harga barang yang bisa memicu inflasi. “Inflasi yang rendah itu tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi domestik, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Perry.
Baca juga : Desain Besar Pengembangan Disusun
Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi, ditemui beberapa waktu lalu, menuturkan, penetrasi teknologi berbasis digital secara alamiah ikut memperkuat rantai pasok dan distribusi ke NTT. Apalagi, sebagian besar kebutuhan pangan dipasok dari Jawa dan Kalimantan.
Perpaduan teknologi dan layanan perbankan merajut konektivitas di provinsi bagian timur Indonesia. Kini wajah provinsi NTT berubah, akses yang puluhan tahun terbatas mulai terbuka. Begitu pula dengan asa warga untuk setara dengan daerah lain.